Dr. Bahar Azwar, SpB-Onk, seorang dokter spesialis bedah-onkologi ( bedah tumor ) lulusan FK UI dalam bukunya ” Ketika Dokter Memaknai Sholat ” mampu menjabarkan makna gerakan sholat. Bagaimana sebenarnya manfaat sholat dan gerakan-gerakannya secara medis?
Selama ini sholat yang kita lakukan lima kali sehari, sebenarnya telah memberikan investasi kesehatan yang cukup besar bagi kehidupan kita. Mulai dari berwudlu ( bersuci ), gerakan sholat sampai dengan salam memiliki makna yang luar biasa hebatnya baik untuk kesehatan fisik, mental bahkan keseimbangan spiritual dan emosional. Tetapi sayang sedikit dari kita yang memahaminya. Berikut rangkaian dan manfaat kesehatan dari rukun Islam yang kedua ini.
Manfaat Wudlu Kulit merupakan organ yang terbesar tubuh kita yang fungsi utamanya membungkus tubuh serta melindungi tubuh dari berbagai ancaman kuman, racun, radiasi juga mengatur suhu tubuh, fungsi ekskresi ( tempat pembuangan zat-zat yang tak berguna melalui pori-pori ) dan media komunikasi antar sel syaraf untuk rangsang nyeri, panas, sentuhan secara tekanan.
Begitu besar fungsi kulit maka kestabilannya ditentukan oleh pH (derajat keasaman) dan kelembaban. Bersuci merupakan salah satu metode menjaga kestabilan tersebut khususnya kelembaban kulit. Kalu kulit sering kering akan sangat berbahaya bagi kesehatan kulit terutama mudah terinfeksi kuman.
Dengan bersuci berarti terjadinya proses peremajaan dan pencucian kulit, selaput lendir, dan juga lubang-lubang tubuh yang berhubungan dengan dunia luar (pori kulit, rongga mulut, hidung, telinga). Seperti kita ketahui kulit merupakan tempat berkembangnya banya kuman dan flora normal, diantaranya Staphylococcus epidermis, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Mycobacterium sp (penyakit TBC kulit). Begitu juga dengan rongga hidung terdapat kuman Streptococcus pneumonia (penyakit pneumoni paru), Neisseria sp, Hemophilus sp.Seorang ahli bedah diwajibkan membasuh kedua belah tangan setiap kali melakukan operasi sebagai proses sterilisasi dari kuman. Cara ini baru dikenal abad ke-20, padahal umat Islam sudah membudayakan sejak abad ke-14 yang lalu. Luar Biasa!!
Keutamaan Berkumur Berkumur-kumur dalam bersuci berarti membersihkan rongga mulut dari penularan penyakit. Sisa makanan sering mengendap atau tersangkut di antara sela gigi yang jika tidak dibersihkan ( dengan berkumur-kumur atau menggosok gigi) akhirnya akan menjadi mediasi pertumbuhan kuman. Dengan berkumur-kumur secara benar dan dilakukan lima kali sehari berarti tanpa kita sadari dapat mencegah dari infeksi gigi dan mulut. Istinsyaq berarti menghirup air dengan lubang hidung, melalui rongga hidung sampai ke tenggorokan bagian hidung (nasofaring). Fungsinya untuk mensucikan selaput dan lendir hidung yang tercemar oleh udara kotor dan juga kuman. Selama ini kita ketahui selaput dan lendir hidung merupakan basis pertahanan pertama pernapasan. Dengan istinsyaq mudah-mudahan kuman infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dapat dicegah. Begitu pula dengan pembersihan telinga sampai dengan pensucian kaki beserta telapak kaki yang tak kalah pentingnya untuk mencegah berbagai infeksi cacing yang masih menjadi masalah terbesar di negara kita.
Manfaat Kesehatan Sholat Berdiri lurus adalah pelurusan tulang belakang, dan menjadi awal dari sebuah latihan pernapasan, pencernaan dan tulang. Takbir merupakan latihan awal pernapasan. Paru-paru adalah alat pernapasan, Paru kita terlindung dalam rongga dada yang tersusun dari tulang iga yang melengkung dan tulang belakang yang mencembung. Susunan ini didukung oleh dua jenis otot yaitu yang menjauhkan lengan dari dada (abductor) dan mendekatkannya (adductor). Takbir berarti kegiatan mengangkat lengan dan merenggangkannya, hingga rongga dada mengembang seperti halnya paru-paru. Dan mengangkat tangan berarti meregangnya otot-otot bahu hingga aliran darah yang membawa oksigen menjadi lancar. Dengan ruku’, memperlancar aliran darah dan getah bening ke leher oleh karena sejajarnya letak bahu dengan leher. Aliran akan semakin lancar bila ruku’ dilakukan dengan benar yaitu meletakkan perut dan dada lebih tinggi daripada leher. Ruku’ juga mengempiskan pernapasan. Pelurusan tulang belakang pada saat ruku’ berarti mencegah terjadinya pengapuran. Selain itu, ruku’ adalah latihan kemih (buang air kecil) untuk mencegah keluhan prostat. Pelurusan tulang belakang akan mengempiskan ginjal. Sedangkan penekanan kandung kemih oleh tulang belakang dan tulang kemaluan akan melancarkan kemih. Getah bening (limfe) fungsi utamanya adalah menyaring dan menumpas kuman penyakit yang berkeliaran di dalam darah.
Sujud Mencegah Wasir Sujud mengalirkan getah bening dari tungkai perut dan dada ke leher karena lebih tinggi. Dan meletakkan tangan sejajar dengan bahu ataupun telinga, memompa getah bening ketiak ke leher. Selain itu, sujud melancarkan peredaran darah hingga dapat mencegah wasir. Sujud dengan cepat tidak bermanfaat. Ia tidak mengalirkan getah bening dan tidak melatih tulang belakang dan otot. Tak heran kalau ada di sebagian sahabat Rasul menceritakan bahwa Rasulullah sering lama dalam bersujud.
Duduk di antara dua sujud dapat mengaktifkan kelenjar keringat karena bertemunya lipatan paha dan betis sehingga dapat mencegah terjadinya pengapuran. Pembuluh darah balik di atas pangkal kaki jadi tertekan sehingga darah akan memenuhi seluruh telapak kaki mulai dari mata kaki sehingga pembuluh darah di pangkal kaki mengembang. Gerakan ini menjaga supaya kaki dapat secara optimal menopang tubuh kita. Gerakan salam yang merupakan penutup sholat, dengan memalingkan wajah ke kanan dan ke kiri bermanfaat untuk menjaga kelenturan urat leher. Gerakan ini juga akan mempercepat aliran getah bening di leher ke jantung.
Manfaat Sholat Malam hari biasanya dingin dan lembab. Kalau ditanya, paling enak tidur di waktu tersebut. Banyak lemak jenuh yang melapisi saraf kita hingga menjadi beku. Kalau tidak segera digerakkan, sistem pemanas tubuh tidak aktif, saraf menjadi kaku, bahkan kolesterol dan asam urat merubah menjadi pengapuran. Tidur di kasur yang empuk akan menyebabkan urat syaraf yang mengatur tekanan ke bola mata tidak mendapat tekanan yang cukup untuk memulihkan posisi saraf mata kita.
Jadi sholat malam itu lebih baik daripada tidur. Kebanyakan tidur malah menjadi penyakit. Bukan lamanya masa tidur yang diperlukan oleh tubuh kita melainkan kualitas tidur. Dengan sholat malam, kita akan mengendalikan urat tidur kita.
Sholat Lebih Canggih dari Yoga “Apakah pendapatmu sekiranya terdapat sebuah sungai di hadapan pintu rumah salah seorang diantara kamu dan dia mandi di dalamnya setiap hari lima kali. Apakah masih terdapat kotoran pada badannya?”. Para sahabatmenjawab : “Sudah pasti tidak terdapat sedikit pun kotoran pada badannya”. Lalu beliau bersabda : “Begitulah perumpamaansholat lima waktu. Allah menghapus segala keselahan mereka”. (H.R Abu Hurairah r.a). Jika manfaat gerakan sholat kita betul, maka sangat luar biasa manfaatnya dan lebih canggih daripada yoga. Sangat disayangkan tidak ada universitas yang berani atau sengaja mengembangkan teknik gerakan sholat ini secara ilmiah. Belum lagi manajemen yang terkandung dalam bacaan sholat. Seperti doa iftitah yang berarti mission statement (dalam manajemen strategi). Sedangkan makna bacaan Alfatihah yang kita baca berulang sampai 17 kali adalah objective statement. Tujuan hidup mana yang lebih canggih dibandingkan tujuah hidup di jalan yang lurus, yaitu jalan yang penuh kebaikan seperti diperoleh para orang-orang shaleh seperti nabi dan rasul?
Dr. Gustafe le Bond mengatakan bahwa Islam merupakan agama yang paling sepadan dengan penemuan-penemuan ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan etika sains harus didukung dengan kekuatan iman. Semoga sholat kita makin terasa manfaatnya.
source: Tabloid Nurani
Dany Hadi Wijaya
Referensi Kuliah
Kamis, 29 September 2011
Sabtu, 19 Februari 2011
Islamic economic jurisprudence
Islamic economics refers to the body of Islamic studies literature that "identifies and promotes an economic order that conforms to Islamic scripture and traditions," and in the economic world an interest-free Islamic banking system, grounded in Sharia's condemnation of interest (Riba). The literature originated in "the late 1940s, and especially" after "the mid-1960s."[1] The banking system developed during the 1970s.[2] Islamic economic literatures' central features have been called "behavioral norms" derived from the Quran and Sunna, zakat tax as the basis of Islamic fiscal policy and prohibition of interest.[1]
In Shia Islam, some scholars such as Mahmoud Taleghani, and Mohammad Baqir al-Sadr, have developed an "Islamic economics" emphasizing the uplifting of the deprived masses, a major role for the state in matters such as circulation and equitable distribution of wealth, and ensuring participants in the marketplace are rewarded for being exposed to risk and/or liability.
Islamist movements and authors generally describe an Islamic economic system as neither Socialist nor Capitalist, but a "third way" with none of the drawbacks of the other two systems.[3][4]
Traditional Islamic concepts having to do with economics included
zakat - the "taxing of certain goods, such as harvest, with an eye to allocating these taxes to expenditures that are also explicitly defined, such as aid to the needy."
Gharar - "the interdiction of chance ... that is, of the presence of any element of uncertainty, in a contract (which excludes not only insurance but also the lending of money without participation in the risks)"
Riba - "referred to as usury (modern Islamic economist have consensus that it does not refer to usury only rather Riba is any kind of interest)" [5]
These concepts, like others in Islamic law, came from the "prescriptions, anecdotes, examples, and words of Muhammad, all gathered together and systematized by commentators according to an inductive, casuistic method." [5] Sometimes other sources such as al-urf, (the custom), al-aql (reason) or al-ijma (consensus of the jurists) were employed.[6]
In addition, Islamic law has developed areas of law that correspond to secular laws of contracts and torts.
Early reforms under Islam
Main article: Early reforms under Islam
Some argue early Islamic theory and practice formed a "coherent" economic system with "a blueprint for a new order in society, in which all participants would be treated more fairly". Michael Bonner, for example, has written that an "economy of poverty" prevailed in Islam until 13th and 14th century. Under this system God's guidance made sure the flow of money and goods was "purified" by being channeled from those who had much of it to those who had little by encouraging zakat (tax) and discouraging riba (usury/interest) on loans. Bonner maintains Muhammad also helped poor traders by allowing only tents, not permanent buildings in the market of Medina, and not charging fees and rents there.[7]
Classical Muslim economic thought
Economy in the Caliphate
During the Arab Agricultural Revolution, a social transformation took place as a result of changing land ownership giving individuals of any gender,[15] ethnic or religious background the right to buy, sell, mortgage and inherit land. Based on the Quran, signatures were required on contracts for major financial transactions concerning agriculture, industry, commerce, and employment. Copies of the contract were usually kept by both parties involved.
There are similarities between Islamic economics and leftist or socialist economic policies. Islamic jurists have argued that privatization of the origin of oil, gas, and other fire-producing fuels, agricultural land, and water is forbidden. The principle of public or joint ownership has been drawn by Muslim jurists from the following hadith of the Prophet of Islam:
Ibn Abbas reported that Muhammad said: "All Muslims are partners in three things- in water, herbage and fire." (Narrated in Abu Daud, & Ibn Majah) [4] Anas added to the above hadith, "Its price is Haram (forbidden)" [16] Jurists have argued by qiyas that the above restriction on privatization can be extended to all essential resources that benefit the community as a whole.[17]
Aside from similarities to socialism, early forms of proto-capitalism and free markets were present in the Caliphate.[18] An early market economy and early form of merchant capitalism developed between the 8th and 12th centuries.[19] A vigorous monetary economy developed based on the wide circulation of a common currency (the dinar) and the integration of previously independent monetary areas. Business techniques and forms of business organization employed during this time included early contracts, bills of exchange, long-distance international trade, early forms of partnership (mufawada) such as limited partnerships (mudaraba), and early forms of credit, debt, profit, loss, capital (al-mal), capital accumulation (nama al-mal),[20] circulating capital, capital expenditure, revenue, cheques, promissory notes,[21] trusts (waqf), savings accounts, transactional accounts, pawning, loaning, exchange rates, bankers, money changers, ledgers, deposits, assignments, the double-entry bookkeeping system,[22] and lawsuits.[23] Organizational enterprises similar to corporations independent from the state also existed in the medieval Islamic world.[24][25] Many of these concepts were adopted and further advanced in medieval Europe from the 13th century onwards.[20]
The concepts of welfare and pension were present in early Islamic law as forms of Zakat one of the Five Pillars of Islam, since the time of the Rashidun caliph Umar in the 7th century. The taxes (including Zakat and Jizya) collected in the treasury (Bayt al-mal) of an Islamic government were used to provide income for the needy, including the poor, the elderly, orphans, widows, and the disabled. According to the Islamic jurist Al-Ghazali (Algazel, 1058–1111), the government was also expected to stockpile food supplies in every region in case a disaster or famine occurred. The Caliphate was thus one of the earliest welfare states.[26][27]
[edit]Post-colonial era
During the modern post-colonial era, as Western ideas, including Western economics, began to influence the Muslim world, some Muslim writers sought to produce an Islamic discipline of economics. Because Islam is not merely a spiritual formula but a complete system of life in all its walks,[28] these writers believed that it should logically follow that Islam also had its own economic system unique from and superior to non-Islamic systems.[7] To date, however, there have been no agreement as to the methodological definition and scope of Islamic Economics.
In the 1960s and 70s Shia Islamic thinkers worked to develop a unique Islamic economic philosophy with "its own answers to contemporary economic problems." Several works were particularly influential,
Eslam va Malekiyyat (Islam and Property) by Mahmud Taleqani (1951),
Iqtisaduna (Our Economics) by Mohammad Baqir al-Sadr (1961) and
Eqtesad-e Towhidi (The Economics of Divine Harmony) by Abolhassan Banisadr (1978)
Some Interpretations of Property Rights, Capital and Labor from Islamic Perspective by Habibullah Peyman (1979).[29][30]
Al-Sadr in particular has been described as having "almost single-handedly developed the notion of Islamic economics" [31]
In their writings Sadr and the other authors "sought to depict Islam as a religion committed to social justice, the equitable distribution of wealth, and the cause of the deprived classes," with doctrines "acceptable to Islamic jurists", while refuting existing non-Islamic theories of capitalism and Marxism. This version of Islamic economics, which influenced the Iranian Revolution, called for public ownership of land and of large "industrial enterprises," while private economic activity continued "within reasonable limits." [32] These ideas helped shape the large public sector and public subsidy policies of the Iranian Revolution.
In the 1980s and 1990s, as the Islamic revolution failed to reach the per capita income level achieved by the regime it overthrew, and Communist states and socialist parties in the non-Muslim world turned away from socialism, Muslim interest shifted away from government ownership and regulation. In Iran, it is reported that "eqtesad-e Eslami (meaning both Islamic economics and economy) ... once a revolutionary shibboleth, is indubitably absent in all official documents and the media. It disapperared from Iranian political discourse about 15 years ago [1990]." [30]
But in other parts of the Muslim world the term lived on, shifting form to the less ambitious goal of interest-free banking. Some Muslim bankers and religious leaders suggested ways to integrate Islamic law on usage of money with modern concepts of ethical investing. In banking this was done through the use of sales transactions (focusing on the fixed rate return modes) to achieve similar results to interest. This has been heavily criticized by many modern writers as a means of covering conventional banking with an Islamic facade.
[edit]Traditional approach
While many Muslims believe Islamic law is perfect by virtue of its being revealed by God, Islamic law on economic issues was/is not "economics" in the sense of a systematic study of production, distribution, and consumption of goods and services. An example of the traditionalist ulama approach to economic issues is Imam Khomeini's work Tawzih al-masa'il where the term `economy` does not appear and where the chapter on selling and buying (Kharid o forush) comes after the one on pilgrimage. As Olivier Roy puts it, the work "presents economic questions as individual acts open to moral analysis: `To lend [without interest, on a note from the lender] is among the good works that are particularly recommended in the verses of the Quran and the in the Traditions.`" [33]
References
^ a b "The economic system in contemporary Islamic thought: Interpretation and assessment", by Timur Kuran, International Journal of Middle East Studies, 18, 1986, p.135-164
^ Islamic Economics and the Islamic Subeconomy by Timur Kuran, Journal of Economic Perspectives, 1985
^ Islam and Economic Justice: A 'Third Way' Between Capitalism and Socialism?
^ How Do We Know Islam Will Solve the Problems of Poverty and Inequality?
^ a b Roy, The Failure of Political Islam Harvard University Press, 1994, p.132
^ Schirazi, Asghar, Constitution of Iran, (1997), p.170
^ a b Michael Bonner, "Poverty and Economics in the Qur’an", Journal of Interdisciplinary History, xxxv:3 (Winter, 2005), 391–406
^ Schumpeter (1954) p 136 mentions his sociology, others, including Hosseini (2003) emphasize him as well
^ I. M. Oweiss (1988), "Ibn Khaldun, the Father of Economics", Arab Civilization: Challenges and Responses, New York University Press, ISBN 0887066984.
^ Jean David C. Boulakia (1971), "Ibn Khaldun: A Fourteenth-Century Economist", The Journal of Political Economy 79 (5): 1105-1118.
^ Weiss (1995) p29-30
^ Weiss (1995) p31 quotes Muqaddimah 2:276-278
^ Weiss (1995), p. 31, quotes Muqaddimah 2: 272-273
^ Weiss (1995), p. 33
^ Maya Shatzmiller, p. 263.
^ [1]
^ [2]
^ The Cambridge economic history of Europe, p. 437. Cambridge University Press, ISBN 0521087090.
^ Timur Kuran (2005), "The Absence of the Corporation in Islamic Law: Origins and Persistence", American Journal of Comparative Law 53, p. 785-834 [798-799].
^ a b Jairus Banaji (2007), "Islam, the Mediterranean and the rise of capitalism", Historical Materialism 15 (1), p. 47-74, Brill Publishers.
^ Robert Sabatino Lopez, Irving Woodworth Raymond, Olivia Remie Constable (2001), Medieval Trade in the Mediterranean World: Illustrative Documents, Columbia University Press, ISBN 0231123574.
^ Subhi Y. Labib (1969), "Capitalism in Medieval Islam", The Journal of Economic History 29 (1), p. 79-96 [92-93].
^ Ray Spier (2002), "The history of the peer-review process", Trends in Biotechnology 20 (8), p. 357-358 [357].
^ Said Amir Arjomand (1999), "The Law, Agency, and Policy in Medieval Islamic Society: Development of the Institutions of Learning from the Tenth to the Fifteenth Century", Comparative Studies in Society and History 41, p. 263-293. Cambridge University Press.
^ Samir Amin (1978), "The Arab Nation: Some Conclusions and Problems", MERIP Reports 68, p. 3-14 [8, 13].
^ Crone, Patricia (2005), Medieval Islamic Political Thought, Edinburgh University Press, pp. 308–9, ISBN 0748621946
^ Shadi Hamid (August 2003), "An Islamic Alternative? Equality, Redistributive Justice, and the Welfare State in the Caliphate of Umar", Renaissance: Monthly Islamic Journal 13 (8) (see online)
^ The Economic Life of Islam
^ Bakhash, Shaul, The Reign of the Ayatollahs, Basic Books, c1984, p.167-8
^ a b Revolutionary Surge and Quiet Demise of Islamic Economics in Iran
^ The Renewal of Islamic Law
^ Bakhash, Shaul, The Reign of the Ayatollahs, Basic Books, c1984, p.172-3
^ Roy, The Failure of Political Islam Harvard University Press, 1994, p.133
^ Nomani and Rahnema quote Qur'an 2:107, Qur'an 2:255, Qur'an 2:284, Qur'an 5:120, Qur'an 48:14
^ a b c d e f Nomani and Rahnema (1994), p. 66-70
^ a b c Nomani and Rahnema (1994), p. 71-77
^ a b c d e f Nomani and Rahnema (1994), p. 55-58
^ Nomani and Rahnema cite Qur'an 4:29, Qur'an 2:275 and Qur'an 2:279
^ Nomani and Rahnema cite Qur'an 5:1, Qur'an 16:91, Qur'an 23:8, Qur'an 17:34 and Qur'an 70:32
^ Nomani and Rahnema cite Qur'an 2:282.
^ Nomani and Rahnema cite Qur'an 55:9, Qur'an 26:181–183, Qur'an 11:84–85. They also point out that a chapter is devoted to such fraudulent practices: Qur'an 83:1–3
^ a b c d e f Meinhaj Hussain (June 2010), 21st Century Islamic State, 2.0 (see [3])
^ Historical dominance on money changing business
^ Opalesque (30 December 2009). "Malaysia exchange reviewing sharia compliant bonds".
^ Islamic Finance, Forbes (April 21, 2008)
^ Sohrab Behada, "Property Rights in Contemporary Islamic Economic Thought, Review of Social Economy, Summer 1989 v.47, (pp.185-211)
^ Kuran, "The Economic Impact of Islamic Fundamentalism," in Marty and Appleby Fundamentalisms and the State, U of Chicago Press, 1993, p.302-41
^ "The Discontents of Islamic Economic Mortality" by Timur Kuran, American Economic Review, 1996, p.438-442
^ a b Halliday, Fred, 100 Myths about the Middle East, Saqi Books, 2005 p.89
In Shia Islam, some scholars such as Mahmoud Taleghani, and Mohammad Baqir al-Sadr, have developed an "Islamic economics" emphasizing the uplifting of the deprived masses, a major role for the state in matters such as circulation and equitable distribution of wealth, and ensuring participants in the marketplace are rewarded for being exposed to risk and/or liability.
Islamist movements and authors generally describe an Islamic economic system as neither Socialist nor Capitalist, but a "third way" with none of the drawbacks of the other two systems.[3][4]
Traditional Islamic concepts having to do with economics included
zakat - the "taxing of certain goods, such as harvest, with an eye to allocating these taxes to expenditures that are also explicitly defined, such as aid to the needy."
Gharar - "the interdiction of chance ... that is, of the presence of any element of uncertainty, in a contract (which excludes not only insurance but also the lending of money without participation in the risks)"
Riba - "referred to as usury (modern Islamic economist have consensus that it does not refer to usury only rather Riba is any kind of interest)" [5]
These concepts, like others in Islamic law, came from the "prescriptions, anecdotes, examples, and words of Muhammad, all gathered together and systematized by commentators according to an inductive, casuistic method." [5] Sometimes other sources such as al-urf, (the custom), al-aql (reason) or al-ijma (consensus of the jurists) were employed.[6]
In addition, Islamic law has developed areas of law that correspond to secular laws of contracts and torts.
Early reforms under Islam
Main article: Early reforms under Islam
Some argue early Islamic theory and practice formed a "coherent" economic system with "a blueprint for a new order in society, in which all participants would be treated more fairly". Michael Bonner, for example, has written that an "economy of poverty" prevailed in Islam until 13th and 14th century. Under this system God's guidance made sure the flow of money and goods was "purified" by being channeled from those who had much of it to those who had little by encouraging zakat (tax) and discouraging riba (usury/interest) on loans. Bonner maintains Muhammad also helped poor traders by allowing only tents, not permanent buildings in the market of Medina, and not charging fees and rents there.[7]
Classical Muslim economic thought
Economy in the Caliphate
During the Arab Agricultural Revolution, a social transformation took place as a result of changing land ownership giving individuals of any gender,[15] ethnic or religious background the right to buy, sell, mortgage and inherit land. Based on the Quran, signatures were required on contracts for major financial transactions concerning agriculture, industry, commerce, and employment. Copies of the contract were usually kept by both parties involved.
There are similarities between Islamic economics and leftist or socialist economic policies. Islamic jurists have argued that privatization of the origin of oil, gas, and other fire-producing fuels, agricultural land, and water is forbidden. The principle of public or joint ownership has been drawn by Muslim jurists from the following hadith of the Prophet of Islam:
Ibn Abbas reported that Muhammad said: "All Muslims are partners in three things- in water, herbage and fire." (Narrated in Abu Daud, & Ibn Majah) [4] Anas added to the above hadith, "Its price is Haram (forbidden)" [16] Jurists have argued by qiyas that the above restriction on privatization can be extended to all essential resources that benefit the community as a whole.[17]
Aside from similarities to socialism, early forms of proto-capitalism and free markets were present in the Caliphate.[18] An early market economy and early form of merchant capitalism developed between the 8th and 12th centuries.[19] A vigorous monetary economy developed based on the wide circulation of a common currency (the dinar) and the integration of previously independent monetary areas. Business techniques and forms of business organization employed during this time included early contracts, bills of exchange, long-distance international trade, early forms of partnership (mufawada) such as limited partnerships (mudaraba), and early forms of credit, debt, profit, loss, capital (al-mal), capital accumulation (nama al-mal),[20] circulating capital, capital expenditure, revenue, cheques, promissory notes,[21] trusts (waqf), savings accounts, transactional accounts, pawning, loaning, exchange rates, bankers, money changers, ledgers, deposits, assignments, the double-entry bookkeeping system,[22] and lawsuits.[23] Organizational enterprises similar to corporations independent from the state also existed in the medieval Islamic world.[24][25] Many of these concepts were adopted and further advanced in medieval Europe from the 13th century onwards.[20]
The concepts of welfare and pension were present in early Islamic law as forms of Zakat one of the Five Pillars of Islam, since the time of the Rashidun caliph Umar in the 7th century. The taxes (including Zakat and Jizya) collected in the treasury (Bayt al-mal) of an Islamic government were used to provide income for the needy, including the poor, the elderly, orphans, widows, and the disabled. According to the Islamic jurist Al-Ghazali (Algazel, 1058–1111), the government was also expected to stockpile food supplies in every region in case a disaster or famine occurred. The Caliphate was thus one of the earliest welfare states.[26][27]
[edit]Post-colonial era
During the modern post-colonial era, as Western ideas, including Western economics, began to influence the Muslim world, some Muslim writers sought to produce an Islamic discipline of economics. Because Islam is not merely a spiritual formula but a complete system of life in all its walks,[28] these writers believed that it should logically follow that Islam also had its own economic system unique from and superior to non-Islamic systems.[7] To date, however, there have been no agreement as to the methodological definition and scope of Islamic Economics.
In the 1960s and 70s Shia Islamic thinkers worked to develop a unique Islamic economic philosophy with "its own answers to contemporary economic problems." Several works were particularly influential,
Eslam va Malekiyyat (Islam and Property) by Mahmud Taleqani (1951),
Iqtisaduna (Our Economics) by Mohammad Baqir al-Sadr (1961) and
Eqtesad-e Towhidi (The Economics of Divine Harmony) by Abolhassan Banisadr (1978)
Some Interpretations of Property Rights, Capital and Labor from Islamic Perspective by Habibullah Peyman (1979).[29][30]
Al-Sadr in particular has been described as having "almost single-handedly developed the notion of Islamic economics" [31]
In their writings Sadr and the other authors "sought to depict Islam as a religion committed to social justice, the equitable distribution of wealth, and the cause of the deprived classes," with doctrines "acceptable to Islamic jurists", while refuting existing non-Islamic theories of capitalism and Marxism. This version of Islamic economics, which influenced the Iranian Revolution, called for public ownership of land and of large "industrial enterprises," while private economic activity continued "within reasonable limits." [32] These ideas helped shape the large public sector and public subsidy policies of the Iranian Revolution.
In the 1980s and 1990s, as the Islamic revolution failed to reach the per capita income level achieved by the regime it overthrew, and Communist states and socialist parties in the non-Muslim world turned away from socialism, Muslim interest shifted away from government ownership and regulation. In Iran, it is reported that "eqtesad-e Eslami (meaning both Islamic economics and economy) ... once a revolutionary shibboleth, is indubitably absent in all official documents and the media. It disapperared from Iranian political discourse about 15 years ago [1990]." [30]
But in other parts of the Muslim world the term lived on, shifting form to the less ambitious goal of interest-free banking. Some Muslim bankers and religious leaders suggested ways to integrate Islamic law on usage of money with modern concepts of ethical investing. In banking this was done through the use of sales transactions (focusing on the fixed rate return modes) to achieve similar results to interest. This has been heavily criticized by many modern writers as a means of covering conventional banking with an Islamic facade.
[edit]Traditional approach
While many Muslims believe Islamic law is perfect by virtue of its being revealed by God, Islamic law on economic issues was/is not "economics" in the sense of a systematic study of production, distribution, and consumption of goods and services. An example of the traditionalist ulama approach to economic issues is Imam Khomeini's work Tawzih al-masa'il where the term `economy` does not appear and where the chapter on selling and buying (Kharid o forush) comes after the one on pilgrimage. As Olivier Roy puts it, the work "presents economic questions as individual acts open to moral analysis: `To lend [without interest, on a note from the lender] is among the good works that are particularly recommended in the verses of the Quran and the in the Traditions.`" [33]
References
^ a b "The economic system in contemporary Islamic thought: Interpretation and assessment", by Timur Kuran, International Journal of Middle East Studies, 18, 1986, p.135-164
^ Islamic Economics and the Islamic Subeconomy by Timur Kuran, Journal of Economic Perspectives, 1985
^ Islam and Economic Justice: A 'Third Way' Between Capitalism and Socialism?
^ How Do We Know Islam Will Solve the Problems of Poverty and Inequality?
^ a b Roy, The Failure of Political Islam Harvard University Press, 1994, p.132
^ Schirazi, Asghar, Constitution of Iran, (1997), p.170
^ a b Michael Bonner, "Poverty and Economics in the Qur’an", Journal of Interdisciplinary History, xxxv:3 (Winter, 2005), 391–406
^ Schumpeter (1954) p 136 mentions his sociology, others, including Hosseini (2003) emphasize him as well
^ I. M. Oweiss (1988), "Ibn Khaldun, the Father of Economics", Arab Civilization: Challenges and Responses, New York University Press, ISBN 0887066984.
^ Jean David C. Boulakia (1971), "Ibn Khaldun: A Fourteenth-Century Economist", The Journal of Political Economy 79 (5): 1105-1118.
^ Weiss (1995) p29-30
^ Weiss (1995) p31 quotes Muqaddimah 2:276-278
^ Weiss (1995), p. 31, quotes Muqaddimah 2: 272-273
^ Weiss (1995), p. 33
^ Maya Shatzmiller, p. 263.
^ [1]
^ [2]
^ The Cambridge economic history of Europe, p. 437. Cambridge University Press, ISBN 0521087090.
^ Timur Kuran (2005), "The Absence of the Corporation in Islamic Law: Origins and Persistence", American Journal of Comparative Law 53, p. 785-834 [798-799].
^ a b Jairus Banaji (2007), "Islam, the Mediterranean and the rise of capitalism", Historical Materialism 15 (1), p. 47-74, Brill Publishers.
^ Robert Sabatino Lopez, Irving Woodworth Raymond, Olivia Remie Constable (2001), Medieval Trade in the Mediterranean World: Illustrative Documents, Columbia University Press, ISBN 0231123574.
^ Subhi Y. Labib (1969), "Capitalism in Medieval Islam", The Journal of Economic History 29 (1), p. 79-96 [92-93].
^ Ray Spier (2002), "The history of the peer-review process", Trends in Biotechnology 20 (8), p. 357-358 [357].
^ Said Amir Arjomand (1999), "The Law, Agency, and Policy in Medieval Islamic Society: Development of the Institutions of Learning from the Tenth to the Fifteenth Century", Comparative Studies in Society and History 41, p. 263-293. Cambridge University Press.
^ Samir Amin (1978), "The Arab Nation: Some Conclusions and Problems", MERIP Reports 68, p. 3-14 [8, 13].
^ Crone, Patricia (2005), Medieval Islamic Political Thought, Edinburgh University Press, pp. 308–9, ISBN 0748621946
^ Shadi Hamid (August 2003), "An Islamic Alternative? Equality, Redistributive Justice, and the Welfare State in the Caliphate of Umar", Renaissance: Monthly Islamic Journal 13 (8) (see online)
^ The Economic Life of Islam
^ Bakhash, Shaul, The Reign of the Ayatollahs, Basic Books, c1984, p.167-8
^ a b Revolutionary Surge and Quiet Demise of Islamic Economics in Iran
^ The Renewal of Islamic Law
^ Bakhash, Shaul, The Reign of the Ayatollahs, Basic Books, c1984, p.172-3
^ Roy, The Failure of Political Islam Harvard University Press, 1994, p.133
^ Nomani and Rahnema quote Qur'an 2:107, Qur'an 2:255, Qur'an 2:284, Qur'an 5:120, Qur'an 48:14
^ a b c d e f Nomani and Rahnema (1994), p. 66-70
^ a b c Nomani and Rahnema (1994), p. 71-77
^ a b c d e f Nomani and Rahnema (1994), p. 55-58
^ Nomani and Rahnema cite Qur'an 4:29, Qur'an 2:275 and Qur'an 2:279
^ Nomani and Rahnema cite Qur'an 5:1, Qur'an 16:91, Qur'an 23:8, Qur'an 17:34 and Qur'an 70:32
^ Nomani and Rahnema cite Qur'an 2:282.
^ Nomani and Rahnema cite Qur'an 55:9, Qur'an 26:181–183, Qur'an 11:84–85. They also point out that a chapter is devoted to such fraudulent practices: Qur'an 83:1–3
^ a b c d e f Meinhaj Hussain (June 2010), 21st Century Islamic State, 2.0 (see [3])
^ Historical dominance on money changing business
^ Opalesque (30 December 2009). "Malaysia exchange reviewing sharia compliant bonds".
^ Islamic Finance, Forbes (April 21, 2008)
^ Sohrab Behada, "Property Rights in Contemporary Islamic Economic Thought, Review of Social Economy, Summer 1989 v.47, (pp.185-211)
^ Kuran, "The Economic Impact of Islamic Fundamentalism," in Marty and Appleby Fundamentalisms and the State, U of Chicago Press, 1993, p.302-41
^ "The Discontents of Islamic Economic Mortality" by Timur Kuran, American Economic Review, 1996, p.438-442
^ a b Halliday, Fred, 100 Myths about the Middle East, Saqi Books, 2005 p.89
Monetary and Fiscal Policy in Islam
The role and realm of reign of each will be specified, in addition to the set of assumptions that is derived from the Islamic economic system, which include Zakah, prohibition of interest, moderation in consumption, the Islamic inheritance system, Hisbah, Qirad, and the co-existence of private and social ownership of the means of production. Zakah provides a major means of fiscal policy because it affects the allocation of resources, the level of aggregate demand and the distribution of income as well since the variations in the volume and the timing of collection and disbursement of Zakah creates variations in disposable income and fixed and circulating capital. The importance of this tool is enhanced by the relatively high ratio of Zakah to income, since it is levied also on wealth.
Additionally, the size of "waiting monetary assets" is influenced. The prohibition of interest, of course, reduces the degree of freedom of the government in using such tools of monetary policy as the rate of discount and the open market operations. But then, the Islamic approach to the issue of "waiting monetary assets" is different, in that these assets are dealt with through Zakah and a strict requirement of genuineness in business transactions. However, the central banking supervision and control over the money supply is not reduced but rather increased by the consideration of money as a "public utility", changes in which must not be left to the individual interests of monetary intermediaries (banks). The flexibility of Zakah allows for the intensification of the development efforts. This is always backed by ethics and values of "construction and improvement" in Islamic teachings. The last tool of economic policy has to do with the role of the government as an insider of the system rather than as an outsider. Such a government role is made available through its ownership of the major natural resources, and al-Hisbah. The distributive objective is built into the system by Zakah, the State insurance, and the inheritance system. Thus, over accumulation and excessive concentration of wealth is checked by forces that are working within the system itself.
Additionally, the size of "waiting monetary assets" is influenced. The prohibition of interest, of course, reduces the degree of freedom of the government in using such tools of monetary policy as the rate of discount and the open market operations. But then, the Islamic approach to the issue of "waiting monetary assets" is different, in that these assets are dealt with through Zakah and a strict requirement of genuineness in business transactions. However, the central banking supervision and control over the money supply is not reduced but rather increased by the consideration of money as a "public utility", changes in which must not be left to the individual interests of monetary intermediaries (banks). The flexibility of Zakah allows for the intensification of the development efforts. This is always backed by ethics and values of "construction and improvement" in Islamic teachings. The last tool of economic policy has to do with the role of the government as an insider of the system rather than as an outsider. Such a government role is made available through its ownership of the major natural resources, and al-Hisbah. The distributive objective is built into the system by Zakah, the State insurance, and the inheritance system. Thus, over accumulation and excessive concentration of wealth is checked by forces that are working within the system itself.
Return On Assets
What Does Return On Assets - ROA Mean?
An indicator of how profitable a company is relative to its total assets. ROA gives an idea as to how efficient management is at using its assets to generate earnings. Calculated by dividing a company's annual earnings by its total assets, ROA is displayed as a percentage. Sometimes this is referred to as "return on investment".
The formula for return on assets is: net income/total assets
Note: Some investors add interest expense back into net income when performing this calculation because they'd like to use operating returns before cost of borrowing.
Investopedia explains Return On Assets - ROA
ROA tells you what earnings were generated from invested capital (assets). ROA for public companies can vary substantially and will be highly dependent on the industry. This is why when using ROA as a comparative measure, it is best to compare it against a company's previous ROA numbers or the ROA of a similar company.
The assets of the company are comprised of both debt and equity. Both of these types of financing are used to fund the operations of the company. The ROA figure gives investors an idea of how effectively the company is converting the money it has to invest into net income. The higher the ROA number, the better, because the company is earning more money on less investment. For example, if one company has a net income of $1 million and total assets of $5 million, its ROA is 20%; however, if another company earns the same amount but has total assets of $10 million, it has an ROA of 10%. Based on this example, the first company is better at converting its investment into profit. When you really think about it, management's most important job is to make wise choices in allocating its resources. Anybody can make a profit by throwing a ton of money at a problem, but very few managers excel at making large profits with little investment.
An indicator of how profitable a company is relative to its total assets. ROA gives an idea as to how efficient management is at using its assets to generate earnings. Calculated by dividing a company's annual earnings by its total assets, ROA is displayed as a percentage. Sometimes this is referred to as "return on investment".
The formula for return on assets is: net income/total assets
Note: Some investors add interest expense back into net income when performing this calculation because they'd like to use operating returns before cost of borrowing.
Investopedia explains Return On Assets - ROA
ROA tells you what earnings were generated from invested capital (assets). ROA for public companies can vary substantially and will be highly dependent on the industry. This is why when using ROA as a comparative measure, it is best to compare it against a company's previous ROA numbers or the ROA of a similar company.
The assets of the company are comprised of both debt and equity. Both of these types of financing are used to fund the operations of the company. The ROA figure gives investors an idea of how effectively the company is converting the money it has to invest into net income. The higher the ROA number, the better, because the company is earning more money on less investment. For example, if one company has a net income of $1 million and total assets of $5 million, its ROA is 20%; however, if another company earns the same amount but has total assets of $10 million, it has an ROA of 10%. Based on this example, the first company is better at converting its investment into profit. When you really think about it, management's most important job is to make wise choices in allocating its resources. Anybody can make a profit by throwing a ton of money at a problem, but very few managers excel at making large profits with little investment.
Pengaruh pandangan hidup terhadap ilmu Ekonomi
PENDAHULUAN
Setiap manusia mempunyai pandangan hidup. Pandangan hidup itu bersifat kodrati. Karena itu ia menentukan masa depan seseorang. Pandangan hidup adalahpendapat atau pertimbangan yang dijadikan pegangan, pedoman, arahan, petunjuk hidup di dunia. Pendapat atau pertimbangan itu merupakan hasil pemikiran manusia berdasarkan pengalaman sejarah menurut waktu dan tempat hidupnya.
Baik ilmuwan sosial maupun intelektual menggunakan rangkaian asumsi atau paradigma atau pandangan hidup yang luas cakupannya untuk mengorganisasi upaya mereka memahami dunia kita, tujuan yang hendak kita kejar, cara kita memilih sarana untuk memajukan tujuan kita, dan cara kita berhubungan satu sama lain.Sementara di luar ilmu-ilmu sosial istilah yang digunakan untuk wacana umum untuk mengacu pada paradigma yang menyajikan suatu cara yang tertib untuk mengatur pemikiran kita tentang dunia yang kacau. Pengembangan paradigma melibatkan investasi yang besar yang meliputi ratusan ribu tahun kerja manusia.
Pandangan hidup dalam definisi ekonomi antara sekuler dan Islam adalah jauh berbeda. Perbedaan prinsip terletak pada anggapan pandangan terhadap realitas tentang eksistensi di alam semesta ini, yaitu: eksistensi terhadap Tuhan, alam semesta dan manusia.
Dalam pandangan sekuler, Tuhan terletak pada domain yang berbeda sama sekali dan tidak dapat disentuh oleh domain yang lain yang terkait dengan masalah kemanusiaan dan alam semesta, katakanlah misalnya ekonomi. Dia tidak ada campur tangan apapun dalam urusan manusia, terutama menyangkut persoalan materi. Oleh karenanya, pengejaran materi merupakan standar rasional dalam definisi ilmu sekuler, yang oleh Adam Smith dan diikuti pula oleh Alfred Marshall diformulasikan sebagai the wealth atau well-being, yaitu kesejahteraan; dan oleh Lionel Robbins sebagai the means, yaitu sarana dan sekaligus, dengan nilai yang mungkin lebih tinggi, sebagai the ends atau tujuan.
Rasionalitas sebagai konsekuensinya menuntut pemaksimalan keinginan (wants) akan kepuasan material sebagai “nilai” yang harus dicapai. Dengan inilah seperangkat asumsi dalam ilmu ekonomi dibangun. Ilmu ekonomi sebagaimana yang didefinisikan Robbins: the science which studies human behaviour as a relationship between ends and scare means which have alternative uses, menggambarkan keserakahan manusia terhadap kepuasan material dalam jumlah besar (multiple ends dengan alternative uses) yang ingin dicapai dalam situasi sumber daya yang amat terbatas. Keterbatasan ini digambarkan dengan sarkastik oleh Robbins, mewakili seluruh pikiran sekular, sebagai “kekikiran alam” nature is niggardly.
Pernyataan tersebut di atas dalam dunia yang (semestinya) tidak sekular, misalnya bagi dunia Muslim, berimplikasi bahwa Tuhan bersifat kikir dan bakhil terhadap manusia. Di sinilah konsistensi sekularisme untuk tetap menempatkan Tuhan pada “domain”-Nya, dan disinilah persoalan menjadi amat serius karena ummat Islam secara doktrinal tidak meyakini adanya pemisahan tersebut.
Kekikiran alam ini dalam perspektif sekular, masih mengikuti Robbins, membangun asums-asumsi yang disebut teori penilaian subyektif yang dengannya setiap keinginan individual dengan berbagai kepentingannya diatur dalam urutan tertentu, dan diturunkan secara teoritik ke dalam, misalnya, fungsi produksi, sehingga dapat dideskripsikalah sebuah hukum, yaitu the Law of Diminishing Returns. Dalam hal ini dinyatakan bahwa secara inisial tanah sebagai faktor produksi adalah bersifat tetap, karena pemakaian yang terus menerus, lama kelamaan “kekikiran alam” ini makin bertambah.
Islam dengan tegas menyangkal anggapan bahwa alam memiliki sifat kikir seperti itu. Allah SWT yang Maha Pemurah telah menganugerahkan kepada manusia apa saja yang mereka perlukan melalui ketersediaan berbagai sumber di alam semesta ini. “Dialah Allah yang menjadikan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk kamu semua” (QS. Al-Baqarah: 29).
Keterbatasan perspektif manusialah yang menimbulkan adanya kelangkaan sumber daya, perspektif ini dipengaruhi oleh kekurangan pengetahuan, informasi dan/atau kemampuan untuk melakukan eksplorasi sumber daya yang tersedia. Dalam arti luas, sumber daya alam ini tidak akan pernah habis kecuali Allah menentukannya di Hari Kiamat.
Habisnya satu bentuk sumberdaya melahirkan bentuk yang lain yang bisa baru sama sekali, baik secara alamiah maupun melalui invensi pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Jadi kelangkaan ini lebih merupakan persoalan ilmu (pengetahuan) sebagai fungsi “waktu”. Karenanya Islam amat menegaskan perlunya penguasaan ilmu pengetahuan (QS. Al-Mujadillah: 11) dan pengelolaan waktu (QS. Al-Qashr: 1-4). Tambahan lagi, bahwa pemberian sumberdaya secara bertahap ini juga memberi pelajaran manusia agar tidak arogan dan agar manusia menyadari posisinya sebagai pengemban amanah Allah sebagai Khalifah di muka bumi. Di sinilah perlunya rasionalitas
Setiap manusia mempunyai pandangan hidup. Pandangan hidup itu bersifat kodrati. Karena itu ia menentukan masa depan seseorang. Pandangan hidup adalahpendapat atau pertimbangan yang dijadikan pegangan, pedoman, arahan, petunjuk hidup di dunia. Pendapat atau pertimbangan itu merupakan hasil pemikiran manusia berdasarkan pengalaman sejarah menurut waktu dan tempat hidupnya.
Baik ilmuwan sosial maupun intelektual menggunakan rangkaian asumsi atau paradigma atau pandangan hidup yang luas cakupannya untuk mengorganisasi upaya mereka memahami dunia kita, tujuan yang hendak kita kejar, cara kita memilih sarana untuk memajukan tujuan kita, dan cara kita berhubungan satu sama lain.Sementara di luar ilmu-ilmu sosial istilah yang digunakan untuk wacana umum untuk mengacu pada paradigma yang menyajikan suatu cara yang tertib untuk mengatur pemikiran kita tentang dunia yang kacau. Pengembangan paradigma melibatkan investasi yang besar yang meliputi ratusan ribu tahun kerja manusia.
Pandangan hidup dalam definisi ekonomi antara sekuler dan Islam adalah jauh berbeda. Perbedaan prinsip terletak pada anggapan pandangan terhadap realitas tentang eksistensi di alam semesta ini, yaitu: eksistensi terhadap Tuhan, alam semesta dan manusia.
Dalam pandangan sekuler, Tuhan terletak pada domain yang berbeda sama sekali dan tidak dapat disentuh oleh domain yang lain yang terkait dengan masalah kemanusiaan dan alam semesta, katakanlah misalnya ekonomi. Dia tidak ada campur tangan apapun dalam urusan manusia, terutama menyangkut persoalan materi. Oleh karenanya, pengejaran materi merupakan standar rasional dalam definisi ilmu sekuler, yang oleh Adam Smith dan diikuti pula oleh Alfred Marshall diformulasikan sebagai the wealth atau well-being, yaitu kesejahteraan; dan oleh Lionel Robbins sebagai the means, yaitu sarana dan sekaligus, dengan nilai yang mungkin lebih tinggi, sebagai the ends atau tujuan.
Rasionalitas sebagai konsekuensinya menuntut pemaksimalan keinginan (wants) akan kepuasan material sebagai “nilai” yang harus dicapai. Dengan inilah seperangkat asumsi dalam ilmu ekonomi dibangun. Ilmu ekonomi sebagaimana yang didefinisikan Robbins: the science which studies human behaviour as a relationship between ends and scare means which have alternative uses, menggambarkan keserakahan manusia terhadap kepuasan material dalam jumlah besar (multiple ends dengan alternative uses) yang ingin dicapai dalam situasi sumber daya yang amat terbatas. Keterbatasan ini digambarkan dengan sarkastik oleh Robbins, mewakili seluruh pikiran sekular, sebagai “kekikiran alam” nature is niggardly.
Pernyataan tersebut di atas dalam dunia yang (semestinya) tidak sekular, misalnya bagi dunia Muslim, berimplikasi bahwa Tuhan bersifat kikir dan bakhil terhadap manusia. Di sinilah konsistensi sekularisme untuk tetap menempatkan Tuhan pada “domain”-Nya, dan disinilah persoalan menjadi amat serius karena ummat Islam secara doktrinal tidak meyakini adanya pemisahan tersebut.
Kekikiran alam ini dalam perspektif sekular, masih mengikuti Robbins, membangun asums-asumsi yang disebut teori penilaian subyektif yang dengannya setiap keinginan individual dengan berbagai kepentingannya diatur dalam urutan tertentu, dan diturunkan secara teoritik ke dalam, misalnya, fungsi produksi, sehingga dapat dideskripsikalah sebuah hukum, yaitu the Law of Diminishing Returns. Dalam hal ini dinyatakan bahwa secara inisial tanah sebagai faktor produksi adalah bersifat tetap, karena pemakaian yang terus menerus, lama kelamaan “kekikiran alam” ini makin bertambah.
Islam dengan tegas menyangkal anggapan bahwa alam memiliki sifat kikir seperti itu. Allah SWT yang Maha Pemurah telah menganugerahkan kepada manusia apa saja yang mereka perlukan melalui ketersediaan berbagai sumber di alam semesta ini. “Dialah Allah yang menjadikan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk kamu semua” (QS. Al-Baqarah: 29).
Keterbatasan perspektif manusialah yang menimbulkan adanya kelangkaan sumber daya, perspektif ini dipengaruhi oleh kekurangan pengetahuan, informasi dan/atau kemampuan untuk melakukan eksplorasi sumber daya yang tersedia. Dalam arti luas, sumber daya alam ini tidak akan pernah habis kecuali Allah menentukannya di Hari Kiamat.
Habisnya satu bentuk sumberdaya melahirkan bentuk yang lain yang bisa baru sama sekali, baik secara alamiah maupun melalui invensi pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Jadi kelangkaan ini lebih merupakan persoalan ilmu (pengetahuan) sebagai fungsi “waktu”. Karenanya Islam amat menegaskan perlunya penguasaan ilmu pengetahuan (QS. Al-Mujadillah: 11) dan pengelolaan waktu (QS. Al-Qashr: 1-4). Tambahan lagi, bahwa pemberian sumberdaya secara bertahap ini juga memberi pelajaran manusia agar tidak arogan dan agar manusia menyadari posisinya sebagai pengemban amanah Allah sebagai Khalifah di muka bumi. Di sinilah perlunya rasionalitas
Rabu, 26 Januari 2011
MOTIVASI
A. Pendahuluan
Tujuan memberikan motivasi tidaklah mudah. Secara typis para pekerja suatu perusahaan memiliki berbagai latar belakang pengalaman-pengalaman, harapan-harapan, keinginan-keinginan, ambisi-ambisi dan susunan spikologis yang berbeda.
Kejadian-kejadian dilihat mereka dengan sudut pandang mereka sendiri, dan reaksi terhadap pekerjaan mereka, terhadap diri mereka masing-masing dan terhadap lingkungan mereka dapat mengalami variasi-variasi besar.
B. Pengertian Motivasi
Motivasi secara sempit adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cara mengarahkan daya dan potensi orang-orang pegawai agar dapat bekerja secara produktis berhasil guna dan berdaya guna sesuai dengan tujuan perusahaan.
Motivasi secara luas adalah segala sesuatu baik berbentuk / berwujud upaya yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dimana mempunyai tujuan agar seseorang mau melakukan tindakan sesuai apa yang diinginkan.
* Teori-Teori Motivasi *
1. Menurut Edwin B. Flippo
Motivasi adalah suatu keahlian dalam mengarahkan orang-orang disebuah organisasi agar mau bergerak sesuai dengan kemampuan pemimpin sehingga mencapai tujuan.
2. Menurut George R. Terry
Motivasi adalah keinginan yang ada pada individu sehingga merangsang untuk melakukan tindakan.
C. Proses Motivasi
a. Menetapkan tujuan dan mendorong kearah tujuan.
b. Mengetahui keinginan-keinginan
c. Dengan melaksanakan komunikasi secara baik dan terus-menerus.
d. Menyatukan keinginan dan kepentingan-kepentingan untuk mencapai tujuan.
e. Motivator dapat menjadi stabilisator dan memberikan bantuan sepenuhnya.
f. Membentuk dan mengembangkan kesatuan kerja.
D. Pola Dasar Untuk Menumbuhkan Motivasi
Menurut Dr. Daviel Mc. Le Wand terdapat 4 pola dasar dalam menumbuhkan motivasi :
a. Karena adanya prestasi
b. Motivasi karena penerimaan
c. Karena adanya persaingan
d. Motivasi karena adanya kekuatan / kekuasaan
E. Nilai-Nilai, Sikap dan Motivasi
Bagi seorang individu, sistem nilai dasar yang dianutnya, akhirnya menentukan bagaimana ia berhadapan dengan dirinya sendiri, bagaimana ia berhadapan dengan pekerjaannya dan pihak-pihak lain.
Nilai-nilai adalah penting dalam bidang motivasi oleh karena pengaruh mereka atas kelakuan seseorang.
Sikap dapat kita katakan sebagai cara seseorang cenderung merasa, melihat atau menafsirkan sesuatu situasi tertentu.
Sikap lebih banyak berhubungan dengan cara-cara melakukan dan tingkat-tingkat eksistensi final dan apabila ia ditambah dengan sesuatu nilai ia akan merupakan sebuah kristal yang lebih lama bertahan untuk membina tindakan-tindakan.
Kebanyakan sasaran dapat dicapai secara lebih efektif apabila terdapat sikap positif optimisme merupakan persoalan sikap.
F. Motivator Yang Disarankan
1. Memperkaya jabatan dan rotasi
2. Partisipasi
3. Manajemen berdasarkan hasil
4. Manajer penggandaan
5. Kekuatan fikiran
6. Hubungan manusia yang realistis
7. Lingkungan dimana pekerjaan dilaksanakan
8. Jam-jam kerja yang fleksibel
9. Kritik yang efektif
10. Tiada kesalahan sama sekali
G. Motivasi Manusia Untuk Bekerja
Pada umumnya manusia ingin bekerja karena :
1. Kebutuhan hidup
2. Ingin memiliki sesuatu
3. Ingin memperoleh kekuasaan
4. Ingin mendapatkan pengakuan
Pada intinya bahwa manusia tersebut ingin bekerja karena mempunyai motif-motif, keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan serta kepuasan oleh karena itu untuk pemenuhannya manusia harus bekerja.
Pengelompokkan kebutuhan menjadi 3 yaitu :
1. Kebutuhan fisik dan keamanan ( secara dhohir / biologis )
2. Kebutuhan sosial ; kebutuhan yang tidak tampak tapi hasilnya biasa memuaskan.
3. Kebutuhan egolistik ; untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri / keinginan manusia untuk bebas.
KESIMPULAN
1. Motivasi adalah suatu tindakan secara aktif ( dinamis ) dan tindakan secara pasif ( statis ) sebagai usaha yang positif / negatif dalam menggerakkan dan mengerahkan daya potensi manusia kearah yang diinginkan.
2. Motivasi yang diberikan oleh pimpinan yang mengandung kebijaksanaan dan kearifan yang akhirnya menimbulkan rasa : dihargai, sikap optimis, percaya diri, dan kinerja ( semangat kerja ).
3. Manusia merupakan makhluk yang terus-menerus memiliki keinginan-keinginan segera, apabila kebutuhan tertentu dipenuhi maka kebutuhan lain akan muncul. Proses tersebut tidak berhenti, ia berkelanjutan dari kelahiran hingga kematian.
4. Manusia secara kontinu melakukan usaha-usaha untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya.
DAFTAR PUSTAKA
- George R. Terry, Ph.D., Asas-Asas Manajemen, alih bahasa, Dr. Winardi, SE., Penerbit Alumni, 1986, Bandung.
- Dr. Winardi, SE., Kepemimpinan Dalam Manajemen, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.
- Frank G. Goble, Mazhab Ketiga ; Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1987.
Tujuan memberikan motivasi tidaklah mudah. Secara typis para pekerja suatu perusahaan memiliki berbagai latar belakang pengalaman-pengalaman, harapan-harapan, keinginan-keinginan, ambisi-ambisi dan susunan spikologis yang berbeda.
Kejadian-kejadian dilihat mereka dengan sudut pandang mereka sendiri, dan reaksi terhadap pekerjaan mereka, terhadap diri mereka masing-masing dan terhadap lingkungan mereka dapat mengalami variasi-variasi besar.
B. Pengertian Motivasi
Motivasi secara sempit adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cara mengarahkan daya dan potensi orang-orang pegawai agar dapat bekerja secara produktis berhasil guna dan berdaya guna sesuai dengan tujuan perusahaan.
Motivasi secara luas adalah segala sesuatu baik berbentuk / berwujud upaya yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dimana mempunyai tujuan agar seseorang mau melakukan tindakan sesuai apa yang diinginkan.
* Teori-Teori Motivasi *
1. Menurut Edwin B. Flippo
Motivasi adalah suatu keahlian dalam mengarahkan orang-orang disebuah organisasi agar mau bergerak sesuai dengan kemampuan pemimpin sehingga mencapai tujuan.
2. Menurut George R. Terry
Motivasi adalah keinginan yang ada pada individu sehingga merangsang untuk melakukan tindakan.
C. Proses Motivasi
a. Menetapkan tujuan dan mendorong kearah tujuan.
b. Mengetahui keinginan-keinginan
c. Dengan melaksanakan komunikasi secara baik dan terus-menerus.
d. Menyatukan keinginan dan kepentingan-kepentingan untuk mencapai tujuan.
e. Motivator dapat menjadi stabilisator dan memberikan bantuan sepenuhnya.
f. Membentuk dan mengembangkan kesatuan kerja.
D. Pola Dasar Untuk Menumbuhkan Motivasi
Menurut Dr. Daviel Mc. Le Wand terdapat 4 pola dasar dalam menumbuhkan motivasi :
a. Karena adanya prestasi
b. Motivasi karena penerimaan
c. Karena adanya persaingan
d. Motivasi karena adanya kekuatan / kekuasaan
E. Nilai-Nilai, Sikap dan Motivasi
Bagi seorang individu, sistem nilai dasar yang dianutnya, akhirnya menentukan bagaimana ia berhadapan dengan dirinya sendiri, bagaimana ia berhadapan dengan pekerjaannya dan pihak-pihak lain.
Nilai-nilai adalah penting dalam bidang motivasi oleh karena pengaruh mereka atas kelakuan seseorang.
Sikap dapat kita katakan sebagai cara seseorang cenderung merasa, melihat atau menafsirkan sesuatu situasi tertentu.
Sikap lebih banyak berhubungan dengan cara-cara melakukan dan tingkat-tingkat eksistensi final dan apabila ia ditambah dengan sesuatu nilai ia akan merupakan sebuah kristal yang lebih lama bertahan untuk membina tindakan-tindakan.
Kebanyakan sasaran dapat dicapai secara lebih efektif apabila terdapat sikap positif optimisme merupakan persoalan sikap.
F. Motivator Yang Disarankan
1. Memperkaya jabatan dan rotasi
2. Partisipasi
3. Manajemen berdasarkan hasil
4. Manajer penggandaan
5. Kekuatan fikiran
6. Hubungan manusia yang realistis
7. Lingkungan dimana pekerjaan dilaksanakan
8. Jam-jam kerja yang fleksibel
9. Kritik yang efektif
10. Tiada kesalahan sama sekali
G. Motivasi Manusia Untuk Bekerja
Pada umumnya manusia ingin bekerja karena :
1. Kebutuhan hidup
2. Ingin memiliki sesuatu
3. Ingin memperoleh kekuasaan
4. Ingin mendapatkan pengakuan
Pada intinya bahwa manusia tersebut ingin bekerja karena mempunyai motif-motif, keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan serta kepuasan oleh karena itu untuk pemenuhannya manusia harus bekerja.
Pengelompokkan kebutuhan menjadi 3 yaitu :
1. Kebutuhan fisik dan keamanan ( secara dhohir / biologis )
2. Kebutuhan sosial ; kebutuhan yang tidak tampak tapi hasilnya biasa memuaskan.
3. Kebutuhan egolistik ; untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri / keinginan manusia untuk bebas.
KESIMPULAN
1. Motivasi adalah suatu tindakan secara aktif ( dinamis ) dan tindakan secara pasif ( statis ) sebagai usaha yang positif / negatif dalam menggerakkan dan mengerahkan daya potensi manusia kearah yang diinginkan.
2. Motivasi yang diberikan oleh pimpinan yang mengandung kebijaksanaan dan kearifan yang akhirnya menimbulkan rasa : dihargai, sikap optimis, percaya diri, dan kinerja ( semangat kerja ).
3. Manusia merupakan makhluk yang terus-menerus memiliki keinginan-keinginan segera, apabila kebutuhan tertentu dipenuhi maka kebutuhan lain akan muncul. Proses tersebut tidak berhenti, ia berkelanjutan dari kelahiran hingga kematian.
4. Manusia secara kontinu melakukan usaha-usaha untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya.
DAFTAR PUSTAKA
- George R. Terry, Ph.D., Asas-Asas Manajemen, alih bahasa, Dr. Winardi, SE., Penerbit Alumni, 1986, Bandung.
- Dr. Winardi, SE., Kepemimpinan Dalam Manajemen, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.
- Frank G. Goble, Mazhab Ketiga ; Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1987.
AKAD
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam fiqih muamalah ada aturan-aturan atau hukum Allah SWT yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan.
Karena pada dasarnya manusia diciptakan sebagai makhluk individu dan sosial yang membutuhkan orang lain untuk memnuhi kehidupan duniawinya, dengan dapat dipertanggung jawabkan kelak di akhirat.
Di antara aktivitas manusia yang diatur dalam fiqih muamalah adalah akad, yaitu perjanjian antara sesama manusia dua atau tiga orang atau lebih. Tetapi dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak berdasarkan pada keridoan dan syari’at Islam.
Dalam makalah ini juga akan diterangkan mengenai maram akad, syarat dan rukun akad dan juga yang membatalkan akad. Yang penjelasannya akan diuraikan dalam makalah ini. Selamat membaca.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akad
Akad secara bahasa berarti al-rabth (ikatan, mengikat)
لرَّبْطُ بَيْنَ اَطْرَافِ الشّىءِ سواء اَكَانَ حِسِّيًّا اَمْ مَعْنَوِ يًّا مِنْ جَانِبٍ اَوْمِنْ
جَانِيْنِ.
Artinya : “Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi”.
Bisa juga berarti العقدة (samungan) العهد dan (janji)
Pengertian lafdhiyah ini sebagaimana terdapat pada surat Al-Maidah ayat 1 :
•
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”. (QS. Al-Maidah : 1).
Sedangkan akad secara istilah ditinjau dari dua segi yaitu :
1. Secara Umum
Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanbaliah :
كُلُّ مَا عَنَ مَ الهَرْءُ عَلَى فِعْلِهِ سَوَاءٌ صَدَرَبِاِرَادَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كَالْوَ فْفِ وَالاِبْرَاءِ
وَالَّطَلاَقِ وَالْيَمِيْنِ اَمْ اِحْتَاجَ إِ لَى اِرادَتَيْنِ خِالنْشَائِهِ كَااْلبَيْعِ وَاْلاِتْجَارِ وَالتَّوْ
كِيْلِ وَالرَّهْنِ .
Artinya : “Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan dan gadai”.
2. Secara Khusus
Pengertian akad secara khusus seperti dikemukakan oleh ulama Fiqih, antara lain :
اِرْتِبَاطِ اليْجَابٍ بِقَبُوْ لٍ عَلَى وَ جْهٍ مَشْرُوْعٍ يَثْبُتْ أَثْرُهُ فَى مَحَلِهِ.
Artinya : “Perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuan syara yang berdampak pada objeknya”.
تَعَلُّقُ كَلاَمٍ اَحَدِ اْلَعَاقِدِيْنَ بِا ْلاَخِرِ شَرْعًا وَجْهٍ يَظْهُرُ اَثَرُهُ فِاْلمَحَلِّ .
Artinya : “Pengertian ucapan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara syara pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya”
Dengan demikian, ijab dan qobul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’.
Akad juga mempunyai makna lain yang merupakan salah satu perbuatan atau tindakan hukum. Maksudnya akad (perikatan) tersebut menimbulkan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan akad.
Perbuatan atau tindakan hukum atas harta benda dalam fiqih muamalah dinamakan al-tasharruf, yaitu : segala sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban) al-tasharruf ini dibedakan menjadi 2 yaitu :
- Tasharruf fi’li (perbuatan) adalah usaha yang dilakukan manusia dari tenaga dan badannya. Contoh : mengelola tanah yang tandus.
- Tasharruf gauli (perkataan) adalah uasaha yang keluar dari lidah manusia. Contoh : wakaf, hibah, thalaq.
Tetapi dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak berdasarkan pada keridhaan dan syariat Islam.
B. Rukun Akad dan Syarat-Syaratnya
Menurut Fuqoha Jumhur rukun akad terdiri atas :
1. Al-Aqidain, para pihak yang terlibat langsung dengan akad.
2. Mahallul’aqd, yakni objek akad, yaitu sesuatu yang hendak diakadkan.
3. Sihgat al’aqd, yakni pernyataan kalimat akad, yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan pernyataan qobul.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, rukun abad hanya 1 yaitu Sighat Al’aqd. Adapun Al-Aqidain dan Mahallul’aqd bukan sebagai rukun akad, melainkan lebih tepat sebagai syarat akad karena keberadaannya sudah pasti. Berdasarkan pengertian di atas maka rukun akad adalah kesepakatan dua kehendak, yakni ijab dan qobul. Seorang pelaku tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatannya, karena pelaku bukan merupakan bagian internal dari perbuatannya. Syarat menurut pengertian istilah fuqaha dan ahlul ushul adalah segala sesuatu yang lain, sedangkan ia bersifat eksternal (kharijly). Maksudnya ditiadanya syarat mengharuskan tiadanya masyrut (sesuatu yang disyaratkan), sedangkan adanya syarat tidak mengharuskan adanya masyrut. Misal : kecakapan pihak yang berakad merupakan syarat yang berlaku pada setiap akad, sehingga tiada kecakapan menjadi tidak berlangsungnya akad. Adapun sebab menurut pengertian istilah fuqaha dan ahlul ushul adalah setiap peristiwa yang mana syara’ mengkaitkannya terhadap ada dan tidaknya suatu yang lain ia bersifat eksternal.
Jadi rukun, syarat dan sebab merupakan bagian yang sangat penting untuk suatu akad.
Musthafa Ahmad Al-Zarqa menawarkan istilah lain atas sejumlah hal yang dipandang sebagai rukun oleh fuqaha jumhur yaitu dengan menyebutkannya dengan istilah muqawimat aqad (unsur penegak akad) yang terdiri dari :
1. Al aqidain
2. Mahallul aqad (objek akad)
3. Maudhu’ul aqad (tujuan akad)
4. Shighat aqad (ijab dan qabul)
Dari 3 unsur yang pertama (1, 2 dan 3) dari muqawwimat al-aqd berlaku syarat-syarat umum yang harus terpenuhi dalam setiap akad yaitu :
1. Pihak-pihak yang melakukan akad (al-aqidain) harus memenuhi persyaratan kecakapan bertindak hukum (mukallaf).
2. Objek akad (mahallul aqd) dapat menerima hukum akad, artinya pada setiap akad berlaku ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan objeknya apakah dapat dikenai hukuman akad atau tidak.
3. Tujuan (maudhu al-aqd) diizinkan oleh syarat atau tidak bertentangan dengannya.
4. Akadnya sendiri harus mengandung manfaat.
Macam-macam syarat aqad adalah :
1. Syarat in’iqad
Adalah persyaratan yang berkenaan dengan berlangsungnya sebuah akad. Persyaratan ini mutlak harus dipenuhi bagi eksistensinya (keberadaan) akad. Jika tidak terpenuhi akad menjadi batal.
2. Syarat shihah (sah)
Adalah syarat yang ditetapkan oleh syara’ yang berkenaan untuk menertibkan ada atau tidaknya akibat hukum yang ditimbulkan oleh akad. Jika tidak terpenuhi akadnya menjadi rusak (fasid).
3. Syarat nafadz
Adalah persyaratan yang ditetapkan oleh syara’ berkenaan dengan berlakunya (ditangguhkan). Syarat Nafadz ada 2 : (1) milik atau wilayah, artinya orang yang melakukan akad benar-benar sebagai pemilik barang atau ia mempunyai otoritas atas objek akad. (2) objek akad harus terbebas dari hak- hak pihak ke-3.
4. Syarat Ilzam (kepastian)
Adalah persyaratan yang ditetapkan oleh syara’ berkenaan dengan kepastian sebuah akad, akad sendiri sesungguhnya sebuah Ilzam (kepastian). Jika sebuah akad belum bisa dipastikannya berlakunya seperti ada unsur tertentu yang menimbulkan hak khiyar, maka akad seperti ini dalam kondisi ghiru lazim (belum pasti), karena masing-masing pihak berhak memfasakhkan akad atau tetap melangsungkannya.
Macam-macam akad dan pengolongannya
1. Dilihat dari segi ada atau tidaknya qismah pada aqad tersebut. Dibagi menjadi :
Uqud musammah yaitu : akad-akad yang telah ditetapkan syara dan diberikan hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, ijrah, sirkah, dan lain-lain.
Uqud ghoiru musammah yaitu : akad-akad yang belum diberikan istilah-istilah dan belum ditetapkan hukum-hukumnya.
2. Dilihat dari segi diisyaratkannya akad atau tidaknya dibagi menjadi :
Uqud musyara’ah yaitu akad-akad yang dibenarkan syara’ dan diizinkannya, umpamanya jual beli, jual harta yang ada harganya dan termasuk juga hibah dan rahn (gadai).
Uqudun Mamnu’ah yaitu : akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak binatang yang masih dalam kandungan yang dalam bahasa arab dikatakan ba’i malaqih atua ba’i madlamin, yang dikenal di masa jahiliyah.
3. Dilihat dari segi sah tidaknya akad dibagi menjadi :
Uqud Shahibah yaitu : yang cukup syarat, baik syarat-syarat yang bersifat umum, maupun syarat-syarat yang khusus, baik pada pokoknya, maupun pada cabang-cabangnya.
Uqud fasidah, yaitu akad-akad yang cedera yang tidak sempurna yakni terdapat padanya sebagian syarat yang berpautan dengan bukan hukum pokok.
4. Dilihat dari sifat bendanya, dibagi menjadi :
Uqud ainiyah, yakni : yang disyaratkan untuk kesempurnaannya menyerahkan barang-barang yang dilakukan akad terhadapnya. Akad ini tidaklah dipandang sempurna kecuali dengan melaksanakan apa yang diakadkan itu yakni benda yang dijual diserahkan kepada yang membeli.
Uqud ghoiru ainiyah yaitu akad-akad yang hasil dengan semata-mata akad dilakukan.
5. Dilihat dari sifat bendanya, dibagi menjadi :
Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu, yaitu ada saksi seperti pernikahan.
Uqud ridhaiyah yakni : akad-akad yang tidak memerlukan upacara yang apabila terjadi persetujuan kedua belah piahak telah menghasilkan akad.
6. Dilihat kepada berlaku tidaknya akad yang dalam istilah dikatakan ini akad di bagi menjadi :
Uqud nafizah yaitu : terlepas dari suatu penghalang sahya akad.
Uqud mauqufah yaitu : akad-akad yang berpautan dengan persetujuan.
7. Dilihat dari hizum dan dapat difasahknnya akad dibagi menjadi :
Aqad lazim bihhqqith tharafaini. Akad ini tidak dapat difasakh dengan jalan iqalah, yaitu aqduzziwaj. Aqduzziwaj adalah akad yang tidak dapat difasakhkan dengan jalan iqalah.
Uqud Lazimah bihaqqi thafairini, Tetapi dapat difasakhkan dengan iqalah atas persetujuan kedua belah pihak.
Uqudum Lazimah bihaqqi akadith mtharafaini, seperti rahn kafalah rahn dan kafalah merupakan keharusan bagi si rahin dan di kafil, tidak merupakan keharusan yang dipenuhi oleh si murtahin atau si makfullahu. Si murtahin boleh melepaskan rahn kapan saja di kehendaki.
Uqudun lazimah bihaqqi kilath tharafaini yaitu : yang boleh ditarik kembali oleh masing-masing pihak tanpa menunggu persetujuan pihak yang ke-2.
8. Dillihat dari segi tukar menukar hak dibagi menjadi :
Uqudun mu’awadlah yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar timbal balik
Uqud tabarruaf yaitu akad-akad yang berdasarkan pemberian dan pertolongan.
Uqud yang mengandung tabrru’ pada permulaan tetapi menjadi mawadlah pada akhirnya.
9. Dilihat dari harus dibayar ganti dan tidak dibagi.
Uqud dlaman, barang yaitu : tanggung jawab pihak kedua sesudah barang itu ditermanya.
Uqud amanah yaitu : tanggung jawab dipikul oleh yang empunya, bukan oleh yang memegang barang yaitu ida, i’arah, syurkah, dan lain-lain
Uqud yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, dari satu segi yang mengharuskan dlaman. Dari yang lain merupakan amanah, yaitu ijarah, rahn, dan lain-lain.
10. Dilihat dari segi tujuan akad, yaitu :
Ghayahnya tamlik
Yang tujuannya mengokohkan kepercayaan saja (tautsig)
Yang tujuannya menyarahkan kekuasaan.
Yang tujuannya pemeliharaan.
11. Dilihat dari segi segera berlakunya dan terus menerus berlakunya, tidak habis pada waktu itu, dibagi menjadi :
Uqud tauriyah yaitu : tidak habis pada waktu akad itu dibagi menjadi waktu yang lama. Pelaksanaannya hanya memerlukan sebentar waktu saja, yaitu masa terjadinya akad.
Uqud mustamirrah yaitu akad-akad yang pelaksanaannya memerlikan waktu yang menjadi unsur asasi dalam pelaksanaannya. Karena itu akad mustamirrah ini dinamakan juga uqud zamaniyah.
12. Dilihat dari asliyah dan tabi’iyah di bagi menjadi :
Uqud asliyah itu : segala akad yang berdiri sendiri tidak memerlukan kepada adanya sesuatu urusan lain, yaitu : jual beli, ijarah, dan lain-lain.
Uqud tabi’iyah yaitu : segala akad yang berpautan wujudnya pada adanya sesuatu yang lain.
Pembentukan Akad
Akad dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya, seperti pada masa khiyar, terkadang dikaitkan pada masa yang akan datang, seperti pembatalan dalam sewa menyewa dan pinjam meminjam yang telah disepakati selama 5 bulan, tetapi sebelum 5 bulan telah dibatalkan.
Pada akad ghoir lazim, yang kedua pihak dapat membatalkan akad, pembatalan ini sangat jelas, seperti pada penitipan, barang, perwakilan dan lain-lain, atau yang ghoir lazim pada satu pihak dan lazim pada pihak lainnya, seperti gadai. Orang yag menerima gadai dibolehkan membatalkan akad walaupuan tanpa sepengetahuan orang yang mengadakan barang.
Adapun pembatalan pada akad lazim, terdapat dalam beberapa hal berikut a. Ketika akad rusak
b. Adanya khiyar
c. Pembetalan akad
d. Tidak mungkin melaksanakan akad
e. Masa akad berakhir.
C. KESIMPULAN
Manusia diciptakan sebagai mahkluk individu dan sosial yang membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat keduniawiannya dengan dapat dipertanggung jawabkan kelak di akhirat. Di antara aktivitas manusia yang diatur dalam fiqih muamalah adalah akad yaitu perjanjian antara sesama manusia 2 atau 3 orang atau lebih.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku, 1997, pengantar Fiqih Muamalah, Semarang :
Pustaka Rizky Putra.
A. Mas’adi, Ghufron, 2002, Fiqih Muamalah Konterkstual, Jakarta : Raja Grafindo Persada
Dewi Gemala, Wirdiyaningsih & Yeni Salma Barlinti, 2006, Hukum Perikatan islam Indonesia, Jakarta : Kencana.
Syafe’i Rachmat, 2004, Fikih Muamalah, Bandung : Pustaka Setia
PENDAHULUAN
Dalam fiqih muamalah ada aturan-aturan atau hukum Allah SWT yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan.
Karena pada dasarnya manusia diciptakan sebagai makhluk individu dan sosial yang membutuhkan orang lain untuk memnuhi kehidupan duniawinya, dengan dapat dipertanggung jawabkan kelak di akhirat.
Di antara aktivitas manusia yang diatur dalam fiqih muamalah adalah akad, yaitu perjanjian antara sesama manusia dua atau tiga orang atau lebih. Tetapi dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak berdasarkan pada keridoan dan syari’at Islam.
Dalam makalah ini juga akan diterangkan mengenai maram akad, syarat dan rukun akad dan juga yang membatalkan akad. Yang penjelasannya akan diuraikan dalam makalah ini. Selamat membaca.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akad
Akad secara bahasa berarti al-rabth (ikatan, mengikat)
لرَّبْطُ بَيْنَ اَطْرَافِ الشّىءِ سواء اَكَانَ حِسِّيًّا اَمْ مَعْنَوِ يًّا مِنْ جَانِبٍ اَوْمِنْ
جَانِيْنِ.
Artinya : “Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi”.
Bisa juga berarti العقدة (samungan) العهد dan (janji)
Pengertian lafdhiyah ini sebagaimana terdapat pada surat Al-Maidah ayat 1 :
•
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”. (QS. Al-Maidah : 1).
Sedangkan akad secara istilah ditinjau dari dua segi yaitu :
1. Secara Umum
Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanbaliah :
كُلُّ مَا عَنَ مَ الهَرْءُ عَلَى فِعْلِهِ سَوَاءٌ صَدَرَبِاِرَادَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كَالْوَ فْفِ وَالاِبْرَاءِ
وَالَّطَلاَقِ وَالْيَمِيْنِ اَمْ اِحْتَاجَ إِ لَى اِرادَتَيْنِ خِالنْشَائِهِ كَااْلبَيْعِ وَاْلاِتْجَارِ وَالتَّوْ
كِيْلِ وَالرَّهْنِ .
Artinya : “Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan dan gadai”.
2. Secara Khusus
Pengertian akad secara khusus seperti dikemukakan oleh ulama Fiqih, antara lain :
اِرْتِبَاطِ اليْجَابٍ بِقَبُوْ لٍ عَلَى وَ جْهٍ مَشْرُوْعٍ يَثْبُتْ أَثْرُهُ فَى مَحَلِهِ.
Artinya : “Perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuan syara yang berdampak pada objeknya”.
تَعَلُّقُ كَلاَمٍ اَحَدِ اْلَعَاقِدِيْنَ بِا ْلاَخِرِ شَرْعًا وَجْهٍ يَظْهُرُ اَثَرُهُ فِاْلمَحَلِّ .
Artinya : “Pengertian ucapan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara syara pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya”
Dengan demikian, ijab dan qobul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’.
Akad juga mempunyai makna lain yang merupakan salah satu perbuatan atau tindakan hukum. Maksudnya akad (perikatan) tersebut menimbulkan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan akad.
Perbuatan atau tindakan hukum atas harta benda dalam fiqih muamalah dinamakan al-tasharruf, yaitu : segala sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban) al-tasharruf ini dibedakan menjadi 2 yaitu :
- Tasharruf fi’li (perbuatan) adalah usaha yang dilakukan manusia dari tenaga dan badannya. Contoh : mengelola tanah yang tandus.
- Tasharruf gauli (perkataan) adalah uasaha yang keluar dari lidah manusia. Contoh : wakaf, hibah, thalaq.
Tetapi dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak berdasarkan pada keridhaan dan syariat Islam.
B. Rukun Akad dan Syarat-Syaratnya
Menurut Fuqoha Jumhur rukun akad terdiri atas :
1. Al-Aqidain, para pihak yang terlibat langsung dengan akad.
2. Mahallul’aqd, yakni objek akad, yaitu sesuatu yang hendak diakadkan.
3. Sihgat al’aqd, yakni pernyataan kalimat akad, yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan pernyataan qobul.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, rukun abad hanya 1 yaitu Sighat Al’aqd. Adapun Al-Aqidain dan Mahallul’aqd bukan sebagai rukun akad, melainkan lebih tepat sebagai syarat akad karena keberadaannya sudah pasti. Berdasarkan pengertian di atas maka rukun akad adalah kesepakatan dua kehendak, yakni ijab dan qobul. Seorang pelaku tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatannya, karena pelaku bukan merupakan bagian internal dari perbuatannya. Syarat menurut pengertian istilah fuqaha dan ahlul ushul adalah segala sesuatu yang lain, sedangkan ia bersifat eksternal (kharijly). Maksudnya ditiadanya syarat mengharuskan tiadanya masyrut (sesuatu yang disyaratkan), sedangkan adanya syarat tidak mengharuskan adanya masyrut. Misal : kecakapan pihak yang berakad merupakan syarat yang berlaku pada setiap akad, sehingga tiada kecakapan menjadi tidak berlangsungnya akad. Adapun sebab menurut pengertian istilah fuqaha dan ahlul ushul adalah setiap peristiwa yang mana syara’ mengkaitkannya terhadap ada dan tidaknya suatu yang lain ia bersifat eksternal.
Jadi rukun, syarat dan sebab merupakan bagian yang sangat penting untuk suatu akad.
Musthafa Ahmad Al-Zarqa menawarkan istilah lain atas sejumlah hal yang dipandang sebagai rukun oleh fuqaha jumhur yaitu dengan menyebutkannya dengan istilah muqawimat aqad (unsur penegak akad) yang terdiri dari :
1. Al aqidain
2. Mahallul aqad (objek akad)
3. Maudhu’ul aqad (tujuan akad)
4. Shighat aqad (ijab dan qabul)
Dari 3 unsur yang pertama (1, 2 dan 3) dari muqawwimat al-aqd berlaku syarat-syarat umum yang harus terpenuhi dalam setiap akad yaitu :
1. Pihak-pihak yang melakukan akad (al-aqidain) harus memenuhi persyaratan kecakapan bertindak hukum (mukallaf).
2. Objek akad (mahallul aqd) dapat menerima hukum akad, artinya pada setiap akad berlaku ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan objeknya apakah dapat dikenai hukuman akad atau tidak.
3. Tujuan (maudhu al-aqd) diizinkan oleh syarat atau tidak bertentangan dengannya.
4. Akadnya sendiri harus mengandung manfaat.
Macam-macam syarat aqad adalah :
1. Syarat in’iqad
Adalah persyaratan yang berkenaan dengan berlangsungnya sebuah akad. Persyaratan ini mutlak harus dipenuhi bagi eksistensinya (keberadaan) akad. Jika tidak terpenuhi akad menjadi batal.
2. Syarat shihah (sah)
Adalah syarat yang ditetapkan oleh syara’ yang berkenaan untuk menertibkan ada atau tidaknya akibat hukum yang ditimbulkan oleh akad. Jika tidak terpenuhi akadnya menjadi rusak (fasid).
3. Syarat nafadz
Adalah persyaratan yang ditetapkan oleh syara’ berkenaan dengan berlakunya (ditangguhkan). Syarat Nafadz ada 2 : (1) milik atau wilayah, artinya orang yang melakukan akad benar-benar sebagai pemilik barang atau ia mempunyai otoritas atas objek akad. (2) objek akad harus terbebas dari hak- hak pihak ke-3.
4. Syarat Ilzam (kepastian)
Adalah persyaratan yang ditetapkan oleh syara’ berkenaan dengan kepastian sebuah akad, akad sendiri sesungguhnya sebuah Ilzam (kepastian). Jika sebuah akad belum bisa dipastikannya berlakunya seperti ada unsur tertentu yang menimbulkan hak khiyar, maka akad seperti ini dalam kondisi ghiru lazim (belum pasti), karena masing-masing pihak berhak memfasakhkan akad atau tetap melangsungkannya.
Macam-macam akad dan pengolongannya
1. Dilihat dari segi ada atau tidaknya qismah pada aqad tersebut. Dibagi menjadi :
Uqud musammah yaitu : akad-akad yang telah ditetapkan syara dan diberikan hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, ijrah, sirkah, dan lain-lain.
Uqud ghoiru musammah yaitu : akad-akad yang belum diberikan istilah-istilah dan belum ditetapkan hukum-hukumnya.
2. Dilihat dari segi diisyaratkannya akad atau tidaknya dibagi menjadi :
Uqud musyara’ah yaitu akad-akad yang dibenarkan syara’ dan diizinkannya, umpamanya jual beli, jual harta yang ada harganya dan termasuk juga hibah dan rahn (gadai).
Uqudun Mamnu’ah yaitu : akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak binatang yang masih dalam kandungan yang dalam bahasa arab dikatakan ba’i malaqih atua ba’i madlamin, yang dikenal di masa jahiliyah.
3. Dilihat dari segi sah tidaknya akad dibagi menjadi :
Uqud Shahibah yaitu : yang cukup syarat, baik syarat-syarat yang bersifat umum, maupun syarat-syarat yang khusus, baik pada pokoknya, maupun pada cabang-cabangnya.
Uqud fasidah, yaitu akad-akad yang cedera yang tidak sempurna yakni terdapat padanya sebagian syarat yang berpautan dengan bukan hukum pokok.
4. Dilihat dari sifat bendanya, dibagi menjadi :
Uqud ainiyah, yakni : yang disyaratkan untuk kesempurnaannya menyerahkan barang-barang yang dilakukan akad terhadapnya. Akad ini tidaklah dipandang sempurna kecuali dengan melaksanakan apa yang diakadkan itu yakni benda yang dijual diserahkan kepada yang membeli.
Uqud ghoiru ainiyah yaitu akad-akad yang hasil dengan semata-mata akad dilakukan.
5. Dilihat dari sifat bendanya, dibagi menjadi :
Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu, yaitu ada saksi seperti pernikahan.
Uqud ridhaiyah yakni : akad-akad yang tidak memerlukan upacara yang apabila terjadi persetujuan kedua belah piahak telah menghasilkan akad.
6. Dilihat kepada berlaku tidaknya akad yang dalam istilah dikatakan ini akad di bagi menjadi :
Uqud nafizah yaitu : terlepas dari suatu penghalang sahya akad.
Uqud mauqufah yaitu : akad-akad yang berpautan dengan persetujuan.
7. Dilihat dari hizum dan dapat difasahknnya akad dibagi menjadi :
Aqad lazim bihhqqith tharafaini. Akad ini tidak dapat difasakh dengan jalan iqalah, yaitu aqduzziwaj. Aqduzziwaj adalah akad yang tidak dapat difasakhkan dengan jalan iqalah.
Uqud Lazimah bihaqqi thafairini, Tetapi dapat difasakhkan dengan iqalah atas persetujuan kedua belah pihak.
Uqudum Lazimah bihaqqi akadith mtharafaini, seperti rahn kafalah rahn dan kafalah merupakan keharusan bagi si rahin dan di kafil, tidak merupakan keharusan yang dipenuhi oleh si murtahin atau si makfullahu. Si murtahin boleh melepaskan rahn kapan saja di kehendaki.
Uqudun lazimah bihaqqi kilath tharafaini yaitu : yang boleh ditarik kembali oleh masing-masing pihak tanpa menunggu persetujuan pihak yang ke-2.
8. Dillihat dari segi tukar menukar hak dibagi menjadi :
Uqudun mu’awadlah yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar timbal balik
Uqud tabarruaf yaitu akad-akad yang berdasarkan pemberian dan pertolongan.
Uqud yang mengandung tabrru’ pada permulaan tetapi menjadi mawadlah pada akhirnya.
9. Dilihat dari harus dibayar ganti dan tidak dibagi.
Uqud dlaman, barang yaitu : tanggung jawab pihak kedua sesudah barang itu ditermanya.
Uqud amanah yaitu : tanggung jawab dipikul oleh yang empunya, bukan oleh yang memegang barang yaitu ida, i’arah, syurkah, dan lain-lain
Uqud yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, dari satu segi yang mengharuskan dlaman. Dari yang lain merupakan amanah, yaitu ijarah, rahn, dan lain-lain.
10. Dilihat dari segi tujuan akad, yaitu :
Ghayahnya tamlik
Yang tujuannya mengokohkan kepercayaan saja (tautsig)
Yang tujuannya menyarahkan kekuasaan.
Yang tujuannya pemeliharaan.
11. Dilihat dari segi segera berlakunya dan terus menerus berlakunya, tidak habis pada waktu itu, dibagi menjadi :
Uqud tauriyah yaitu : tidak habis pada waktu akad itu dibagi menjadi waktu yang lama. Pelaksanaannya hanya memerlukan sebentar waktu saja, yaitu masa terjadinya akad.
Uqud mustamirrah yaitu akad-akad yang pelaksanaannya memerlikan waktu yang menjadi unsur asasi dalam pelaksanaannya. Karena itu akad mustamirrah ini dinamakan juga uqud zamaniyah.
12. Dilihat dari asliyah dan tabi’iyah di bagi menjadi :
Uqud asliyah itu : segala akad yang berdiri sendiri tidak memerlukan kepada adanya sesuatu urusan lain, yaitu : jual beli, ijarah, dan lain-lain.
Uqud tabi’iyah yaitu : segala akad yang berpautan wujudnya pada adanya sesuatu yang lain.
Pembentukan Akad
Akad dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya, seperti pada masa khiyar, terkadang dikaitkan pada masa yang akan datang, seperti pembatalan dalam sewa menyewa dan pinjam meminjam yang telah disepakati selama 5 bulan, tetapi sebelum 5 bulan telah dibatalkan.
Pada akad ghoir lazim, yang kedua pihak dapat membatalkan akad, pembatalan ini sangat jelas, seperti pada penitipan, barang, perwakilan dan lain-lain, atau yang ghoir lazim pada satu pihak dan lazim pada pihak lainnya, seperti gadai. Orang yag menerima gadai dibolehkan membatalkan akad walaupuan tanpa sepengetahuan orang yang mengadakan barang.
Adapun pembatalan pada akad lazim, terdapat dalam beberapa hal berikut a. Ketika akad rusak
b. Adanya khiyar
c. Pembetalan akad
d. Tidak mungkin melaksanakan akad
e. Masa akad berakhir.
C. KESIMPULAN
Manusia diciptakan sebagai mahkluk individu dan sosial yang membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat keduniawiannya dengan dapat dipertanggung jawabkan kelak di akhirat. Di antara aktivitas manusia yang diatur dalam fiqih muamalah adalah akad yaitu perjanjian antara sesama manusia 2 atau 3 orang atau lebih.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku, 1997, pengantar Fiqih Muamalah, Semarang :
Pustaka Rizky Putra.
A. Mas’adi, Ghufron, 2002, Fiqih Muamalah Konterkstual, Jakarta : Raja Grafindo Persada
Dewi Gemala, Wirdiyaningsih & Yeni Salma Barlinti, 2006, Hukum Perikatan islam Indonesia, Jakarta : Kencana.
Syafe’i Rachmat, 2004, Fikih Muamalah, Bandung : Pustaka Setia
Langganan:
Postingan (Atom)