Kamis, 29 September 2011

MANFAAT SHOLAT 5 WAKTU

Dr. Bahar Azwar, SpB-Onk, seorang dokter spesialis bedah-onkologi ( bedah tumor ) lulusan FK UI dalam bukunya ” Ketika Dokter Memaknai Sholat ” mampu menjabarkan makna gerakan sholat. Bagaimana sebenarnya manfaat sholat dan gerakan-gerakannya secara medis?
Selama ini sholat yang kita lakukan lima kali sehari, sebenarnya telah memberikan investasi kesehatan yang cukup besar bagi kehidupan kita. Mulai dari berwudlu ( bersuci ), gerakan sholat sampai dengan salam memiliki makna yang luar biasa hebatnya baik untuk kesehatan fisik, mental bahkan keseimbangan spiritual dan emosional. Tetapi sayang sedikit dari kita yang memahaminya. Berikut rangkaian dan manfaat kesehatan dari rukun Islam yang kedua ini.
Manfaat Wudlu Kulit merupakan organ yang terbesar tubuh kita yang fungsi utamanya membungkus tubuh serta melindungi tubuh dari berbagai ancaman kuman, racun, radiasi juga mengatur suhu tubuh, fungsi ekskresi ( tempat pembuangan zat-zat yang tak berguna melalui pori-pori ) dan media komunikasi antar sel syaraf untuk rangsang nyeri, panas, sentuhan secara tekanan.
Begitu besar fungsi kulit maka kestabilannya ditentukan oleh pH (derajat keasaman) dan kelembaban. Bersuci merupakan salah satu metode menjaga kestabilan tersebut khususnya kelembaban kulit. Kalu kulit sering kering akan sangat berbahaya bagi kesehatan kulit terutama mudah terinfeksi kuman.
Dengan bersuci berarti terjadinya proses peremajaan dan pencucian kulit, selaput lendir, dan juga lubang-lubang tubuh yang berhubungan dengan dunia luar (pori kulit, rongga mulut, hidung, telinga). Seperti kita ketahui kulit merupakan tempat berkembangnya banya kuman dan flora normal, diantaranya Staphylococcus epidermis, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Mycobacterium sp (penyakit TBC kulit). Begitu juga dengan rongga hidung terdapat kuman Streptococcus pneumonia (penyakit pneumoni paru), Neisseria sp, Hemophilus sp.Seorang ahli bedah diwajibkan membasuh kedua belah tangan setiap kali melakukan operasi sebagai proses sterilisasi dari kuman. Cara ini baru dikenal abad ke-20, padahal umat Islam sudah membudayakan sejak abad ke-14 yang lalu. Luar Biasa!!
Keutamaan Berkumur Berkumur-kumur dalam bersuci berarti membersihkan rongga mulut dari penularan penyakit. Sisa makanan sering mengendap atau tersangkut di antara sela gigi yang jika tidak dibersihkan ( dengan berkumur-kumur atau menggosok gigi) akhirnya akan menjadi mediasi pertumbuhan kuman. Dengan berkumur-kumur secara benar dan dilakukan lima kali sehari berarti tanpa kita sadari dapat mencegah dari infeksi gigi dan mulut. Istinsyaq berarti menghirup air dengan lubang hidung, melalui rongga hidung sampai ke tenggorokan bagian hidung (nasofaring). Fungsinya untuk mensucikan selaput dan lendir hidung yang tercemar oleh udara kotor dan juga kuman. Selama ini kita ketahui selaput dan lendir hidung merupakan basis pertahanan pertama pernapasan. Dengan istinsyaq mudah-mudahan kuman infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dapat dicegah. Begitu pula dengan pembersihan telinga sampai dengan pensucian kaki beserta telapak kaki yang tak kalah pentingnya untuk mencegah berbagai infeksi cacing yang masih menjadi masalah terbesar di negara kita.
Manfaat Kesehatan Sholat Berdiri lurus adalah pelurusan tulang belakang, dan menjadi awal dari sebuah latihan pernapasan, pencernaan dan tulang. Takbir merupakan latihan awal pernapasan. Paru-paru adalah alat pernapasan, Paru kita terlindung dalam rongga dada yang tersusun dari tulang iga yang melengkung dan tulang belakang yang mencembung. Susunan ini didukung oleh dua jenis otot yaitu yang menjauhkan lengan dari dada (abductor) dan mendekatkannya (adductor). Takbir berarti kegiatan mengangkat lengan dan merenggangkannya, hingga rongga dada mengembang seperti halnya paru-paru. Dan mengangkat tangan berarti meregangnya otot-otot bahu hingga aliran darah yang membawa oksigen menjadi lancar. Dengan ruku’, memperlancar aliran darah dan getah bening ke leher oleh karena sejajarnya letak bahu dengan leher. Aliran akan semakin lancar bila ruku’ dilakukan dengan benar yaitu meletakkan perut dan dada lebih tinggi daripada leher. Ruku’ juga mengempiskan pernapasan. Pelurusan tulang belakang pada saat ruku’ berarti mencegah terjadinya pengapuran. Selain itu, ruku’ adalah latihan kemih (buang air kecil) untuk mencegah keluhan prostat. Pelurusan tulang belakang akan mengempiskan ginjal. Sedangkan penekanan kandung kemih oleh tulang belakang dan tulang kemaluan akan melancarkan kemih. Getah bening (limfe) fungsi utamanya adalah menyaring dan menumpas kuman penyakit yang berkeliaran di dalam darah.
Sujud Mencegah Wasir Sujud mengalirkan getah bening dari tungkai perut dan dada ke leher karena lebih tinggi. Dan meletakkan tangan sejajar dengan bahu ataupun telinga, memompa getah bening ketiak ke leher. Selain itu, sujud melancarkan peredaran darah hingga dapat mencegah wasir. Sujud dengan cepat tidak bermanfaat. Ia tidak mengalirkan getah bening dan tidak melatih tulang belakang dan otot. Tak heran kalau ada di sebagian sahabat Rasul menceritakan bahwa Rasulullah sering lama dalam bersujud.
Duduk di antara dua sujud dapat mengaktifkan kelenjar keringat karena bertemunya lipatan paha dan betis sehingga dapat mencegah terjadinya pengapuran. Pembuluh darah balik di atas pangkal kaki jadi tertekan sehingga darah akan memenuhi seluruh telapak kaki mulai dari mata kaki sehingga pembuluh darah di pangkal kaki mengembang. Gerakan ini menjaga supaya kaki dapat secara optimal menopang tubuh kita. Gerakan salam yang merupakan penutup sholat, dengan memalingkan wajah ke kanan dan ke kiri bermanfaat untuk menjaga kelenturan urat leher. Gerakan ini juga akan mempercepat aliran getah bening di leher ke jantung.
Manfaat Sholat Malam hari biasanya dingin dan lembab. Kalau ditanya, paling enak tidur di waktu tersebut. Banyak lemak jenuh yang melapisi saraf kita hingga menjadi beku. Kalau tidak segera digerakkan, sistem pemanas tubuh tidak aktif, saraf menjadi kaku, bahkan kolesterol dan asam urat merubah menjadi pengapuran. Tidur di kasur yang empuk akan menyebabkan urat syaraf yang mengatur tekanan ke bola mata tidak mendapat tekanan yang cukup untuk memulihkan posisi saraf mata kita.
Jadi sholat malam itu lebih baik daripada tidur. Kebanyakan tidur malah menjadi penyakit. Bukan lamanya masa tidur yang diperlukan oleh tubuh kita melainkan kualitas tidur. Dengan sholat malam, kita akan mengendalikan urat tidur kita.
Sholat Lebih Canggih dari Yoga “Apakah pendapatmu sekiranya terdapat sebuah sungai di hadapan pintu rumah salah seorang diantara kamu dan dia mandi di dalamnya setiap hari lima kali. Apakah masih terdapat kotoran pada badannya?”. Para sahabatmenjawab : “Sudah pasti tidak terdapat sedikit pun kotoran pada badannya”. Lalu beliau bersabda : “Begitulah perumpamaansholat lima waktu. Allah menghapus segala keselahan mereka”. (H.R Abu Hurairah r.a). Jika manfaat gerakan sholat kita betul, maka sangat luar biasa manfaatnya dan lebih canggih daripada yoga. Sangat disayangkan tidak ada universitas yang berani atau sengaja mengembangkan teknik gerakan sholat ini secara ilmiah. Belum lagi manajemen yang terkandung dalam bacaan sholat. Seperti doa iftitah yang berarti mission statement (dalam manajemen strategi). Sedangkan makna bacaan Alfatihah yang kita baca berulang sampai 17 kali adalah objective statement. Tujuan hidup mana yang lebih canggih dibandingkan tujuah hidup di jalan yang lurus, yaitu jalan yang penuh kebaikan seperti diperoleh para orang-orang shaleh seperti nabi dan rasul?
Dr. Gustafe le Bond mengatakan bahwa Islam merupakan agama yang paling sepadan dengan penemuan-penemuan ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan etika sains harus didukung dengan kekuatan iman. Semoga sholat kita makin terasa manfaatnya.
source: Tabloid Nurani

Sabtu, 19 Februari 2011

Islamic economic jurisprudence

Islamic economics refers to the body of Islamic studies literature that "identifies and promotes an economic order that conforms to Islamic scripture and traditions," and in the economic world an interest-free Islamic banking system, grounded in Sharia's condemnation of interest (Riba). The literature originated in "the late 1940s, and especially" after "the mid-1960s."[1] The banking system developed during the 1970s.[2] Islamic economic literatures' central features have been called "behavioral norms" derived from the Quran and Sunna, zakat tax as the basis of Islamic fiscal policy and prohibition of interest.[1]
In Shia Islam, some scholars such as Mahmoud Taleghani, and Mohammad Baqir al-Sadr, have developed an "Islamic economics" emphasizing the uplifting of the deprived masses, a major role for the state in matters such as circulation and equitable distribution of wealth, and ensuring participants in the marketplace are rewarded for being exposed to risk and/or liability.
Islamist movements and authors generally describe an Islamic economic system as neither Socialist nor Capitalist, but a "third way" with none of the drawbacks of the other two systems.[3][4]
Traditional Islamic concepts having to do with economics included
zakat - the "taxing of certain goods, such as harvest, with an eye to allocating these taxes to expenditures that are also explicitly defined, such as aid to the needy."
Gharar - "the interdiction of chance ... that is, of the presence of any element of uncertainty, in a contract (which excludes not only insurance but also the lending of money without participation in the risks)"
Riba - "referred to as usury (modern Islamic economist have consensus that it does not refer to usury only rather Riba is any kind of interest)" [5]
These concepts, like others in Islamic law, came from the "prescriptions, anecdotes, examples, and words of Muhammad, all gathered together and systematized by commentators according to an inductive, casuistic method." [5] Sometimes other sources such as al-urf, (the custom), al-aql (reason) or al-ijma (consensus of the jurists) were employed.[6]
In addition, Islamic law has developed areas of law that correspond to secular laws of contracts and torts.
Early reforms under Islam
Main article: Early reforms under Islam
Some argue early Islamic theory and practice formed a "coherent" economic system with "a blueprint for a new order in society, in which all participants would be treated more fairly". Michael Bonner, for example, has written that an "economy of poverty" prevailed in Islam until 13th and 14th century. Under this system God's guidance made sure the flow of money and goods was "purified" by being channeled from those who had much of it to those who had little by encouraging zakat (tax) and discouraging riba (usury/interest) on loans. Bonner maintains Muhammad also helped poor traders by allowing only tents, not permanent buildings in the market of Medina, and not charging fees and rents there.[7]
Classical Muslim economic thought

Economy in the Caliphate
During the Arab Agricultural Revolution, a social transformation took place as a result of changing land ownership giving individuals of any gender,[15] ethnic or religious background the right to buy, sell, mortgage and inherit land. Based on the Quran, signatures were required on contracts for major financial transactions concerning agriculture, industry, commerce, and employment. Copies of the contract were usually kept by both parties involved.
There are similarities between Islamic economics and leftist or socialist economic policies. Islamic jurists have argued that privatization of the origin of oil, gas, and other fire-producing fuels, agricultural land, and water is forbidden. The principle of public or joint ownership has been drawn by Muslim jurists from the following hadith of the Prophet of Islam:
Ibn Abbas reported that Muhammad said: "All Muslims are partners in three things- in water, herbage and fire." (Narrated in Abu Daud, & Ibn Majah) [4] Anas added to the above hadith, "Its price is Haram (forbidden)" [16] Jurists have argued by qiyas that the above restriction on privatization can be extended to all essential resources that benefit the community as a whole.[17]
Aside from similarities to socialism, early forms of proto-capitalism and free markets were present in the Caliphate.[18] An early market economy and early form of merchant capitalism developed between the 8th and 12th centuries.[19] A vigorous monetary economy developed based on the wide circulation of a common currency (the dinar) and the integration of previously independent monetary areas. Business techniques and forms of business organization employed during this time included early contracts, bills of exchange, long-distance international trade, early forms of partnership (mufawada) such as limited partnerships (mudaraba), and early forms of credit, debt, profit, loss, capital (al-mal), capital accumulation (nama al-mal),[20] circulating capital, capital expenditure, revenue, cheques, promissory notes,[21] trusts (waqf), savings accounts, transactional accounts, pawning, loaning, exchange rates, bankers, money changers, ledgers, deposits, assignments, the double-entry bookkeeping system,[22] and lawsuits.[23] Organizational enterprises similar to corporations independent from the state also existed in the medieval Islamic world.[24][25] Many of these concepts were adopted and further advanced in medieval Europe from the 13th century onwards.[20]
The concepts of welfare and pension were present in early Islamic law as forms of Zakat one of the Five Pillars of Islam, since the time of the Rashidun caliph Umar in the 7th century. The taxes (including Zakat and Jizya) collected in the treasury (Bayt al-mal) of an Islamic government were used to provide income for the needy, including the poor, the elderly, orphans, widows, and the disabled. According to the Islamic jurist Al-Ghazali (Algazel, 1058–1111), the government was also expected to stockpile food supplies in every region in case a disaster or famine occurred. The Caliphate was thus one of the earliest welfare states.[26][27]
[edit]Post-colonial era
During the modern post-colonial era, as Western ideas, including Western economics, began to influence the Muslim world, some Muslim writers sought to produce an Islamic discipline of economics. Because Islam is not merely a spiritual formula but a complete system of life in all its walks,[28] these writers believed that it should logically follow that Islam also had its own economic system unique from and superior to non-Islamic systems.[7] To date, however, there have been no agreement as to the methodological definition and scope of Islamic Economics.
In the 1960s and 70s Shia Islamic thinkers worked to develop a unique Islamic economic philosophy with "its own answers to contemporary economic problems." Several works were particularly influential,
Eslam va Malekiyyat (Islam and Property) by Mahmud Taleqani (1951),
Iqtisaduna (Our Economics) by Mohammad Baqir al-Sadr (1961) and
Eqtesad-e Towhidi (The Economics of Divine Harmony) by Abolhassan Banisadr (1978)
Some Interpretations of Property Rights, Capital and Labor from Islamic Perspective by Habibullah Peyman (1979).[29][30]
Al-Sadr in particular has been described as having "almost single-handedly developed the notion of Islamic economics" [31]
In their writings Sadr and the other authors "sought to depict Islam as a religion committed to social justice, the equitable distribution of wealth, and the cause of the deprived classes," with doctrines "acceptable to Islamic jurists", while refuting existing non-Islamic theories of capitalism and Marxism. This version of Islamic economics, which influenced the Iranian Revolution, called for public ownership of land and of large "industrial enterprises," while private economic activity continued "within reasonable limits." [32] These ideas helped shape the large public sector and public subsidy policies of the Iranian Revolution.
In the 1980s and 1990s, as the Islamic revolution failed to reach the per capita income level achieved by the regime it overthrew, and Communist states and socialist parties in the non-Muslim world turned away from socialism, Muslim interest shifted away from government ownership and regulation. In Iran, it is reported that "eqtesad-e Eslami (meaning both Islamic economics and economy) ... once a revolutionary shibboleth, is indubitably absent in all official documents and the media. It disapperared from Iranian political discourse about 15 years ago [1990]." [30]
But in other parts of the Muslim world the term lived on, shifting form to the less ambitious goal of interest-free banking. Some Muslim bankers and religious leaders suggested ways to integrate Islamic law on usage of money with modern concepts of ethical investing. In banking this was done through the use of sales transactions (focusing on the fixed rate return modes) to achieve similar results to interest. This has been heavily criticized by many modern writers as a means of covering conventional banking with an Islamic facade.
[edit]Traditional approach
While many Muslims believe Islamic law is perfect by virtue of its being revealed by God, Islamic law on economic issues was/is not "economics" in the sense of a systematic study of production, distribution, and consumption of goods and services. An example of the traditionalist ulama approach to economic issues is Imam Khomeini's work Tawzih al-masa'il where the term `economy` does not appear and where the chapter on selling and buying (Kharid o forush) comes after the one on pilgrimage. As Olivier Roy puts it, the work "presents economic questions as individual acts open to moral analysis: `To lend [without interest, on a note from the lender] is among the good works that are particularly recommended in the verses of the Quran and the in the Traditions.`" [33]
References

^ a b "The economic system in contemporary Islamic thought: Interpretation and assessment", by Timur Kuran, International Journal of Middle East Studies, 18, 1986, p.135-164
^ Islamic Economics and the Islamic Subeconomy by Timur Kuran, Journal of Economic Perspectives, 1985
^ Islam and Economic Justice: A 'Third Way' Between Capitalism and Socialism?
^ How Do We Know Islam Will Solve the Problems of Poverty and Inequality?
^ a b Roy, The Failure of Political Islam Harvard University Press, 1994, p.132
^ Schirazi, Asghar, Constitution of Iran, (1997), p.170
^ a b Michael Bonner, "Poverty and Economics in the Qur’an", Journal of Interdisciplinary History, xxxv:3 (Winter, 2005), 391–406
^ Schumpeter (1954) p 136 mentions his sociology, others, including Hosseini (2003) emphasize him as well
^ I. M. Oweiss (1988), "Ibn Khaldun, the Father of Economics", Arab Civilization: Challenges and Responses, New York University Press, ISBN 0887066984.
^ Jean David C. Boulakia (1971), "Ibn Khaldun: A Fourteenth-Century Economist", The Journal of Political Economy 79 (5): 1105-1118.
^ Weiss (1995) p29-30
^ Weiss (1995) p31 quotes Muqaddimah 2:276-278
^ Weiss (1995), p. 31, quotes Muqaddimah 2: 272-273
^ Weiss (1995), p. 33
^ Maya Shatzmiller, p. 263.
^ [1]
^ [2]
^ The Cambridge economic history of Europe, p. 437. Cambridge University Press, ISBN 0521087090.
^ Timur Kuran (2005), "The Absence of the Corporation in Islamic Law: Origins and Persistence", American Journal of Comparative Law 53, p. 785-834 [798-799].
^ a b Jairus Banaji (2007), "Islam, the Mediterranean and the rise of capitalism", Historical Materialism 15 (1), p. 47-74, Brill Publishers.
^ Robert Sabatino Lopez, Irving Woodworth Raymond, Olivia Remie Constable (2001), Medieval Trade in the Mediterranean World: Illustrative Documents, Columbia University Press, ISBN 0231123574.
^ Subhi Y. Labib (1969), "Capitalism in Medieval Islam", The Journal of Economic History 29 (1), p. 79-96 [92-93].
^ Ray Spier (2002), "The history of the peer-review process", Trends in Biotechnology 20 (8), p. 357-358 [357].
^ Said Amir Arjomand (1999), "The Law, Agency, and Policy in Medieval Islamic Society: Development of the Institutions of Learning from the Tenth to the Fifteenth Century", Comparative Studies in Society and History 41, p. 263-293. Cambridge University Press.
^ Samir Amin (1978), "The Arab Nation: Some Conclusions and Problems", MERIP Reports 68, p. 3-14 [8, 13].
^ Crone, Patricia (2005), Medieval Islamic Political Thought, Edinburgh University Press, pp. 308–9, ISBN 0748621946
^ Shadi Hamid (August 2003), "An Islamic Alternative? Equality, Redistributive Justice, and the Welfare State in the Caliphate of Umar", Renaissance: Monthly Islamic Journal 13 (8) (see online)
^ The Economic Life of Islam
^ Bakhash, Shaul, The Reign of the Ayatollahs, Basic Books, c1984, p.167-8
^ a b Revolutionary Surge and Quiet Demise of Islamic Economics in Iran
^ The Renewal of Islamic Law
^ Bakhash, Shaul, The Reign of the Ayatollahs, Basic Books, c1984, p.172-3
^ Roy, The Failure of Political Islam Harvard University Press, 1994, p.133
^ Nomani and Rahnema quote Qur'an 2:107, Qur'an 2:255, Qur'an 2:284, Qur'an 5:120, Qur'an 48:14
^ a b c d e f Nomani and Rahnema (1994), p. 66-70
^ a b c Nomani and Rahnema (1994), p. 71-77
^ a b c d e f Nomani and Rahnema (1994), p. 55-58
^ Nomani and Rahnema cite Qur'an 4:29, Qur'an 2:275 and Qur'an 2:279
^ Nomani and Rahnema cite Qur'an 5:1, Qur'an 16:91, Qur'an 23:8, Qur'an 17:34 and Qur'an 70:32
^ Nomani and Rahnema cite Qur'an 2:282.
^ Nomani and Rahnema cite Qur'an 55:9, Qur'an 26:181–183, Qur'an 11:84–85. They also point out that a chapter is devoted to such fraudulent practices: Qur'an 83:1–3
^ a b c d e f Meinhaj Hussain (June 2010), 21st Century Islamic State, 2.0 (see [3])
^ Historical dominance on money changing business
^ Opalesque (30 December 2009). "Malaysia exchange reviewing sharia compliant bonds".
^ Islamic Finance, Forbes (April 21, 2008)
^ Sohrab Behada, "Property Rights in Contemporary Islamic Economic Thought, Review of Social Economy, Summer 1989 v.47, (pp.185-211)
^ Kuran, "The Economic Impact of Islamic Fundamentalism," in Marty and Appleby Fundamentalisms and the State, U of Chicago Press, 1993, p.302-41
^ "The Discontents of Islamic Economic Mortality" by Timur Kuran, American Economic Review, 1996, p.438-442
^ a b Halliday, Fred, 100 Myths about the Middle East, Saqi Books, 2005 p.89

Monetary and Fiscal Policy in Islam

The role and realm of reign of each will be specified, in addition to the set of assumptions that is derived from the Islamic economic system, which include Zakah, prohibition of interest, moderation in consumption, the Islamic inheritance system, Hisbah, Qirad, and the co-existence of private and social ownership of the means of production. Zakah provides a major means of fiscal policy because it affects the allocation of resources, the level of aggregate demand and the distribution of income as well since the variations in the volume and the timing of collection and disbursement of Zakah creates variations in disposable income and fixed and circulating capital. The importance of this tool is enhanced by the relatively high ratio of Zakah to income, since it is levied also on wealth.

Additionally, the size of "waiting monetary assets" is influenced. The prohibition of interest, of course, reduces the degree of freedom of the government in using such tools of monetary policy as the rate of discount and the open market operations. But then, the Islamic approach to the issue of "waiting monetary assets" is different, in that these assets are dealt with through Zakah and a strict requirement of genuineness in business transactions. However, the central banking supervision and control over the money supply is not reduced but rather increased by the consideration of money as a "public utility", changes in which must not be left to the individual interests of monetary intermediaries (banks). The flexibility of Zakah allows for the intensification of the development efforts. This is always backed by ethics and values of "construction and improvement" in Islamic teachings. The last tool of economic policy has to do with the role of the government as an insider of the system rather than as an outsider. Such a government role is made available through its ownership of the major natural resources, and al-Hisbah. The distributive objective is built into the system by Zakah, the State insurance, and the inheritance system. Thus, over accumulation and excessive concentration of wealth is checked by forces that are working within the system itself.

Return On Assets

What Does Return On Assets - ROA Mean?
An indicator of how profitable a company is relative to its total assets. ROA gives an idea as to how efficient management is at using its assets to generate earnings. Calculated by dividing a company's annual earnings by its total assets, ROA is displayed as a percentage. Sometimes this is referred to as "return on investment".

The formula for return on assets is: net income/total assets

Note: Some investors add interest expense back into net income when performing this calculation because they'd like to use operating returns before cost of borrowing.
Investopedia explains Return On Assets - ROA
ROA tells you what earnings were generated from invested capital (assets). ROA for public companies can vary substantially and will be highly dependent on the industry. This is why when using ROA as a comparative measure, it is best to compare it against a company's previous ROA numbers or the ROA of a similar company.

The assets of the company are comprised of both debt and equity. Both of these types of financing are used to fund the operations of the company. The ROA figure gives investors an idea of how effectively the company is converting the money it has to invest into net income. The higher the ROA number, the better, because the company is earning more money on less investment. For example, if one company has a net income of $1 million and total assets of $5 million, its ROA is 20%; however, if another company earns the same amount but has total assets of $10 million, it has an ROA of 10%. Based on this example, the first company is better at converting its investment into profit. When you really think about it, management's most important job is to make wise choices in allocating its resources. Anybody can make a profit by throwing a ton of money at a problem, but very few managers excel at making large profits with little investment.

Pengaruh pandangan hidup terhadap ilmu Ekonomi

PENDAHULUAN
Setiap manusia mempunyai pandangan hidup. Pandangan hidup itu bersifat kodrati. Karena itu ia menentukan masa depan seseorang. Pandangan hidup adalahpendapat atau pertimbangan yang dijadikan pegangan, pedoman, arahan, petunjuk hidup di dunia. Pendapat atau pertimbangan itu merupakan hasil pemikiran manusia berdasarkan pengalaman sejarah menurut waktu dan tempat hidupnya.
Baik ilmuwan sosial maupun intelektual menggunakan rangkaian asumsi atau paradigma atau pandangan hidup yang luas cakupannya untuk mengorganisasi upaya mereka memahami dunia kita, tujuan yang hendak kita kejar, cara kita memilih sarana untuk memajukan tujuan kita, dan cara kita berhubungan satu sama lain.Sementara di luar ilmu-ilmu sosial istilah yang digunakan untuk wacana umum untuk mengacu pada paradigma yang menyajikan suatu cara yang tertib untuk mengatur pemikiran kita tentang dunia yang kacau. Pengembangan paradigma melibatkan investasi yang besar yang meliputi ratusan ribu tahun kerja manusia.
Pandangan hidup dalam definisi ekonomi antara sekuler dan Islam adalah jauh berbeda. Perbedaan prinsip terletak pada anggapan pandangan terhadap realitas tentang eksistensi di alam semesta ini, yaitu: eksistensi terhadap Tuhan, alam semesta dan manusia.
Dalam pandangan sekuler, Tuhan terletak pada domain yang berbeda sama sekali dan tidak dapat disentuh oleh domain yang lain yang terkait dengan masalah kemanusiaan dan alam semesta, katakanlah misalnya ekonomi. Dia tidak ada campur tangan apapun dalam urusan manusia, terutama menyangkut persoalan materi. Oleh karenanya, pengejaran materi merupakan standar rasional dalam definisi ilmu sekuler, yang oleh Adam Smith dan diikuti pula oleh Alfred Marshall diformulasikan sebagai the wealth atau well-being, yaitu kesejahteraan; dan oleh Lionel Robbins sebagai the means, yaitu sarana dan sekaligus, dengan nilai yang mungkin lebih tinggi, sebagai the ends atau tujuan.
Rasionalitas sebagai konsekuensinya menuntut pemaksimalan keinginan (wants) akan kepuasan material sebagai “nilai” yang harus dicapai. Dengan inilah seperangkat asumsi dalam ilmu ekonomi dibangun. Ilmu ekonomi sebagaimana yang didefinisikan Robbins: the science which studies human behaviour as a relationship between ends and scare means which have alternative uses, menggambarkan keserakahan manusia terhadap kepuasan material dalam jumlah besar (multiple ends dengan alternative uses) yang ingin dicapai dalam situasi sumber daya yang amat terbatas. Keterbatasan ini digambarkan dengan sarkastik oleh Robbins, mewakili seluruh pikiran sekular, sebagai “kekikiran alam” nature is niggardly.
Pernyataan tersebut di atas dalam dunia yang (semestinya) tidak sekular, misalnya bagi dunia Muslim, berimplikasi bahwa Tuhan bersifat kikir dan bakhil terhadap manusia. Di sinilah konsistensi sekularisme untuk tetap menempatkan Tuhan pada “domain”-Nya, dan disinilah persoalan menjadi amat serius karena ummat Islam secara doktrinal tidak meyakini adanya pemisahan tersebut.
Kekikiran alam ini dalam perspektif sekular, masih mengikuti Robbins, membangun asums-asumsi yang disebut teori penilaian subyektif yang dengannya setiap keinginan individual dengan berbagai kepentingannya diatur dalam urutan tertentu, dan diturunkan secara teoritik ke dalam, misalnya, fungsi produksi, sehingga dapat dideskripsikalah sebuah hukum, yaitu the Law of Diminishing Returns. Dalam hal ini dinyatakan bahwa secara inisial tanah sebagai faktor produksi adalah bersifat tetap, karena pemakaian yang terus menerus, lama kelamaan “kekikiran alam” ini makin bertambah.
Islam dengan tegas menyangkal anggapan bahwa alam memiliki sifat kikir seperti itu. Allah SWT yang Maha Pemurah telah menganugerahkan kepada manusia apa saja yang mereka perlukan melalui ketersediaan berbagai sumber di alam semesta ini. “Dialah Allah yang menjadikan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk kamu semua” (QS. Al-Baqarah: 29).
Keterbatasan perspektif manusialah yang menimbulkan adanya kelangkaan sumber daya, perspektif ini dipengaruhi oleh kekurangan pengetahuan, informasi dan/atau kemampuan untuk melakukan eksplorasi sumber daya yang tersedia. Dalam arti luas, sumber daya alam ini tidak akan pernah habis kecuali Allah menentukannya di Hari Kiamat.
Habisnya satu bentuk sumberdaya melahirkan bentuk yang lain yang bisa baru sama sekali, baik secara alamiah maupun melalui invensi pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Jadi kelangkaan ini lebih merupakan persoalan ilmu (pengetahuan) sebagai fungsi “waktu”. Karenanya Islam amat menegaskan perlunya penguasaan ilmu pengetahuan (QS. Al-Mujadillah: 11) dan pengelolaan waktu (QS. Al-Qashr: 1-4). Tambahan lagi, bahwa pemberian sumberdaya secara bertahap ini juga memberi pelajaran manusia agar tidak arogan dan agar manusia menyadari posisinya sebagai pengemban amanah Allah sebagai Khalifah di muka bumi. Di sinilah perlunya rasionalitas

Rabu, 26 Januari 2011

MOTIVASI

A. Pendahuluan
Tujuan memberikan motivasi tidaklah mudah. Secara typis para pekerja suatu perusahaan memiliki berbagai latar belakang pengalaman-pengalaman, harapan-harapan, keinginan-keinginan, ambisi-ambisi dan susunan spikologis yang berbeda.
Kejadian-kejadian dilihat mereka dengan sudut pandang mereka sendiri, dan reaksi terhadap pekerjaan mereka, terhadap diri mereka masing-masing dan terhadap lingkungan mereka dapat mengalami variasi-variasi besar.

B. Pengertian Motivasi
 Motivasi secara sempit adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cara mengarahkan daya dan potensi orang-orang pegawai agar dapat bekerja secara produktis berhasil guna dan berdaya guna sesuai dengan tujuan perusahaan.
 Motivasi secara luas adalah segala sesuatu baik berbentuk / berwujud upaya yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dimana mempunyai tujuan agar seseorang mau melakukan tindakan sesuai apa yang diinginkan.

* Teori-Teori Motivasi *
1. Menurut Edwin B. Flippo
Motivasi adalah suatu keahlian dalam mengarahkan orang-orang disebuah organisasi agar mau bergerak sesuai dengan kemampuan pemimpin sehingga mencapai tujuan.
2. Menurut George R. Terry
Motivasi adalah keinginan yang ada pada individu sehingga merangsang untuk melakukan tindakan.

C. Proses Motivasi
a. Menetapkan tujuan dan mendorong kearah tujuan.
b. Mengetahui keinginan-keinginan
c. Dengan melaksanakan komunikasi secara baik dan terus-menerus.
d. Menyatukan keinginan dan kepentingan-kepentingan untuk mencapai tujuan.
e. Motivator dapat menjadi stabilisator dan memberikan bantuan sepenuhnya.
f. Membentuk dan mengembangkan kesatuan kerja.

D. Pola Dasar Untuk Menumbuhkan Motivasi
Menurut Dr. Daviel Mc. Le Wand terdapat 4 pola dasar dalam menumbuhkan motivasi :
a. Karena adanya prestasi
b. Motivasi karena penerimaan
c. Karena adanya persaingan
d. Motivasi karena adanya kekuatan / kekuasaan

E. Nilai-Nilai, Sikap dan Motivasi
Bagi seorang individu, sistem nilai dasar yang dianutnya, akhirnya menentukan bagaimana ia berhadapan dengan dirinya sendiri, bagaimana ia berhadapan dengan pekerjaannya dan pihak-pihak lain.
Nilai-nilai adalah penting dalam bidang motivasi oleh karena pengaruh mereka atas kelakuan seseorang.
Sikap dapat kita katakan sebagai cara seseorang cenderung merasa, melihat atau menafsirkan sesuatu situasi tertentu.
Sikap lebih banyak berhubungan dengan cara-cara melakukan dan tingkat-tingkat eksistensi final dan apabila ia ditambah dengan sesuatu nilai ia akan merupakan sebuah kristal yang lebih lama bertahan untuk membina tindakan-tindakan.
Kebanyakan sasaran dapat dicapai secara lebih efektif apabila terdapat sikap positif optimisme merupakan persoalan sikap.

F. Motivator Yang Disarankan
1. Memperkaya jabatan dan rotasi
2. Partisipasi
3. Manajemen berdasarkan hasil
4. Manajer penggandaan
5. Kekuatan fikiran
6. Hubungan manusia yang realistis
7. Lingkungan dimana pekerjaan dilaksanakan
8. Jam-jam kerja yang fleksibel
9. Kritik yang efektif
10. Tiada kesalahan sama sekali

G. Motivasi Manusia Untuk Bekerja
Pada umumnya manusia ingin bekerja karena :
1. Kebutuhan hidup
2. Ingin memiliki sesuatu
3. Ingin memperoleh kekuasaan
4. Ingin mendapatkan pengakuan
Pada intinya bahwa manusia tersebut ingin bekerja karena mempunyai motif-motif, keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan serta kepuasan oleh karena itu untuk pemenuhannya manusia harus bekerja.
Pengelompokkan kebutuhan menjadi 3 yaitu :
1. Kebutuhan fisik dan keamanan ( secara dhohir / biologis )
2. Kebutuhan sosial ; kebutuhan yang tidak tampak tapi hasilnya biasa memuaskan.
3. Kebutuhan egolistik ; untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri / keinginan manusia untuk bebas.

KESIMPULAN

1. Motivasi adalah suatu tindakan secara aktif ( dinamis ) dan tindakan secara pasif ( statis ) sebagai usaha yang positif / negatif dalam menggerakkan dan mengerahkan daya potensi manusia kearah yang diinginkan.
2. Motivasi yang diberikan oleh pimpinan yang mengandung kebijaksanaan dan kearifan yang akhirnya menimbulkan rasa : dihargai, sikap optimis, percaya diri, dan kinerja ( semangat kerja ).
3. Manusia merupakan makhluk yang terus-menerus memiliki keinginan-keinginan segera, apabila kebutuhan tertentu dipenuhi maka kebutuhan lain akan muncul. Proses tersebut tidak berhenti, ia berkelanjutan dari kelahiran hingga kematian.
4. Manusia secara kontinu melakukan usaha-usaha untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya.


DAFTAR PUSTAKA

- George R. Terry, Ph.D., Asas-Asas Manajemen, alih bahasa, Dr. Winardi, SE., Penerbit Alumni, 1986, Bandung.
- Dr. Winardi, SE., Kepemimpinan Dalam Manajemen, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.
- Frank G. Goble, Mazhab Ketiga ; Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1987.

AKAD

BAB 1
PENDAHULUAN

Dalam fiqih muamalah ada aturan-aturan atau hukum Allah SWT yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan.
Karena pada dasarnya manusia diciptakan sebagai makhluk individu dan sosial yang membutuhkan orang lain untuk memnuhi kehidupan duniawinya, dengan dapat dipertanggung jawabkan kelak di akhirat.
Di antara aktivitas manusia yang diatur dalam fiqih muamalah adalah akad, yaitu perjanjian antara sesama manusia dua atau tiga orang atau lebih. Tetapi dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak berdasarkan pada keridoan dan syari’at Islam.
Dalam makalah ini juga akan diterangkan mengenai maram akad, syarat dan rukun akad dan juga yang membatalkan akad. Yang penjelasannya akan diuraikan dalam makalah ini. Selamat membaca.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad
Akad secara bahasa berarti al-rabth (ikatan, mengikat)
لرَّبْطُ بَيْنَ اَطْرَافِ الشّىءِ سواء اَكَانَ حِسِّيًّا اَمْ مَعْنَوِ يًّا مِنْ جَانِبٍ اَوْمِنْ
جَانِيْنِ.
Artinya : “Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi”.
Bisa juga berarti العقدة (samungan) العهد dan (janji)
Pengertian lafdhiyah ini sebagaimana terdapat pada surat Al-Maidah ayat 1 :
                    •     
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”. (QS. Al-Maidah : 1).

Sedangkan akad secara istilah ditinjau dari dua segi yaitu :
1. Secara Umum
Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanbaliah :
كُلُّ مَا عَنَ مَ الهَرْءُ عَلَى فِعْلِهِ سَوَاءٌ صَدَرَبِاِرَادَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كَالْوَ فْفِ وَالاِبْرَاءِ
وَالَّطَلاَقِ وَالْيَمِيْنِ اَمْ اِحْتَاجَ إِ لَى اِرادَتَيْنِ خِالنْشَائِهِ كَااْلبَيْعِ وَاْلاِتْجَارِ وَالتَّوْ
كِيْلِ وَالرَّهْنِ .
Artinya : “Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan dan gadai”.

2. Secara Khusus
Pengertian akad secara khusus seperti dikemukakan oleh ulama Fiqih, antara lain :
اِرْتِبَاطِ اليْجَابٍ بِقَبُوْ لٍ عَلَى وَ جْهٍ مَشْرُوْعٍ يَثْبُتْ أَثْرُهُ فَى مَحَلِهِ.
Artinya : “Perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuan syara yang berdampak pada objeknya”.

تَعَلُّقُ كَلاَمٍ اَحَدِ اْلَعَاقِدِيْنَ بِا ْلاَخِرِ شَرْعًا وَجْهٍ يَظْهُرُ اَثَرُهُ فِاْلمَحَلِّ .
Artinya : “Pengertian ucapan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara syara pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya”

Dengan demikian, ijab dan qobul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’.
Akad juga mempunyai makna lain yang merupakan salah satu perbuatan atau tindakan hukum. Maksudnya akad (perikatan) tersebut menimbulkan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan akad.
Perbuatan atau tindakan hukum atas harta benda dalam fiqih muamalah dinamakan al-tasharruf, yaitu : segala sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban) al-tasharruf ini dibedakan menjadi 2 yaitu :
- Tasharruf fi’li (perbuatan) adalah usaha yang dilakukan manusia dari tenaga dan badannya. Contoh : mengelola tanah yang tandus.
- Tasharruf gauli (perkataan) adalah uasaha yang keluar dari lidah manusia. Contoh : wakaf, hibah, thalaq.
Tetapi dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak berdasarkan pada keridhaan dan syariat Islam.

B. Rukun Akad dan Syarat-Syaratnya
Menurut Fuqoha Jumhur rukun akad terdiri atas :
1. Al-Aqidain, para pihak yang terlibat langsung dengan akad.
2. Mahallul’aqd, yakni objek akad, yaitu sesuatu yang hendak diakadkan.
3. Sihgat al’aqd, yakni pernyataan kalimat akad, yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan pernyataan qobul.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, rukun abad hanya 1 yaitu Sighat Al’aqd. Adapun Al-Aqidain dan Mahallul’aqd bukan sebagai rukun akad, melainkan lebih tepat sebagai syarat akad karena keberadaannya sudah pasti. Berdasarkan pengertian di atas maka rukun akad adalah kesepakatan dua kehendak, yakni ijab dan qobul. Seorang pelaku tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatannya, karena pelaku bukan merupakan bagian internal dari perbuatannya. Syarat menurut pengertian istilah fuqaha dan ahlul ushul adalah segala sesuatu yang lain, sedangkan ia bersifat eksternal (kharijly). Maksudnya ditiadanya syarat mengharuskan tiadanya masyrut (sesuatu yang disyaratkan), sedangkan adanya syarat tidak mengharuskan adanya masyrut. Misal : kecakapan pihak yang berakad merupakan syarat yang berlaku pada setiap akad, sehingga tiada kecakapan menjadi tidak berlangsungnya akad. Adapun sebab menurut pengertian istilah fuqaha dan ahlul ushul adalah setiap peristiwa yang mana syara’ mengkaitkannya terhadap ada dan tidaknya suatu yang lain ia bersifat eksternal.
Jadi rukun, syarat dan sebab merupakan bagian yang sangat penting untuk suatu akad.
Musthafa Ahmad Al-Zarqa menawarkan istilah lain atas sejumlah hal yang dipandang sebagai rukun oleh fuqaha jumhur yaitu dengan menyebutkannya dengan istilah muqawimat aqad (unsur penegak akad) yang terdiri dari :
1. Al aqidain
2. Mahallul aqad (objek akad)
3. Maudhu’ul aqad (tujuan akad)
4. Shighat aqad (ijab dan qabul)
Dari 3 unsur yang pertama (1, 2 dan 3) dari muqawwimat al-aqd berlaku syarat-syarat umum yang harus terpenuhi dalam setiap akad yaitu :
1. Pihak-pihak yang melakukan akad (al-aqidain) harus memenuhi persyaratan kecakapan bertindak hukum (mukallaf).
2. Objek akad (mahallul aqd) dapat menerima hukum akad, artinya pada setiap akad berlaku ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan objeknya apakah dapat dikenai hukuman akad atau tidak.
3. Tujuan (maudhu al-aqd) diizinkan oleh syarat atau tidak bertentangan dengannya.
4. Akadnya sendiri harus mengandung manfaat.

Macam-macam syarat aqad adalah :
1. Syarat in’iqad
Adalah persyaratan yang berkenaan dengan berlangsungnya sebuah akad. Persyaratan ini mutlak harus dipenuhi bagi eksistensinya (keberadaan) akad. Jika tidak terpenuhi akad menjadi batal.

2. Syarat shihah (sah)
Adalah syarat yang ditetapkan oleh syara’ yang berkenaan untuk menertibkan ada atau tidaknya akibat hukum yang ditimbulkan oleh akad. Jika tidak terpenuhi akadnya menjadi rusak (fasid).
3. Syarat nafadz
Adalah persyaratan yang ditetapkan oleh syara’ berkenaan dengan berlakunya (ditangguhkan). Syarat Nafadz ada 2 : (1) milik atau wilayah, artinya orang yang melakukan akad benar-benar sebagai pemilik barang atau ia mempunyai otoritas atas objek akad. (2) objek akad harus terbebas dari hak- hak pihak ke-3.
4. Syarat Ilzam (kepastian)
Adalah persyaratan yang ditetapkan oleh syara’ berkenaan dengan kepastian sebuah akad, akad sendiri sesungguhnya sebuah Ilzam (kepastian). Jika sebuah akad belum bisa dipastikannya berlakunya seperti ada unsur tertentu yang menimbulkan hak khiyar, maka akad seperti ini dalam kondisi ghiru lazim (belum pasti), karena masing-masing pihak berhak memfasakhkan akad atau tetap melangsungkannya.

Macam-macam akad dan pengolongannya
1. Dilihat dari segi ada atau tidaknya qismah pada aqad tersebut. Dibagi menjadi :
 Uqud musammah yaitu : akad-akad yang telah ditetapkan syara dan diberikan hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, ijrah, sirkah, dan lain-lain.
 Uqud ghoiru musammah yaitu : akad-akad yang belum diberikan istilah-istilah dan belum ditetapkan hukum-hukumnya.
2. Dilihat dari segi diisyaratkannya akad atau tidaknya dibagi menjadi :
 Uqud musyara’ah yaitu akad-akad yang dibenarkan syara’ dan diizinkannya, umpamanya jual beli, jual harta yang ada harganya dan termasuk juga hibah dan rahn (gadai).
 Uqudun Mamnu’ah yaitu : akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak binatang yang masih dalam kandungan yang dalam bahasa arab dikatakan ba’i malaqih atua ba’i madlamin, yang dikenal di masa jahiliyah.
3. Dilihat dari segi sah tidaknya akad dibagi menjadi :
 Uqud Shahibah yaitu : yang cukup syarat, baik syarat-syarat yang bersifat umum, maupun syarat-syarat yang khusus, baik pada pokoknya, maupun pada cabang-cabangnya.
 Uqud fasidah, yaitu akad-akad yang cedera yang tidak sempurna yakni terdapat padanya sebagian syarat yang berpautan dengan bukan hukum pokok.
4. Dilihat dari sifat bendanya, dibagi menjadi :
 Uqud ainiyah, yakni : yang disyaratkan untuk kesempurnaannya menyerahkan barang-barang yang dilakukan akad terhadapnya. Akad ini tidaklah dipandang sempurna kecuali dengan melaksanakan apa yang diakadkan itu yakni benda yang dijual diserahkan kepada yang membeli.
 Uqud ghoiru ainiyah yaitu akad-akad yang hasil dengan semata-mata akad dilakukan.
5. Dilihat dari sifat bendanya, dibagi menjadi :
 Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu, yaitu ada saksi seperti pernikahan.
 Uqud ridhaiyah yakni : akad-akad yang tidak memerlukan upacara yang apabila terjadi persetujuan kedua belah piahak telah menghasilkan akad.
6. Dilihat kepada berlaku tidaknya akad yang dalam istilah dikatakan ini akad di bagi menjadi :
 Uqud nafizah yaitu : terlepas dari suatu penghalang sahya akad.
 Uqud mauqufah yaitu : akad-akad yang berpautan dengan persetujuan.
7. Dilihat dari hizum dan dapat difasahknnya akad dibagi menjadi :
 Aqad lazim bihhqqith tharafaini. Akad ini tidak dapat difasakh dengan jalan iqalah, yaitu aqduzziwaj. Aqduzziwaj adalah akad yang tidak dapat difasakhkan dengan jalan iqalah.
 Uqud Lazimah bihaqqi thafairini, Tetapi dapat difasakhkan dengan iqalah atas persetujuan kedua belah pihak.
 Uqudum Lazimah bihaqqi akadith mtharafaini, seperti rahn kafalah rahn dan kafalah merupakan keharusan bagi si rahin dan di kafil, tidak merupakan keharusan yang dipenuhi oleh si murtahin atau si makfullahu. Si murtahin boleh melepaskan rahn kapan saja di kehendaki.
 Uqudun lazimah bihaqqi kilath tharafaini yaitu : yang boleh ditarik kembali oleh masing-masing pihak tanpa menunggu persetujuan pihak yang ke-2.
8. Dillihat dari segi tukar menukar hak dibagi menjadi :
 Uqudun mu’awadlah yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar timbal balik
 Uqud tabarruaf yaitu akad-akad yang berdasarkan pemberian dan pertolongan.
 Uqud yang mengandung tabrru’ pada permulaan tetapi menjadi mawadlah pada akhirnya.
9. Dilihat dari harus dibayar ganti dan tidak dibagi.
 Uqud dlaman, barang yaitu : tanggung jawab pihak kedua sesudah barang itu ditermanya.
 Uqud amanah yaitu : tanggung jawab dipikul oleh yang empunya, bukan oleh yang memegang barang yaitu ida, i’arah, syurkah, dan lain-lain
 Uqud yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, dari satu segi yang mengharuskan dlaman. Dari yang lain merupakan amanah, yaitu ijarah, rahn, dan lain-lain.
10. Dilihat dari segi tujuan akad, yaitu :
 Ghayahnya tamlik
 Yang tujuannya mengokohkan kepercayaan saja (tautsig)
 Yang tujuannya menyarahkan kekuasaan.
 Yang tujuannya pemeliharaan.
11. Dilihat dari segi segera berlakunya dan terus menerus berlakunya, tidak habis pada waktu itu, dibagi menjadi :
 Uqud tauriyah yaitu : tidak habis pada waktu akad itu dibagi menjadi waktu yang lama. Pelaksanaannya hanya memerlukan sebentar waktu saja, yaitu masa terjadinya akad.
 Uqud mustamirrah yaitu akad-akad yang pelaksanaannya memerlikan waktu yang menjadi unsur asasi dalam pelaksanaannya. Karena itu akad mustamirrah ini dinamakan juga uqud zamaniyah.
12. Dilihat dari asliyah dan tabi’iyah di bagi menjadi :
 Uqud asliyah itu : segala akad yang berdiri sendiri tidak memerlukan kepada adanya sesuatu urusan lain, yaitu : jual beli, ijarah, dan lain-lain.
 Uqud tabi’iyah yaitu : segala akad yang berpautan wujudnya pada adanya sesuatu yang lain.

Pembentukan Akad
Akad dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya, seperti pada masa khiyar, terkadang dikaitkan pada masa yang akan datang, seperti pembatalan dalam sewa menyewa dan pinjam meminjam yang telah disepakati selama 5 bulan, tetapi sebelum 5 bulan telah dibatalkan.
Pada akad ghoir lazim, yang kedua pihak dapat membatalkan akad, pembatalan ini sangat jelas, seperti pada penitipan, barang, perwakilan dan lain-lain, atau yang ghoir lazim pada satu pihak dan lazim pada pihak lainnya, seperti gadai. Orang yag menerima gadai dibolehkan membatalkan akad walaupuan tanpa sepengetahuan orang yang mengadakan barang.
Adapun pembatalan pada akad lazim, terdapat dalam beberapa hal berikut a. Ketika akad rusak
b. Adanya khiyar
c. Pembetalan akad
d. Tidak mungkin melaksanakan akad
e. Masa akad berakhir.

C. KESIMPULAN
Manusia diciptakan sebagai mahkluk individu dan sosial yang membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat keduniawiannya dengan dapat dipertanggung jawabkan kelak di akhirat. Di antara aktivitas manusia yang diatur dalam fiqih muamalah adalah akad yaitu perjanjian antara sesama manusia 2 atau 3 orang atau lebih.

DAFTAR PUSTAKA

Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku, 1997, pengantar Fiqih Muamalah, Semarang :
Pustaka Rizky Putra.

A. Mas’adi, Ghufron, 2002, Fiqih Muamalah Konterkstual, Jakarta : Raja Grafindo Persada

Dewi Gemala, Wirdiyaningsih & Yeni Salma Barlinti, 2006, Hukum Perikatan islam Indonesia, Jakarta : Kencana.

Syafe’i Rachmat, 2004, Fikih Muamalah, Bandung : Pustaka Setia

KONSEP PRODUKSI DALAM ISLAM

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini gairah umat Islam untuk menampilkan Islam secara sosial-ekonomi meningkat pesat. Kajian ini membahas aturan-aturan atau ajaran-ajaran Islam dalam bidang ekonomi. Dengan kata lain, ekonomi Islam diberikan dengan asumsi dalam kajian ini.
Produksi dan konsumsi mempunyai aspek-aspek dalam bacaan Islam : yakni tujuan-tujuan badan usaha dan faktor-faktor produksi dan konsumsi. Dibangunnya tujuan-tujuan dan faktor-faktor dalam produksi dan konsumsi yaitu untuk dapat memiliki suatu pandangan kedepan yang lebih baik agar dapat berjalan secara sempurna. Manfaat dengan adanya produksi dan konsumsi disimpulkan untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup dalam sosial, serta sebagai suatu sarana pekerjaan yang memproduksi yang kemudian dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat (sosial) pada dasarnya produksi dan konsumsi saling dibutuhkan satu sama lain.
Berikut ini akan dipaparkan makalah tentang konsep produksi dalam Islam.


PEMBAHASAN
KONSEP PRODUKSI DALAM ISLAM

A. Pengertian Produksi
Produksi merupakan suatu kegiatan untuk mengubah atau mengolah sumber ekonomi menjadi suatu barang yang mempunyai manfaat ekonomis yang baru. Pruduksi adalah sebuah proses yang telah terlahir dimuka bumi ini semenjak manusia menghuni planet ini. Produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan juga peradapan manusia dan bumi. Sesungguhnya produksi lahir dan tumbuh dari menyatunya manusia dengan alam. Maka untuk menyatukan antara manusia dengan alam, Allah telah menetapkan bahwa manusia berperan sebagai khalifah. Produksi merupakan mata rantai konsumsi, yaitu menyediakan barang dan jasa yang merupakan kebutuhan konsumen yang bertujuan untuk memperoleh mashlahah maksimum melalui aktivitasnya. Jadi, produsen dalam prespektif ekonomi islam bukanlah seorang pemburu laba maksimum melainkan pemburu mashlahah.
Faktor utama yang dominan dalam produksi adalah kualitas dan kuantitas manusia, Sistem atau prasarana yang kemudian kita sebut sebagai teknologi dan modal(segala sesuatu dari hasil kerja yang disimpan). Bumi adalah lapangan dan medan, sedang manusia adalah pengelola segala apa yang terhampar di muka bumi untuk dimaksimalkan fungsi dan kegunaanya.
kegiatan produksi dalam ilmu ekonomi di artikan sebagai kegiatan yang menciptakan manfaat (utility) baik dimasa kini maupun dimasa mendatang (m.fank,2003). Dengan pengertian yang begitu luas tersebut, kita memahami bahwa kegiatan produksi tidak terlepas dari kesehatan manusia. Meskipun demikian, pemahamn tentang produksi dalam ilmu ekonomi konvensional senantiasa mengusung maksimalisasi keuntungan sebagai motif umum, meskipun sangat banyak kegiatan produksi.
Upaya memaksimalkan keuntungan itu, membuat sistem ekonomi konvensional sangat mendewakan produktivitas dan efesiensi ketika berproduksi. Sikap ini sering membuat mereka mengabaikan masalah eksternalitas, atau dampak merugikan dari proses produksi yang biasanya justru lebih banyak menimpa sekelompok masyarakat yang tidak ada hubunganya dengan produk yang dibuat, baik sebagai konsumen maupun sebagai bagian dari faktor produksi. Pabrik kertas misalnya sering menimbulkan pencemaran disekitar bangunan pabriknya kelompok dari pencemaran itu justru masyarakat sekitar pabrik yang tidak mendapat langsung dari kegiatan pabrik tersebut.
B. Produksi Dalam Pandangan Islam
Islampun sesungguhnya menerima motif-motif berproduksi seperti pola pikir ekonomi konvensional tadi. Hanya bedanya, lebih jauh islam juga menjelaskan nilai-nilai moral disamping utilitas ekonomi. Bahkan sebelum itu, islam menjelaskan mengapa produksi harus dilakukan. Menurut ajaran islam manusia adalah khalifatullah atau wakil Allah di muka bumi dan berkewajiban untuk memakmurkan bumi dengan jalan beribadah kepada-Nya. Dalam Qs. Al-an’am (6) ayat 165 Allah berfirman:
               •       
“ Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat Siksaan-nya dan sesungguhnya dia Maha pengampun lagi maha penyayang.
Islam juga mengajarkan bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang banyak manfaatnya bagi orang lain atau masyarakat. Fungsi beribadah dalam arti luas ini tidak mungkin dilakukan bila seseorang tidak bekerja atau berusaha. (Ijlas, 2002).
Bagi islam, memproduksi sesuatau bukanlah sekedar untuk dikonsumsi sendiri atau dijual kepasar. Dua motivasi itu belum cukup, karena masih terbatas pada fungsi ekonomi. Islam secara khas mnekankan bahwa setiap kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial. Ini tercermin dalam Qs. Al-hadiid (57) ayat 7.

                
“ Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.
Melalui konsep inilah, kegiatan produksi harus bergerak dia atas dua garis optimalisasi. Tingkatan optimal pertama adalah mengupayakan berfungsinya sumber daya insani ke arah pencapaian kondisi full employment, di mana setiap orang bekerja dan menghasilkan suatu karya kecuali mereka yang ‘udzur syar’I seperti sakit dan lumpuh. Optimalisasi berikutnya adalah dalam hal memproduksi kebutuhan primer (dharuriyyat), lalu kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan kebutuhan tersier (tahsiniyyat) secara proporsional. Tentu saja islam harus memastikan hanya memproduksi sesuatu yang halal dan bermanfaat buat masyarakat (thayyib).
C. Prinsip-prinsip Produksi Dalam Ekonomi Islam
Pada prinsipnya kegiatan produksi terkait seluruhnya dengan syariat Islam, dimana seluruh kegiatan produksi harus sejalan dengan tujuan dari konsumsi itu sendiri. Konsumsi seorang muslim dilakukan untuk mencari falah (kebahagiaan) demikian pula produksi dilakukan untuk menyediakan barang dan jasa guna falah tersebut.
Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW.memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi sebagai berikut:
1. tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya. Allah menciptakan bumi dan langit beserta segala apa yang ada di antara keduanya karena sifat Rahmaan dan Rahim-Nya kepada manusia. Karenanya sifat tersebut juga harus melandasi aktivitas manusia dalam pemanfaatan bumi dan langit dan segala isinya.
2. islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi. Menurut YusufQardhawi, islam membuka lebar penggunaan metode ilmiah yang di dasarkan pada penelitian, eksperimen, dan perhitungan.
3. teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan manusia.
4. dalam berinovasi dan bereksperimen, pada prinsipnya agama islam menyukai kemudahan, menghindari mudarat dan memaksimalkan manfaat.
D. Tujuan-tujuan produksi
Produksi dalam perspektif Islam adalah suatu usaha untuk menghasilkan dan menambah daya guna dari suatu barang baik dari sisi fisik materialnya maupun dari sisi moralitasnya, sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup manusia sebagaimana yang digariskan dalam agama Islam, yaitu mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Karena pada dasarnya produksi adalah kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfaatkan oleh konsumen, maka tujuan produksi harus sejalan dengan tujuan konsumsi sendiri yaitu mencapai falah.

KESIMPULAN

Pruduksi adalah sebuah proses yang telah terlahir dimuka bumi ini semenjak manusia menghuni planet ini. Produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan juga peradapan manusia dan bumi. Sesungguhnya produksi lahir dan tumbuh dari menyatunya manusia dengan alam.
Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu pula sebaliknya. Untuk mengahasilkan barang dan jasa kegiatan produksi melibatkan banyak faktor-faktor produksi.
Tujuan dari produksi dalam islam adalah untuk menciptakan mashlahah yang optimum bagi konsumen atau bagi manusia secara keseluruhan. Dengan mashlahah yang optimum ini, maka akan tercapai falah yang merupakan tujuan akhir dari kegiatan ekonomi sekaligus tujuan hidup manusia. falah adalah kemuliaan hidup di dunia dan akhirat yang akan memberikan kebahagian yang hakiki bagi manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Nasution. Mustafa Edwin, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006
Kahf. Drs. Monzer, Ekonomi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995
http://suherilbs.wordpress.com/ekonomi-mikro/ekonomi-makro/

PENGARUH KENAIKAN TINGKAT SUKU BUNGA TERHADAP KINERJA BANKSYARI’AH DI KOTA PEKALONGAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bank merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang dalam masyarakat. Oleh karena itu, usah abank akan selalu dikaitkan dengan masalah uang yang merupakan barang dagangan utama. Dalam melaksanakan fungsinya, bank membeli uang dari masyarakat dengan harta tertentu yang lazim disebut bunga kredit. Sebaliknya bank akan menjual uang dalam bentuk pemberian uang pinjaman dengan harga tertentu yang lazim disebut dengan debet. Dengan demikian, bank akan mendapatkan keuntungan dari selisih antara harga jual dengan harga beli uang tersebut. Padahal para ulama berpendapat bahwa dalam syari’at Islam bunga tersebut dinilai sebagai riba yang dilarang oleh agama. Untuk menghindari pengoperasian bank dengan sistem bunga, Islam memperkenalkan prinsip-prinsip muamalat sebagai alternative perbankan dalam bentuk kegiatan usaha bank syari’ah. Sehingga dapat dikatakan bahwa bank syari’ah adalah sistem perbankan yang sesuai dengan syari’ah Islam. Adanya kenaikan tingkat suku bunga pada bank-bank umum akan mempengaruhi peran intermediasi dunia perbankan dalam perekonomian Indonesia.
Bank-bank umum (konvensional) dalam operasionalnya sangat tergantung pada tingkat suku bunga yang berlaku, karena keuntungan bank konvensional berasal dari selisih antara bunga pinjam dengan bunga simpan. Sedangkan dalam bank syariah tidak mengenal sistem bunga, yang ada adalah prinsip bagi hasil (profit sharing) antara bank dengan nasabah dalam pengelola dananya. Walaupun demikian, dengan adanya kenaikan tingkat suku bunga pada bank-bank umum baik langsung maupun tidak langsung akan membawa dampak terhadap kinerja bank syari’ah. Dengan naiknya tingkat suku bunga maka akan diikuti oleh naiknya suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman pada bank konvensional. Sehingga orang akan cenderung untuk menyimpan dananya di bank konvensional dari pada di bank syari’ah karena bunga simpanan di bank konvensional naik yang pada akhirnya tingkat pengembalian yang akan diperoleh oleh nasabah penyimpan dana akan mengalami peningkatan. Kenaikan tingkat suku bunga inilah yang menjadi dilema dunia perbankan syari’ah saat ini, karena dikhawatirkan akan ada perpindahan dana dari bank syari’ah ke bank konvensional. Tetapi ada juga keuntungan yang diperoleh bank syari’ah dengan naiknya suku bunga yakni permohonan pembiayaan (kredit) di bank syari’ah oleh nasabah diperkiraan akan mengalami peningkatkan seiring dengan naiknya bunga pinjaman pada bank konvensional atau bank umum.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka dapat disusun rumusan masalah penelitian sebagai berikut : Apakah terdapat pengaruh antara kenaikan tingkat suku bunga dengan kinerja bank syari’ah ?

C. Tujuan Penelitian
Untuk menguji pengaruh kenaikan tingkat suku bungan terhadap kinerja bank syari’ah.

D. Kegunaan Penelitian
Bagi Bank Syari’ah : sebagai sumber informasi untuk pengembangan bank syari’ah ke depan. Sebagai bahan pertimbangan untuk lebih memantapkan strategi yang telah digunakan oleh bank syari’ah selama ini.
Bagi Peneliti : sebagai sarana untuk mengaplikasikan berbagai teori yang diperoleh di bangku kuliah.

E. Kerangka Teori
Bank adalah lembaga perantara keuangan atau biasanya disebut financial intermediary. Artinya lembaga bank adalahlembaga yang dalam aktivitasnya berkaitan dengan masalah uang. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Bunga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayarkan kepada nasabah yang memiliki simpanan dengan yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank. Sedangkan bunga bank adalah balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya.
Bank syari’ah ialah badan usaha yang bergerak dalam bidang perbankan yang sisetm operasionalnya didasarkan pada prinsip-prinsip syari’ah Islam. Prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atas kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah. Sedangkan tujuan didirikannya bank syari’ah adalah meningkatkan usaha menuju kesejahteraan umat dnegan mengaitkan pembayaran ekonomi dan sosial serta menyelamatkan umat Islam dari membayar dan menerima bunga yang termausk perbuatan riba serta dampak sampingannya yang tidak dikehendaki oleh Islam. Islam sebagai suatu agama wahyu telah memiliki syari’at yang baku sebagai pedoman umat dan menjalankan segala aktifitas hidup. Demikian juga dengan persoalan penggunaan dan penyimpanan uang bagi masyarakat telah ada aturan yang jelas. Pemikiran tentang konsep lembaga keuangan syari’ah sebenarnya bermula dari pandangan tentang adanya praktek bunga dengan riba yang diharamkan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kesamaan itu sulit dibantah, apalagi secara nyata aplikasi sistem bunga pada perbankan lebih banyak dirasakan mudharatnya daripada manfaatnya.
Jiwa dalam mekanisme ekonomi konvensional menggunakan instrument bunga, maka dalam ekonomi Islam dengan menggunakan instrument bagi hasil. Salah satu bentuk instrumen kelembagaan yang menerapkan instrument bagi hasil adalah bisnis dalam lembaga keuangan syari’ah. Mekanisme lembaga keuangan syari’ah nampaknya menjadi salah satu alternative bagi masyarakat bisnis. Atau dapat diartikan kehadiran bank syari’ah dalam peraturan perekonomian nasional amat penting atau relevansinya bank syariah bagi perekonomian Indonesia yang sedang membangun sangat tinggi dan jauh lebih tinggi dari bank konvensional. Sehingga tumbuh kembangnya bank syari’ah di Indonesia dalam rangka memperkecil terjadinya praktek riba, sehingga tidak semata-mata bersifat emosional tapi lebih banyak rasional dan konsepsional untuk membantu upaya pembangunan sebab dengan jumlah bank syari’ah yang cukup berarti dan dioperasionalkan dengan baik akan mampu mendukungnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasil, serta stabilitasi ekonomi yang mantap.
Strategi pembangunan perbankan syari’ah diarahkan untuk meningkatkan kompetensi usaha yang sejajar dengan sistem perbankan konvers dan dilakukan secara komprehensif dengan mengacu pada analisis kekuatan dan kelemahan perbankan syari’ah. Upaya pemerintah untuk merealisasikan hal tersebut ditempuh melalui 4 langkah utama, yaitu :
- Penyempurnaan ketentuan
Upaya yang dilakukan adalah penyesuaian perangkat dasarUU Bank Sentral, UU Perbankan, penyusunan perangkat-perangkat dan ketentuan pendukung kegiatan operasional bank syari’ah.

- Pengembangan jaringan bank syari’ah
Terutama ditujukan untuk menyediakan akses yang lebih luas kepada masyarakat dalam mendapatkan pelayanan jasa bank syari’ah. Selain itu juga, dengan semakin berkembangnya jaringan bank syari’ah, akan mendukung pembentukan pasar uang antar bank yang sangat penting dalam mekanisme operasional perbankan syari’ah sehingga dapat dikembangkan secara sehat.
- Pengembangan piranti moneter
Penyusunan piranti moneter dilakukan dalam rangka mendukung kebijakan moneter dan kegiatan usaha bank syari’ah. Dalam kaitannya dengan kegiatan usaha bank syari’ah maka pembentukan piranti ini diharapkan dapat membantu pengembangan pasar uang antar bank syari’ah.
- Pelaksanaan kegiatan sosialisasi perbankan syar’iah
Kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan bertujuan untuk memberikan informasi yang lengkap dan benar mengenai kegiatan usaha perbankan syari’ah kepada mayarakat, baik itu pengusaha, kalangan perbankan, maupun masyarakat lainnya.
Untuk mendukung keberhasilan strategi pengembangan yang telah ditetapkan pemerintah memandang perlu mempersiapkan agenda program pengembangan perbankan syari’ah yang jelas dan terarah.

Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang bank syari’ah yang dilakukan oleh mahasiswa FE UUN ini bukan hal yang pertama kali dilakukan. Taufan Al-Amin jurusan manajemen keuangan angkatan 20041 dalam skripsinya tentang bank syari’ah yang berjudul “Pengaruh Fatwa MUI Tentang Keharaman Bunga Bank Terhadap Minat Masyarakat Untuk Mengalihkan Dananya ke Bank Syari’ah” menyimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara fatwa MUI tentang bunga bank haram yang dikeluarkan pada tahun 2003 dengan minat masyarakat untuk menabung di bank syari’ah. Penelitian tersebut dilakukan pada tahun 2005. Alasan masyarakat tidak begitu terpengaruh dengan adanya fatwa tersebut karena mereka bersikap rasional dan lebih banyak menggunakan pertimbangan pribadi daripada pendapat orang lain atau lembaga.

F. Hipotesis
Adapun hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah : Hipotesis Nol (Ho); Tidak ada pengaruh yang negative antara kenaikan tingkat suku bunga dengan kinerja bank syari’ah. Hipotesa Kerja / Alternatif (Ha); Ada pengaruh yang positif antara kenaikan tingkat suku bunga dengan kinerja bank syari’ah.

G. Metodologi Penelitian
Untuk meneliti persoalan ini peneliti menggunakan metode penelitian survai yang datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi.
1. Objek Penelitian
Sesuai dengan judul tulisan ini, maka yang menjadi objek dari penelitian ini adalah banyak syari’ah di Pekalongan.
2. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah bank syari’ah yang ada di Indonesia.
b. Sampel
Untuk lebih mempermudah penelitian, maka digunakan metode purposive sampling yaitu dengan sampel yang sudah ditentukan terlebih dahulu.


3. Jenis Sumber Data
Sesuai dengan persoalan yang diteliti, maka sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder yang berupa sumber-sumber dari internet, arsip-arsip dan laporan keuangna.
4. Variabel Penelitian
Variabel yang diangkat dalam penelitian ini meliputi variabel bebas (x) dan variabel terikat (y). variabel bebas (x) pada penelitian ini adalah kenaikan tingkat suku bunga sedangkan variabel terikatnya (y) adalah kinerja bank syari’ah.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi sederhana.

H. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memperjelas gambaran dari penelitian yang akan dilakukan maka sistematika penulisan dalam penulisan ini adalah berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, sistematika dan daftar pustaka.


DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta : UPP AMPYKPN.

Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah : Dari Teori ke Praktek, Jakarta : Gema Insani Press, 2001.

Perwataatmadja, Karnaen, Apa dan Bagaimana Baru Islam, Yogyakarta : PT. Dana Bakti Prima Yasa, 1992.

MANAJEMEN ORGANISASI DAN KEPEMIMPINAN

PENGERTIAN MANAJEMEN
Suatu organisasi dapat hidup dan berjalan dengan benar, terarah dan mencapai tujuan dengan efektif dan efisien apabila dikelola dengan baik. Untuk dapat mengelola dan mengatur organisasi dengan baik ini diperlukan adanya kecakapan dan kemampuan dalam hal managerial ( management skill ). Sebab dengan adanya kecakapan dan kemampuan dalam hal managerial ini, semua sumber daya organisasi dapat difungsikan secara optimal dan produktif yang pada akhirnya tujuan organisasi dapat dicapai dengan berdaya guna dan berhasil guna.
Ada banyak sekali rumusan atau definisi tentang managemen yang sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli. Disini dapat kami kemukakan dua rumusan yang sederhana, yaitu :
1. Marry Barlin Follet
Manajemen adalah seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini ada, dimana dalam kenyataannya bahwa manager ( pemimpin ) dalam usaha mencapai tujuannya dengan rangkaian berbagai cara yang kemudian dilakukan oleh orang-orang yang berada di bawah bimbingannya.
2. Dr. Whinardi
Manajemen adalah merupakan suatu proses yang khas yang terdiri dari aktifitas perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan dan pengawasan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan memanfaatkan sumber daya organisasi ( manusia dan alam ).

Dari kedua rumusan di atas, maka dapat kita pahami bahwa :
1. Manajemen adalah merupakan suatu proses untuk mencapai suatu tujuan.
2. Manajemen adalah merupakan serangkaian tindakan atau seni.
3. Manajemen mempunyai unsur-unsur yang sering disebut dengan fungsi managemen yaitu perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan, dan pengawasan ( POAC : Planning, Organizing, Actuating, Controling ).




Definisi di atas dapat ditunjukkan dalam diagram sebagai berikut :


MANFAAT DAN FUNGSI MANAJEMEN
Secara garis besar manfaat manajemen dalam pengelolaan organisasi adalah agar organisasi dapat berjalan sesuai dengan arah, sasaran yang dikehendaki secara berdaya guna dan berhasil guna ( efektif dan efisien ). Yang pada akhirnya dapat menghindarkan adanya hal-hal atau tindakan-tindakan yang tidak mendukung, menghambat dan bahkan merugikan dalam pencapaian tujuan organisasi.
Pada hakikatnya inti dari organisasi adalah manajemen. Suatu organisasi tanpa adanya manajemen yang baik didalamnya akan mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan yang dikehendaki. Dapat diibaratkan dalam kehidupan, manajemen merupakan jasad atau badan, sedangkan manajemen merupakan roh, jiwa atau akal pikirannya yang dapat menggerakkan dan memberikan arah kehidupan pada organisasi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa organisasi tanpa manajemen didalamnya seperti jasad tanpa roh atau kehidupan tanpa akal pikiran.
Fungsi manajemen sering disebut dengan unsur-unsur atau aktifitas manajemen yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan dan pengawasan. Semua itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipecah-pecahkan, baik dalam actionnya atau operationalnya maupun dalam cara memahaminya pembahasan dari fungsi-fungsi tersebut adalah :
1. Perencanaan ( Planning )
Perencanaan yaitu menentukan terlebih dahulu serangkaian tindakan untuk mencapai tindakan yang diinginkan ( Louis A. Allen ). Jadi perencanaan adalah merupakan keputusan yang diambil dengan disertai keputusan mengenai tindakan apa yang akan dilakukan, kapan, bagaimana, dan sebagainya. Oleh karena itu menurut BESHLINE, setiap pertanyaan harus memberikan jawaban atas pertanyaan SW + 1H, yaitu :
 What ( apa ) mencakup tentang tujuan.
 Why ( mengapa ) menjelaskan mengenai pemilihan tujuan.
 When ( kapan ) menjelaskan tentang waktu.
 Where ( dimana ) menjelaskan tentang tempat.
 Who ( siapa ) menjelaskan pelaksanaannya.
 How ( bagaimana ) menjelaskan teknis atau cara pencapaian tujuan.

Unsur-unsur yang ada dalam suatu perencanaan ;
1. Tujuan yang ingin dicapai, dapat bersifat material seperti memperoleh laba, atau bersifat moral seperti meningkatkan keahlian atau ketrampilan.
2. Politik atau kebijakan, yaitu menyangkut tentang kebijaksanaan yang diambil dalam menjalankan rencana, termasuk kebijaksanaan jika terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan rencana ketika dioperasionalkan.
3. Prosedur, yaitu langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan.
4. Anggaran atau budget, yaitu mengenai pendanaan yang meliputi sumber dana dan penggunannya.
5. Program, yaitu kumpulan aktifitas yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan.

Hal lain yang perlu mendapatkan pengertian, bahwa dalam penyusunan rencana bukanlah merupakan daftar keinginan yang utopis melainkan bersifat realistis, yang artinya berpijak pada kemampuan riil organisasi dan dapat dilaksanakan oleh semua sumber daya organisasi yang ada.

2. Pengorganisasian ( Organizing )
Pengorganisasian adalah menentukan dan mengelompokkan berbagai kegiatan yang akan dilakukan dalam mencapai tujuan, memberikan tugas, wewenang dan tanggung jawab serta mengatur hubungan koordinasi antara setiap personalia atau pelaksana.
Hasil dari aktifitas pengorganisasian ini adalah organisasi dalam arti statis maupun dinamis. Organisasi dalam arti statis adalah lembaga atau wadahnya, dan organisasi dalam arti dinamis adalah mekanisme atau tata kerja yang hidup dalam organisasi.

3. Penggerakkan ( Actuating )
Menggerakkan atau pemimpin ( actuating ) adalah usaha menggerakkan anggota organisasi agar mau bertindak dan bekerja sama dalam mencapai tujuan organisasi. Dalam manajemen, unsur atau fungsi ini adalah fungsi yang strategis dan kompleks karena fungsi ini merupakan aktifitas yang secara langsung berhubungan dengan orang per orang, yaitu usaha untuk mempengaruhi orang lain agar bersedia dengan sukarela atau terpaksa untuk mencapai tujuan organisasi.
Fungsi ini dikatakan kompleks karena manusia merupakan makhluk yang penuh dengan ketakterdugaan, mempunyai perbedaan yang sangat heterogen serta mempunyai motivasi yang sangat beragam.
Dalam prakteknya perumitan pelaksanaan actuating ini adalah tantangan yang paling menantang bagi seorang pemimpin. Dan untuk mengatasinya diperlukan adanya rasa, cipta, dan karsa yang tinggi.

4. Pengawasan ( Controling )
Pengawasan adalah serangkaian aktivitas pengawasan guna menjamin tercapainya tujuan sebagaimana yang direncanakan. Maksudnya adalah untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang telah dipolakan dalam rencana akan dilaksanakan sebagaimana mestinya sesuai dengan rencana, dan apabila terjadi penyimpangan maka melalui mekanisme pengawasan ini akan dapat dicari jalan keluarnya yang tidak mengakibatkan lepasnya tujuan semula.
Dalam melakukan pengawasan, seorang pemimpin dapat menggunakan cara :
1. Pengecekan laporan, baik rutin maupun insidentil, lisan maupun tertulis.
2. Melakukan observasi lapangan secara rutin maupun dadakan.
Dengan adanya pengawasan tersebut, maka diharapkan dapat tercipta suatu iklim yang terkendali dalam pelaksanaan pekerjaan dan pencapaian tujuan organisasi.
Dapat digambarkan hubungan organisasi, manajemen dan kepemimpinan sebagai berikut :

Manajemen adalah inti dari organisasi. Kepemimpinan adalah inti dari manajemen dan pengambilan keputusan adalah inti dari kepemimpinan.

5. Tipologi, Fungsi dan Potret Ideal Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok di dalam usaha mengarahkan tingkah laku orang lain untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Pemimpin adalah seseorang yang karena sesuatu sebab diikuti oleh kelompok manusia lainnya atau orang yang dapat menggerakkan orang lain sesuai dengan visi dan misi organisasi.
Dari pengertian tersebut dalam prinsip kepemimpinan terkandung 3 unsur yang saling mempengaruhi yaitu :
1. Pihak yang mempengaruhi, disebut pemimpin.
2. Pihak yang dipengaruhi, disebut pemimpin.
3. Situasi dan kondisi yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi.
Dalam kepemimpinan, ada berbagai macam tipologi diantaranya :
a. Kepemimpinan otoriter.
Yaitu kepemimpinan berdasarkan kekuasaan mutlak, sehingga keputusan ada ditangan pemimpin yang menganggap dirinya lebih mengetahui dalam segala hal dari anggotanya. Tujuan pemimpin menjadi tujuan kelompok.
b. Kepemimpinan liberal atau bebas.
Yaitu kepemimpinan dimana anggota kelompok diberi kebebasan dalam menentukan tujuan kelompok. Pemimpin bersifat pasif, tidak ada inisiatif dan sebagai penonton.
c. Kepemimpinan demokratis.
Yaitu kepemimpinan dimana pemimpin didalam melakukan tugasnya melibatkan secara kolektif angggotanya, sehingga suatu keputusan merupakan keputusan bersama.
d. Kepemimpinan Kharismatis
Adalah kepemimpinan yang berdasarkan tradisi dan sejarah merupakan dasar hukum istimewa sang pemimpin, yaitu secara turun-temurun, contoh : raja-raja, kaisar.
e. Kepemimpinan Rasional.
Yaitu kepemimpinan atas dasar pertimbangan rasionalitas. Norma atau aturan disusun secara rasional, birokratis ( bersandar pada aturan ) dan sistem jabatan yang bertingkat-tingkat menjadi ciri khasnya, misal : kepala negara.



FUNGSI KEPEMIMPINAN
a. Fungsi analisa ( pengolah kebutuhan, masalah, tujuan program dan keadaan yang dipimpin baik potensi dan masalahnya ).
b. Fungsi pengarahan ( dengan membagi tugas dan tanggung jawab, wewenang serta membimbing dan mengarahkan ).
c. Fungsi pembentuk susunan ( ketertiban, keamanan, keterbukaan, kekeluargaan dan motivasi ).
d. Fungsi pemeliharaan ( suasana, semangat kerja, peningkatan dan pengembangan usaha yang telah dilaksanakan ).

POTRET IDEAL KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan ideal dapat dilihat dari ciri-ciri kepemimpinan yang baik dan berhasil. Seorang pemimpin yang baik adalah :
- Berwibawa - Sederhana
- Jujur - Berjiwa besar dan dinamis
- Dapat dipercaya - Bersikap wajar
- Bijaksana - Mengayomi
- Berani, mawas diri - Penuh pengabdian pada tugas
- Tegas dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambil

Adapun ciri-ciri kepemimpinan yang berhasil adalah :
1. Mengetahui kebutuhan dan terbuka kepada program dan yang dipimpin.
2. Bersedia membimbing dan mengarahkan kepada program dan yang dipimpin.
3. Bersedia membagi tanggung jawab dan wewenang kepada mereka yang dipimpin.

SOSOK DAN CITRA DIRI SEORANG PEMIMPIN IPPNU
IPPNU merupakan organisasi kader muda yang bernaung di bawah Jamiyah Nahdlatul Ulama atau sebagai Badan Otonom NU, maka eksistensi dan keberadaan IPPNU cukup penting , disebabkan tugasnya menyiapkan kader NU, khususnya kader putri pada basis yang paling dasar yaitu remaja, pelajar putri, mahasiswa dan santri putri. Dalam menjalankan tugasnya pemimpin IPPNU tidak lepas dari, citra diri IPPNU sebagai landasan sikap dan menjadi pegangan bagi kader IPPNU yang pelaksanaannya disesuaikan dengan keadaan zaman dan tidak melanggar khittah NU. Citra diri IPPNu yang meliputi visi, misi, orientasi, karakter dasar, posisi, target group dan bidang garapan, organisasi.
POSISI, FUNGSI PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN IPPNU
Bidang Organisasi
Meningkatkan kualitas kelembagaan IPPNU secara administratif maupun, secara organisasi.

Bidang Kaderisasi
Berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas kader melalui upaya perencanaan kaderisasi yang sistematis, terpadu dan berkelanjutan sesuai dengan segmen garapan IPPNU.
Bidang Partisipasi
Berupaya meningkatkan peran IPPNU dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.

PENUTUP
Manajemen dan kepemimpinan senantiasa berhubungan dengan manusia yang punya perbedaan yang sangat beragam, tentang kepribadian, latar belakang pendidikan, karakter serta sifat-sifat asli lainnya yang dibawa dari luar organisasi ke dalam organisasi. Oleh karena itu seorang pemimpin harus memperhatikan hal-hal tersebut sehingga ia dapat memanfaatkan semua sumber daya organisasi secara efektif dan efisien.
Manajemen sebagai ilmu tidak berbeda dengan ilmu-ilmu yang lain, dimana penerapannya harus disesuaikan dengan situasi, kondisi serta faktor-faktor lain yang melingkupinya. Penyesuaian konsep-konsep umum terhadap situasi khusus disebut seni manajemen.


KEPEMIMPINAN

Studi yang dilakukan oleh Warren Bennis dan Burt Nanus, menunjukkan bahwa ada lebih dari 350 definisi mengenai leadership yang pernah mereka baca dari berbagai literatur akademis yang ditulis sampai pertengahan tahun 80 – an. Hal ini cukup untuk membuat mereka mengatakan bahwa ibarat seni dan atau cinta. Kepemimpinan merupakan hal yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya. Kita tahu bahwa hal itu ada, eksis dan kita merasakannya, tetapi tak seorang pun mampu mendefinisikannya secara tuntas.
Apa dan bagaimanapun kepemimpinan didefinisikan, sejumlah kata yang berkaitan dengan kepemimpinan adalah :
- Visi, tujuan, sasaran, hasil
- Misi, nilai-nilai, keyakinan
- Strategi, ketrampilan, kemampuan
- Pengikut, konstitnen
- Pengaruh, otoritas, kekuasaan
- Motivasi, inspirasi, energi, daya dorong
- Relasi, kontrak, transaksi, transformasi
- Pemberdayaan, pemerdekaan, potensi
Ada 3 komponen utama kepemimpinan :
1. Sosok pribadi yang bertumpu pada pola pikir, sikap atau disebut paradigma dan komitmen.
2. Perilaku, yang tercermin pada proses interaksi dalam arti sampai sejauhmana pemimpin melibatkan pengikut dalam pengambilan keputusan.
3. Situasi, dimana lingkungan ( inveronment ) kerja yang sangat berpengaruh terhadap kepemimpinan.

GAYA-GAYA KEPEMIMPINAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Likert ( Likert’s Management System ), ada 4 macam gaya kepemimpinan yaitu :
1. Gaya Otoritas ( Explosive atau Authoritative ).
- Pemimpin menentukan semua keputusan yang berkaitan dengan seluruh pekerjaan dan memerintahkan semua bawahan atau pengikut untuk melaksanakan.
- Pemimpin kurang percaya terhadap bawahan dan memberikan ancaman atau hukuman kepada bawahan yang tidak berhasil melakukan tugas.
- Atasan dan bawahan bekerja dalam suasana yang saling mencurigai.
2. Gaya Otoritas Yang Bijaksana ( Benevolent Authoritative ).
- Pemimpin menyampaikan berbagai peraturan, bawahan diberi kebebasan untuk berpendapat dan diberi fleksibilitas dapat melaksanakan tugas diberi batasan serta berbagai prosedur.
- Pemimpin akan memberi hadiah atau penghargaan bagi yang berhasil dan sanksi bagi yang kurang berhasil sebagai dorongan.
- Hubungan antara atasan dan bawahan dalam suasana cukup baik.
3. Gaya Consultative
- Pemimpin menentukan tujuan dan berbagai ketentuan yang bersifat umum, sesudah memulai proses diskusi dengan bawahan.
- Penghargaan dan hukuman diberikan sebagai dorongan pada bawahan.
- Pemimpin punya kepercayaan dan keyakinan pada bawahan.
- Tercipta hubungan dua arah.
4. Gaya Partisipatif
- Penentuan tujuan dan pengambilan keputusan ditentukan oleh kelompok atau bersama jika pemimpin perlu mengambil keputusan setelah adanya pendapat atau saran bersama dari bawahan.
- Hubungan kerjasama dalam suasana persahabatan dan saling percaya.
- Motiviasi ekonomis.

MODEL KEPEMIMPINAN SITUASIONAL
Dari hasil berbagai penelaahan timbul suatu pemikiran yang mendasar bahwa kepemimpinan dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional, dimana pemimpin itu berada atau dimana pemimpin itu melaksanakan tugasnya. Variabel situasi seperti : waktu, tuntutan tugas, iklim organisasi, harapan dan kemampuan atasan, rekan sejawat dan bawahan adalah sangat penting bagi perilaku pemimpin. Dengan demikian perilaku kepemimpinan cenderung berbeda-beda dari situasi ke situasi lain, artinya disesuaikan dengan situasi yang dihadapi.
Ada pemimpin yang cenderung mengarahkan diri ( Direktif ) selalu memberi petunjuk kepada bawahan, dan ada pula pemimpin yang cenderung memberikan dukungan ( supportif ). Selanjutnya situasi lain mungkin merupakan kombinasi antara kecenderungan memberikan pengarahan dan dukungan.
Tipe dasar perilaku kepemimpinan situasi dalam proses pengambilan keputusan dan proses pemecahan masalah, dapat diidentifikasikan ke dalam gambar sebagai berikut :

P.1 = tinggi tugas direndah hubungan tipe yang cocok instruksi / telling.
P.2 = tinggi tugas dan tinggi hubungan tipe yang sesuai, konsultasi / selling.
P.3 = tinggi hubungan rendah tugas, tipe yang diperlukan partisipasi.
P.4 = rendah hubungan dan rendah tugas, tipe yang cocok delegasi.

Sejauh mana seorang pemimpin memperhatikan situasi atau tergantung dengan “Tingkat Kematangan” ( maturity ) yang ditunjukkan oleh yang dipimpin. Rasa tanggung jawab dalam arti orang yang memiliki kemauan ( motivasi ) dan kemampuan ( kompetensi ) untuk menentukan tujuan organisasi.
Ada empat macam pola yang menggambarkan tingkat kematangan yang dipimpin ( K ) yaitu :
K.1 Kematangan tingkat rendah = tidak mau dan tidak mampu.
K.2 Kematangan tingkat rendah menuju sedang = mau tapi tidak mampu.
K.3 Kematangan tingkat sedang menuju tinggi = mampu tetapi tidak mau .
K.4 Kematangan tingkat tinggi = mampu dan mau

KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF
Apabila 4 tipe perilaku kepemimpinan dengan 4 tingkat kematangan yang dipimpin tersebut dikaitkan satu sama lain, menggambarkan adanya korelasi antara tingkat lingkup kematangan dengan tipe perilaku yang paling sesuai, yang dapat mendukung terwujudnya kepemimpinan yang efektif, hubungan tersebut adalah :
1. Apabila yang dipimpin berada dalam K.1, perilaku yang efektif adalah instruksi ( telling ).
2. Apabila yang dipimpin berada dalam K.2, perilaku yang efektif adalah konsultasi ( selling ).
3. Apabila yang dipimpin berada dalam K.3, perilaku yang efektif adalah partisipasi.
4. Apabila yang dipimpin berada dalam K.4, perilaku yang efektif adalah delegasi.
Dengan diketahui perilaku dan tingkat fleksibilitas kepemimpin seseorang akan bermanfaat lebih lanjut bagi pemimpin yang bersangkutan untuk mawas diri dan meningkatkan kepemimpinannya sesuai dengan situasi.

BIJAK MENGKONSUMSI HARTA

Dalam menggunakan harta, kita terlebih dahulu harus tahu nama barang (kebutuhan) yang benar-benar dibutuhkan dan barang (kebutuhan) mana yang hanya sekedar keinginan kita saja, agar dalam penggunaannya tidak boros. Selain itu kita juga dituntut agar tidak kikir karena dalam harta yang kita miliki ada hak orang lain.
Di bawah ini ayat yang membahas tentang bagaimana seharusnya sikap kita dalam mengkonsumsi harta.
Surat Al-Furqan ayat 67 :
Dan orang-orang : وَالَّذِيْنَ
Yang apabila : إِذَا
Membelanjakan (harta) : نْفَقُوْا
Mereka tidak : لَمْ
Berlebih-lebihan : يُسْرِفُوْا
Dan tidak pula : وَلَمْ
Kikir : يَقْتُرُوْ
Dan adalah (pembelanjaan itu) : وَكَانَ
Di tengah-tengah antara : بَيْنَ
Yang demikian : ذَلِِكَ قَوَامًا

Keterangan :
QS. Al-Furqaan ayat 67 :
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa “Orang-orang Islam yang menafkahkan (membelanjakan) harta, tidaklah berlebih-lebiha dan tidak pula kikir, dan sebaiknya dalam membelanjakan harta itu di tengah-tengah keduanya”. Artinya orang Islam dituntut agar bisa menggunakan harta secara seimbang, karena perbuatan boros maupun kikir dilarang oleh Allah SWT.
Kikir dapat disebabkan karena orang tersebut sangat mencintai harta yang dimilikinya. Seperti dalam firman Allah Surat Al-‘Adiyat ayat 8 :
    
Artinya :
“Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta mereka”.
Allah juga melarang manusia untuk berbuat boros seperti firman Allah SWT :
وَلاَ تُبَذِّرُ نَبْذِيْرَا اِنَّ الْمُبَذِّ يْنَ كَانُوْ اِحْوَ نَا لشَيَا طِيْنِ .
Artinya :
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (boros), sesungguhnya orang yang berbuat menghambur-hamburkan (boros) itu teman (dari) syaitan”.
Jadi sebagai orang Islam kita dituntut agar kita menjaga keseimbangan dalam menggunakan harta kita agar kita benar-benar terhindar dari sifat kikir maupun boros. Untuk menghindari berbuat boros kita harus bisa memilah-milah antara want (keinginan) dan need (kebutuhan).
Sedangkan kekikiran adalah suatu hal yang sangat berbeda dengan pemborosan dan kemewahan tetapi sifat ini juga termasuk tercela di dalam Islam karena seseorang tidak menggunakan rizki dan nikmat yang diberikan Allah kepadanya untuk di konsumsi atau digunakan sesuai kadarnya, kebutuhannya dan tanggungannya serta akan mendorong seseorang untuk berlaku bakhil dan takut miskin, sehingga akan membuatnya tidak mau menggeluarkan shodaqoh.

Hadits riwayat Baihaqi :
Barang siapa : مَنْ
Yang membangun : بَنى
Bangunan : بنَاءً
Yang melebihi : اَكْثَرَ
Sesuatu : مِمَّا
Yang dibutuhkan : يَحْتَاجُ
Seseorang : إِلَيْهِ
Maka orang itu : كَانَ عَلَيْهَ
Akan celaka : وَبَالاَ
Di hari kiamat : يَوْمَالقِيَامَةِ

Keterangan :
“Barang siapa yang membangun bangunan yang melebihi sesuatu yang dibutuhkan seseorang maka orang itu akan celaka di hari kiamat”.
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa, dalam Islam dianjurkan agar manusia tidak bersikap berlebih-lebihan karena Allah sendiri tidak menyukai sikap berlebih-lebihan. Dan Allah menganjurkan agar manusia selalu bersikap sederhana terutama dalam hal pembelanjaan hartanya. Harta sebaiknya digunakan sesuai dengan kebutuhan.

ANALISIS MENGKONSUMSI HARTA
Terdapat empat prinsip utama dalam sistem ekonomi Islam yang diisyaratkan dalam Al-Qur'an :
1. Hidup hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain from wasteful and luxurius living), yang bermakna bahwa, tindakan ekonomi diperuntukkan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan hidup (needs) bukan pemuasan keinginan (wants).
2. Implementasi zakat (implementation of zakat) dan mekanismenya pada tataran negara merupakan obligatory zakat system bukan voluntary zakat system. Selain zakat terdapat pula instrument sejenis yang bersifat sukarela (voluntary) yaitu infak, shadaqah, wakaf, dan hadiah.
3. Penghapusan Riba (Prohibition of riba); menjadikan system bagi hasil (profit loss sharing) dengan instrument mudharabah dan musyarakah sebagai pengganti sistem kredit (kredit system) termasuk bunga (interest rate).
4. Menjalankan usaha-usaha yang halal (permissible conduct), jauh dari maisir dan gharar, meliputi bahan baku, proses produksi, manajemen, out put produksi hingga proses distribusi dan konsumsi harus dalam kerangka halal.
Dalam empat prinsip demikian, terlihat model perilaku muslim dalam menyikapi harta. Harta bukanlah tujuan, ia hanya sekedar alat untuk menumpuk pahala demi tercapainya falah (kebahagiaan dunia dan akhirat). Harta merupakan pokok kehidupan (An-Nisa (4) : 5) yang merupakan karunia Allah (An-Nisa (4) : 32). Islam memandang segala yang ada di atas bumi dan seisinya adalah milik Allah SWT, sehingga apa yang dimiliki manusia hanyalah amanah. Dengan nilai amanah itulah manusia dituntut untuk menyikapi harta benda untuk mendapatkannya dengan cara yang benar, proses yang benar dan pengelolaan dan pengembangan yang benar pula.
Namun pada tingkatan praktis, perilaku ekonomi (economic behavior) sangat ditentukan oleh tingkat keyakinan atau keimanan seseorang atau sekelompok orang yang kemudian membentuk kecenderungan perilaku konsumsi dan produksi di pasar. Dengan demikian dapat disimpulkan tiga karakteristik perilaku ekonomi dengan menggunakan tingkat keimanan sebagai asumsi.
1. Ketika keimanan ada pada tingkat yang cukup baik, maka motif berkonsumsi atau berproduksi akan didominasi oleh tiga motif utama tadi; mashlahah, kebutuhan dan kewajiban.
2. Ketika keimnanan ada pada tingkat yang kurang baik, maka motifnya tidak didominasi hanya oleh tiga hal tadi tapi yang juga kemudian akan dipengaruhi secara signifikan oleh ego, rasionalisme (materialisme) dan keinginan-keinginan yang bersifat individualistis.
3. Ketika keimanan ada pada tingkat yang buruk, maka motif berekonomi tentu saja akan didominasi oleh nilai-nilai individualistis (selfishness); ego, keinginan dan rasionalisme.
Demikian pula dalam konsumsi, Islam memposisikan sebagai bagian dari aktifitas ekonomi yang bertujuan mengumpulkan pahala menuju falah (kebahagiaan dunia dan akherat).
Sementara itu Yusuf Qardhawi, menyebutkan beberapa variable moral dalam berkonsumsi, di antaranya; konsumsi atas alasan dan pada barang-barang yang baik (halal), berhemat, tidak bermewah-mewah, menjauhi barang, menjauhi kebakhilan dan kekikiran. Dengan demikian aktifitas konsumsi merupakan salah satu aktivitas ekonomi manusia yang bertujuan untuk meningkatkan ibadah dan keimanan kepada Allah SWT dalam rangka mendapatkan kemenangan, kedamaiaan dan kesejahteraan akherat (falah), baik dengan membelanjakan uang atau pendapatannya untuk keperluan dirinya maupun untuk amal shaleh bagi sesamanya.
Pemenuhan keperluan hidup manusia secara kualitas memimiliki tahapan-tahapan pemenuhan. Berdasarkan teori Maslow, keperluan hidup berawal dari pemenuhan keperluan yang bersifat dasar (basic needs), kemudian pemenuhan keperluan hidup yang lebih tinggi kualitasnya seperti keamanan, kenyamanan dan aktualisasi. Sayang teori Maslow ini merujuk pada pola pikir individualistic-materialistik.
Dalam Islam tahapan pemenuhan keperluan hidup boleh jadi seperti yang Maslow gambarkan, namun pemuasan keperluan hidup setelah tahapan pertama (kebutuhan dasar) akan dilakukan ketika secara kolektif, yaitu kebutuhan dasar masyarakat sudah pada posisi yang aman. Ketika masyarakat sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya, maka tidak akan ada implikasi negative yang muncul. Dengan demikian diperlukan peran negara dalam memastikan hal ini. Di akui ada beberapa mekanisme dalam sistem ekonomi Islam yang tidak akan berjalan efektif jika tidak ada campur tangan negara.
Namun perlu diingat bahwa konsep keperluan dasar Islam sifatnya tidak statis, artinya keperluan dasar pelaku ekonmomi bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat. Pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu dikonsumsi akibat motivasi keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut telah menjadi kebutuhan. Dengan demikian parameter yang membedakan definisi kebutuhan dan keinginan tidak bersifat statis, ia bergantung pada kondisi perekonomian serta ukuran kemaslahatan. Dengan standar kemaslahatan, konsumsi barang tertentu dapat saja dinilai kurang berkenan ketika sebagian besar ummat atau masyarakat dalam keadaan susah.
Dengan demikian sangat jelas terlihat bahwa perilaku ekonomi Islam tidak didominasi oleh nilai alamiah yang dimiliki oleh setiap individu. Terdapat nilai di luar diri manusia yang kemduian membentuk perlaku ekonomi. Nilai ini diyakini sebagai tuntunan utama dalam hidup dan kehidupan manusia.

Kebebasab Ekonomi Islam

PENDAHULUAN

Agama dengan ekonomi mempunyai hubungan satu dengan lainnya.Cakupan agama adalah perilaku manusia dalam semua tahap dan aspeknya.Hal ini termasuk dalam ekonomi.Telah disebutkan dalam Al-Quran dan juga hadis nabi,hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi.Ini menegaskan bahwa konsep dasar ekonomi telah dijelaskan dalam islam.Dalam islam pula telah diberi kebebasan dalam melakukan kegiatan ekonomi asal sesuai dengan Al-Quran dan Hadis.
Sejak permulaan islam di Makkah,bahkan sebelum terbentuknya masyarakat muslim di Madinah,ayat Al-Quran sudah menampilkan pandangan islam mengenai hubungan antara agama dan keimanan terhadap adanya Allah dan Hari Kiamat,disatu pihak,dan perilaku ekonomi dam system ekonomi,di pihak lain.

A.Pengertian Ekonomi Islam

Sebelum kita membahas kebebasan ekonomi dalam islam,terlebih dulu kita harus mengerti arti kebebasan, ekonomi, dan ekonomi islam itu sendiri.
Kebebasan berasal dari kata dasar bebas yang memiliki beberapa pengertian seperti lepas sama sekali, lepas dari tuntutan, tidak dikenakan hukuman, tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan dan merdeka.
Ekonomi adalah pengetahuan tentang peristiwa dan persoalan yang berkaitan dengan upaya manusia secara perseorangan, kelompok dalam memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas yang dihadapkan pada sumber yang terbatas.
Ekonomi Islam adalah sekumpulan dasar-dasar umum economic yang disimpulkan dari Al-Quran dan As-Sunah dan merupakan bangunan perekonomian yang didirikan atas dasar tersebut sesuai dengan lingkungan dan masanya.
Dalam Al-Quran dan Hadis telah dijelaskan prinsip-prinsip tentang kegiatan perekonomian yang sesuai untuk setiap saat dan tempat ataupun yang harus mengikuti perkembangan yang ada.Hal terpenting dalam ekonomi islam adalah hubungannya dengan agama islam,baik sebagai akidah maupun syariat. Berdasarkan keterangan tersebut,tidak selayaknya kita mempelajari ekonomi islam terlepas dari kaidah dan syariat islam karena system ekonomi islam merupakan bagian dari syariat dan erat hubungannya dengan akidah sebagai dasar.
Hubungan ekonomi islam dengan akidah misalnya dalam pandangan islam kepada seluruh alam yang dititahkan untuk patuh dan mengabdi kepada manusia,dan tampak pula dalam masalah halal dan haram.Hubungan ekonomi islam dengan akidah dan syariat itulah yang menyebabkan kegiatan ekonomi dalam islam berbeda dengan kegiatan ekonomi menurut sistem-sistem hasil penemuan manusia,menyebabkan memiliki sifat pengabdian dan cita-cita yang luhur,dan menyebabkan memiliki pengawasan atas pelaksanaan kegiatan ini dengan pengawasan sebenarnya.


B.Ekonomi menurut Islam
Kegiatan ekonomi menurut islam bukanlah menciptakan persaingan yang tidak sehat, monopoli, ataupun sikap mementingkan diri sendiri dengan usaha mengumpulkan semua harta kekayaan dunia dan mencegahnya dari orang lain.seperti yang terjadi dalam lingkungan sistem ekonomi penemuan manusia.Akan tetapi cita-citanya adalah merealisasikan kekayaan, kesejahteraan hidup, dan keuntungan umum bagi seluruh masyarakat disertai niat melaksanakan hak khalifah dan mematuhi perintah Allah SWT.
Konsep ekonomi menurut islam mengambil suatu kaidah terbaik antara dua pandangan yang ekstrim(kapitalis dan komunis)dan mencoba untuk membentuk keseimbangan di antara keduanya. Yang pasti berdasarkan Al-Quran dan Hadis.
Al-Quran dan Sunnah adalah sumber asasi bagi sistem keuangan islam. Islamisasi keuangan public menjadikan Al-Quran sebagai sumber pertama, sedangkan perkataan atau perbuatan yang keluar dari Rosul dianggap sebagai sumber kedua bagi keuangan public islam, entah itu perkataan atau perbuatan yang muncul dari dirinya sendiri atau dari sebagian sahabatnya dan ditetapkan Nabi melalui cara diam, atau tidak mengingkarinya.
Selama keuangan publik islam muncul dari dua sumber mendasar itu yaitu Al-Quran dan Sunnah, maka seharusnya ia bergerak dalam kerangka ajaran dari kedua sumber ini, menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan Rosul-Nya, untuk itu sumber pendapatan publiknya harus baik, dialokasikan secara benar, dan dikumpulkan dengan adil.

Dasar-dasar ekonomi islam:

1. Bertujuan untuk mencapai masyarakat yang sejahtera baik di dunia dan di akhirat,tercapainya pemuasan optimal berbagai kebutuhan baik jasmani maupun rohani secara seimbang,baik perorangan maupun masyarakat.Dan untuk itu alat pemuas dicapai secara optimal dengan pengorbanan tanpa pemborosan dan kelestarian alam tetap terjaga.
2. Hak milik perorangan diakui sebagai usaha dan kerja secara halal dan dipergunakan untuk hal-hal yang halal pula.
3. Dilarang menimbun harta benda dan menjadikannya terlantar.
4. Dalam harta benda itu terdapat hak untuk orang miskin yang selalu meminta,oleh karena itu harus dinafkahkan, sehingga dicapai pembagian rizki.
5. Pada batas tertentu,hak milik relative tersebut dikenakan zakat.
6. Perniagaan diperkenankan akan tetapi riba dilarang.
7. Tiada perbedaan suku dan keturunan dalam bekerjasama dan yang menjadi ukuran perbedaan adalah prestasi kerja.

C.Sejarah Kebebasan Ekonomi di Kalangan Umat Muslim

Sepanjang sejarah umat Muslim,kebebasan ekonomi sudah dijamin dengan berbagai tradisi masyarakat dan dengan sistem hukumnya. Nabi saw.tidak bersedia menetapkan harga-harga walaupun pada saat harga itu melambung tinggi. Ketidaksediaan itu didasarkan atas prinsip tawar-menawar secara suka rela dalam perdagangan yang tidak memungkinkan pemaksaan cara-cara tertentu agar penjual menjual barang-barang mereka dengan harga lebih rendah daripada harga pasar selama perubahan-perubahan itu disebabkan oleh faktor-faktor nyata dalam permintaan dan penawaran yang tidak dibarengi dengan dorongan-dorongan monopolik maupun monopsonik. Lebih dari itu,Nabi berusaha sungguh-sungguh untuk memperkecil kesenjangan informasi di pasar ketika beliau menolak gagasan untuk menerima para produsen pertanian sebelum mereka sampai di pasar dan mengetahui benar apa yang ada di sana. Beliau sangat tegas dalam mengatasi masalah penipuan dan monopoli,sehingga beliau menyamakan keduanya dengan dosa-dosa paling besar dan kekafiran.
Menurut Ibnu Taimiyah ,individu-individu sepenuhnya berhak menyimpan harta milik mereka,dan tidak ada seorang pun berhak mengambil semua atau sebagian daripadanya tanpa persetujuan mereka secara bebas,kecuali dalam hal-hal tertentu di mana mereka diwajibkan melepas hak-hak tersebut.

D.Kebebasan Ekonomi Menurut Islam,Tujuan dan Batas-Batasnya

Islam mengakui kebebasan ekonomi,tidak mengingakari atau mengesampingkannya seperti yang dilakukan oleh ekonomi sosialis,namun tidak melepaskannya tanpa kendali seperti yang dilakukan ekonomi kapitalis. Sikap islam sejak semula adalah adil dan lurus.
Pada saat islam mengakui kebebasan ekonomi,ia menentukan ikatan-ikatan,dengan tujuan merealisasikan dua hal:
1. Agar kegiatan ekonomi berdasarkan hukum menurut pandangan Islam.
2. Terjaminnya hak negara dalam ikut campur,baik untuk mengawasi kegiatan ekonomi terhadap individu-individu maupun untuk mengatur atau melaksanakan beberapa macam kegiatan ekonomi yang tidak mampu ditangani oleh individu-individu atau tidak mampu mengeksploitasinya dengan baik.
o Kegiatan Ekonomi harus berdasarkan Syariat
Kemerdekaan individu dalam melaksanakan kegiatan ekonomi terikat oleh kewajiban menempatkan kegiatan ini diatas hukum menurut pandangan Islam.
Setiap kegiatan ekonomi itu ada hukumnya menurut Islam,kecuali yang telah oleh nash sebagai haram. Demikian itu sesuai dengan kaidah, “Segala sesuatu pada asalnya adalah boleh.” Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah SWT :
هُوَ الَّذِ ىْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِى اْلاَرْضِِِِِِِِِِِِِِِِ جَمِيْعَا
Artinya:
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untukmu.”
Ketentuan-ketentuan tentang haramnya kegiatan ekonomi lebih sedikit jika dibandingkan dengan kegiatan ekonomi yang dibolehkan yang merupakan hukum aslinya kegiatan ekonomi.
Orang yang memperhatikan kegiatan ekonomi yang diharamkan Islam, akan berkesimpulan bahwa macam-macam yang diharamkan itu benar-benar menyimpang dari jalan fitrah yang sehat. Macam-macam kegiatan ekonomi yang diharamkan ini adakalanya terdiri atas sogokan atau penyalahgunaan pengaruh dan kekuasaan atau penipuan terhadap sesama manusia atau merampas harta mereka secara batal atau menghukumi sendiri dalam soal kebutuhan-kebutuhan pokok hidup mereka maupun menggunakan kesempatan dari kondisi mereka yang sangat fakir dan membutuhkan.
Dalam hal ini Allah berfirman:
وَلاَتَاْكُلُوْااَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِلْبَاطِلِ وَتُدْ لُوْابِهَا اِلَى اْلحُكَّامِ لِتَاْ كُلُوْا فَرِيْقَا مِنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِاْلاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batal dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.”
Dengan mengharamkan cara-cara tersebut di atas dalam kegiatan ekonomi, Islam mempunyai tiga macam tujuan, yaitu:
1. Mengapa hubungan-hubungan ekonomi manusia agar berdiri di atas landasan gotong royong saling cinta dan kasih, kejujuran dan keadilan, sebagai ganti dari saling membenci, perselisihan, penganiayaan, penipuan dengan segala akibatnya.
2. Menumbuhkan landasan tersebut di atas sebagai ganti dari penggunaan cara-cara eksploitasi yang menyebabkan manusia memperoleh harta tanpa jerih payah.
3. Menutup lubang-lubang yang akan menyebabkan terpusatnya kekayaan pada tangan beberapa individu saja. Cara-cara usaha yang dibolehkan syariat pada umumnya akan menbawa pada keuntungan yang seimbang dan logis. Adapun keuntungan-keuntungan yang mencolok dan kekayaan yang terlampau besar pada umumnya berasal dari cara-cara usaha yang berdasarkan syariat. Di balik pengharamannya Islam menerapkan cara-cara semacam ini untuk merealisasikan persesuaian antara kesempatan-kesempatan dan cara penyelesaian atas faktor-faktor terpenting, yakni hal yang sering menyebabkan hilangnya keseimbangan ekonomi dalam masyarakat.


PENUTUP
o Kesimpulan
Dari paparan makalah di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa Kebebasan Ekonomi dalam Islam diperbolehkan asal sesuai dengan Al-Quran dam Hadis. Islam tidak melarang persaingan dalam perdagangan, tapi persaingan itu harus sehat, tidak seperti ekonomi sosialis yang mengatur semua perekonomian di tangan Negara sehingga persaingan tidak ada. Namun, tidak pula mempersilakan persaingan sebebas-bebasnya atau dapat dikatakan tanpa campur tangan pemerintah seperti ekonomi kapitalis. Karena ada hal yang tidak bisa diatur oleh individu, melainkan harus di atur oleh pemerintah.
Cita-cita dari Ekonomi Islam adalah merealisasikan kekayaan, kesejahteraan hidup, dan keuntungan umum bagi seluruh manusia.
Dalam kebebasan ekonomi dalam Islam, ditentukan ikatan-ikatan dengan tujuan merealisasikan dua hal:
1. Agar kegiatan ekonomi berdasarkan hukum menurut pandangan Islam.
2. Terjaminnya hak negara dalam ikut campur,baik untuk mengawasi kegiatan ekonomi terhadap individu-individu maupun untuk mengatur atau melaksanakan beberapa macam kegiatan ekonomi yang tidak mampu ditangani oleh individu-individu atau tidak mampu mengeksploitasinya dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Assal, Ahmad Muhammad dan Karim, Fathi Ahmad Abdul. Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia. 1999.
Kahf, Monzer. Ekonomi Islam (Telaah Analitik terhadap Fungsi Ekonomi Islam). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995.
Muhammad, Qutb Ibrahim. Bagaimana Rasulullah Mengelola Ekonomi, Keuangan dan Sistem Administrasi. Jakarta: Gaung Persada Perss. 2007.
www. Google. Com. Memaknai Kebebasan. 02-04-2010.
www. Google. Com. Islam dan Ekonomi. 21-03-2010.