Rabu, 26 Januari 2011

AKAD

BAB 1
PENDAHULUAN

Dalam fiqih muamalah ada aturan-aturan atau hukum Allah SWT yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan.
Karena pada dasarnya manusia diciptakan sebagai makhluk individu dan sosial yang membutuhkan orang lain untuk memnuhi kehidupan duniawinya, dengan dapat dipertanggung jawabkan kelak di akhirat.
Di antara aktivitas manusia yang diatur dalam fiqih muamalah adalah akad, yaitu perjanjian antara sesama manusia dua atau tiga orang atau lebih. Tetapi dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak berdasarkan pada keridoan dan syari’at Islam.
Dalam makalah ini juga akan diterangkan mengenai maram akad, syarat dan rukun akad dan juga yang membatalkan akad. Yang penjelasannya akan diuraikan dalam makalah ini. Selamat membaca.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad
Akad secara bahasa berarti al-rabth (ikatan, mengikat)
لرَّبْطُ بَيْنَ اَطْرَافِ الشّىءِ سواء اَكَانَ حِسِّيًّا اَمْ مَعْنَوِ يًّا مِنْ جَانِبٍ اَوْمِنْ
جَانِيْنِ.
Artinya : “Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi”.
Bisa juga berarti العقدة (samungan) العهد dan (janji)
Pengertian lafdhiyah ini sebagaimana terdapat pada surat Al-Maidah ayat 1 :
                    •     
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”. (QS. Al-Maidah : 1).

Sedangkan akad secara istilah ditinjau dari dua segi yaitu :
1. Secara Umum
Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanbaliah :
كُلُّ مَا عَنَ مَ الهَرْءُ عَلَى فِعْلِهِ سَوَاءٌ صَدَرَبِاِرَادَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كَالْوَ فْفِ وَالاِبْرَاءِ
وَالَّطَلاَقِ وَالْيَمِيْنِ اَمْ اِحْتَاجَ إِ لَى اِرادَتَيْنِ خِالنْشَائِهِ كَااْلبَيْعِ وَاْلاِتْجَارِ وَالتَّوْ
كِيْلِ وَالرَّهْنِ .
Artinya : “Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan dan gadai”.

2. Secara Khusus
Pengertian akad secara khusus seperti dikemukakan oleh ulama Fiqih, antara lain :
اِرْتِبَاطِ اليْجَابٍ بِقَبُوْ لٍ عَلَى وَ جْهٍ مَشْرُوْعٍ يَثْبُتْ أَثْرُهُ فَى مَحَلِهِ.
Artinya : “Perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuan syara yang berdampak pada objeknya”.

تَعَلُّقُ كَلاَمٍ اَحَدِ اْلَعَاقِدِيْنَ بِا ْلاَخِرِ شَرْعًا وَجْهٍ يَظْهُرُ اَثَرُهُ فِاْلمَحَلِّ .
Artinya : “Pengertian ucapan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara syara pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya”

Dengan demikian, ijab dan qobul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’.
Akad juga mempunyai makna lain yang merupakan salah satu perbuatan atau tindakan hukum. Maksudnya akad (perikatan) tersebut menimbulkan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan akad.
Perbuatan atau tindakan hukum atas harta benda dalam fiqih muamalah dinamakan al-tasharruf, yaitu : segala sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban) al-tasharruf ini dibedakan menjadi 2 yaitu :
- Tasharruf fi’li (perbuatan) adalah usaha yang dilakukan manusia dari tenaga dan badannya. Contoh : mengelola tanah yang tandus.
- Tasharruf gauli (perkataan) adalah uasaha yang keluar dari lidah manusia. Contoh : wakaf, hibah, thalaq.
Tetapi dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak berdasarkan pada keridhaan dan syariat Islam.

B. Rukun Akad dan Syarat-Syaratnya
Menurut Fuqoha Jumhur rukun akad terdiri atas :
1. Al-Aqidain, para pihak yang terlibat langsung dengan akad.
2. Mahallul’aqd, yakni objek akad, yaitu sesuatu yang hendak diakadkan.
3. Sihgat al’aqd, yakni pernyataan kalimat akad, yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan pernyataan qobul.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, rukun abad hanya 1 yaitu Sighat Al’aqd. Adapun Al-Aqidain dan Mahallul’aqd bukan sebagai rukun akad, melainkan lebih tepat sebagai syarat akad karena keberadaannya sudah pasti. Berdasarkan pengertian di atas maka rukun akad adalah kesepakatan dua kehendak, yakni ijab dan qobul. Seorang pelaku tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatannya, karena pelaku bukan merupakan bagian internal dari perbuatannya. Syarat menurut pengertian istilah fuqaha dan ahlul ushul adalah segala sesuatu yang lain, sedangkan ia bersifat eksternal (kharijly). Maksudnya ditiadanya syarat mengharuskan tiadanya masyrut (sesuatu yang disyaratkan), sedangkan adanya syarat tidak mengharuskan adanya masyrut. Misal : kecakapan pihak yang berakad merupakan syarat yang berlaku pada setiap akad, sehingga tiada kecakapan menjadi tidak berlangsungnya akad. Adapun sebab menurut pengertian istilah fuqaha dan ahlul ushul adalah setiap peristiwa yang mana syara’ mengkaitkannya terhadap ada dan tidaknya suatu yang lain ia bersifat eksternal.
Jadi rukun, syarat dan sebab merupakan bagian yang sangat penting untuk suatu akad.
Musthafa Ahmad Al-Zarqa menawarkan istilah lain atas sejumlah hal yang dipandang sebagai rukun oleh fuqaha jumhur yaitu dengan menyebutkannya dengan istilah muqawimat aqad (unsur penegak akad) yang terdiri dari :
1. Al aqidain
2. Mahallul aqad (objek akad)
3. Maudhu’ul aqad (tujuan akad)
4. Shighat aqad (ijab dan qabul)
Dari 3 unsur yang pertama (1, 2 dan 3) dari muqawwimat al-aqd berlaku syarat-syarat umum yang harus terpenuhi dalam setiap akad yaitu :
1. Pihak-pihak yang melakukan akad (al-aqidain) harus memenuhi persyaratan kecakapan bertindak hukum (mukallaf).
2. Objek akad (mahallul aqd) dapat menerima hukum akad, artinya pada setiap akad berlaku ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan objeknya apakah dapat dikenai hukuman akad atau tidak.
3. Tujuan (maudhu al-aqd) diizinkan oleh syarat atau tidak bertentangan dengannya.
4. Akadnya sendiri harus mengandung manfaat.

Macam-macam syarat aqad adalah :
1. Syarat in’iqad
Adalah persyaratan yang berkenaan dengan berlangsungnya sebuah akad. Persyaratan ini mutlak harus dipenuhi bagi eksistensinya (keberadaan) akad. Jika tidak terpenuhi akad menjadi batal.

2. Syarat shihah (sah)
Adalah syarat yang ditetapkan oleh syara’ yang berkenaan untuk menertibkan ada atau tidaknya akibat hukum yang ditimbulkan oleh akad. Jika tidak terpenuhi akadnya menjadi rusak (fasid).
3. Syarat nafadz
Adalah persyaratan yang ditetapkan oleh syara’ berkenaan dengan berlakunya (ditangguhkan). Syarat Nafadz ada 2 : (1) milik atau wilayah, artinya orang yang melakukan akad benar-benar sebagai pemilik barang atau ia mempunyai otoritas atas objek akad. (2) objek akad harus terbebas dari hak- hak pihak ke-3.
4. Syarat Ilzam (kepastian)
Adalah persyaratan yang ditetapkan oleh syara’ berkenaan dengan kepastian sebuah akad, akad sendiri sesungguhnya sebuah Ilzam (kepastian). Jika sebuah akad belum bisa dipastikannya berlakunya seperti ada unsur tertentu yang menimbulkan hak khiyar, maka akad seperti ini dalam kondisi ghiru lazim (belum pasti), karena masing-masing pihak berhak memfasakhkan akad atau tetap melangsungkannya.

Macam-macam akad dan pengolongannya
1. Dilihat dari segi ada atau tidaknya qismah pada aqad tersebut. Dibagi menjadi :
 Uqud musammah yaitu : akad-akad yang telah ditetapkan syara dan diberikan hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, ijrah, sirkah, dan lain-lain.
 Uqud ghoiru musammah yaitu : akad-akad yang belum diberikan istilah-istilah dan belum ditetapkan hukum-hukumnya.
2. Dilihat dari segi diisyaratkannya akad atau tidaknya dibagi menjadi :
 Uqud musyara’ah yaitu akad-akad yang dibenarkan syara’ dan diizinkannya, umpamanya jual beli, jual harta yang ada harganya dan termasuk juga hibah dan rahn (gadai).
 Uqudun Mamnu’ah yaitu : akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak binatang yang masih dalam kandungan yang dalam bahasa arab dikatakan ba’i malaqih atua ba’i madlamin, yang dikenal di masa jahiliyah.
3. Dilihat dari segi sah tidaknya akad dibagi menjadi :
 Uqud Shahibah yaitu : yang cukup syarat, baik syarat-syarat yang bersifat umum, maupun syarat-syarat yang khusus, baik pada pokoknya, maupun pada cabang-cabangnya.
 Uqud fasidah, yaitu akad-akad yang cedera yang tidak sempurna yakni terdapat padanya sebagian syarat yang berpautan dengan bukan hukum pokok.
4. Dilihat dari sifat bendanya, dibagi menjadi :
 Uqud ainiyah, yakni : yang disyaratkan untuk kesempurnaannya menyerahkan barang-barang yang dilakukan akad terhadapnya. Akad ini tidaklah dipandang sempurna kecuali dengan melaksanakan apa yang diakadkan itu yakni benda yang dijual diserahkan kepada yang membeli.
 Uqud ghoiru ainiyah yaitu akad-akad yang hasil dengan semata-mata akad dilakukan.
5. Dilihat dari sifat bendanya, dibagi menjadi :
 Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu, yaitu ada saksi seperti pernikahan.
 Uqud ridhaiyah yakni : akad-akad yang tidak memerlukan upacara yang apabila terjadi persetujuan kedua belah piahak telah menghasilkan akad.
6. Dilihat kepada berlaku tidaknya akad yang dalam istilah dikatakan ini akad di bagi menjadi :
 Uqud nafizah yaitu : terlepas dari suatu penghalang sahya akad.
 Uqud mauqufah yaitu : akad-akad yang berpautan dengan persetujuan.
7. Dilihat dari hizum dan dapat difasahknnya akad dibagi menjadi :
 Aqad lazim bihhqqith tharafaini. Akad ini tidak dapat difasakh dengan jalan iqalah, yaitu aqduzziwaj. Aqduzziwaj adalah akad yang tidak dapat difasakhkan dengan jalan iqalah.
 Uqud Lazimah bihaqqi thafairini, Tetapi dapat difasakhkan dengan iqalah atas persetujuan kedua belah pihak.
 Uqudum Lazimah bihaqqi akadith mtharafaini, seperti rahn kafalah rahn dan kafalah merupakan keharusan bagi si rahin dan di kafil, tidak merupakan keharusan yang dipenuhi oleh si murtahin atau si makfullahu. Si murtahin boleh melepaskan rahn kapan saja di kehendaki.
 Uqudun lazimah bihaqqi kilath tharafaini yaitu : yang boleh ditarik kembali oleh masing-masing pihak tanpa menunggu persetujuan pihak yang ke-2.
8. Dillihat dari segi tukar menukar hak dibagi menjadi :
 Uqudun mu’awadlah yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar timbal balik
 Uqud tabarruaf yaitu akad-akad yang berdasarkan pemberian dan pertolongan.
 Uqud yang mengandung tabrru’ pada permulaan tetapi menjadi mawadlah pada akhirnya.
9. Dilihat dari harus dibayar ganti dan tidak dibagi.
 Uqud dlaman, barang yaitu : tanggung jawab pihak kedua sesudah barang itu ditermanya.
 Uqud amanah yaitu : tanggung jawab dipikul oleh yang empunya, bukan oleh yang memegang barang yaitu ida, i’arah, syurkah, dan lain-lain
 Uqud yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, dari satu segi yang mengharuskan dlaman. Dari yang lain merupakan amanah, yaitu ijarah, rahn, dan lain-lain.
10. Dilihat dari segi tujuan akad, yaitu :
 Ghayahnya tamlik
 Yang tujuannya mengokohkan kepercayaan saja (tautsig)
 Yang tujuannya menyarahkan kekuasaan.
 Yang tujuannya pemeliharaan.
11. Dilihat dari segi segera berlakunya dan terus menerus berlakunya, tidak habis pada waktu itu, dibagi menjadi :
 Uqud tauriyah yaitu : tidak habis pada waktu akad itu dibagi menjadi waktu yang lama. Pelaksanaannya hanya memerlukan sebentar waktu saja, yaitu masa terjadinya akad.
 Uqud mustamirrah yaitu akad-akad yang pelaksanaannya memerlikan waktu yang menjadi unsur asasi dalam pelaksanaannya. Karena itu akad mustamirrah ini dinamakan juga uqud zamaniyah.
12. Dilihat dari asliyah dan tabi’iyah di bagi menjadi :
 Uqud asliyah itu : segala akad yang berdiri sendiri tidak memerlukan kepada adanya sesuatu urusan lain, yaitu : jual beli, ijarah, dan lain-lain.
 Uqud tabi’iyah yaitu : segala akad yang berpautan wujudnya pada adanya sesuatu yang lain.

Pembentukan Akad
Akad dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya, seperti pada masa khiyar, terkadang dikaitkan pada masa yang akan datang, seperti pembatalan dalam sewa menyewa dan pinjam meminjam yang telah disepakati selama 5 bulan, tetapi sebelum 5 bulan telah dibatalkan.
Pada akad ghoir lazim, yang kedua pihak dapat membatalkan akad, pembatalan ini sangat jelas, seperti pada penitipan, barang, perwakilan dan lain-lain, atau yang ghoir lazim pada satu pihak dan lazim pada pihak lainnya, seperti gadai. Orang yag menerima gadai dibolehkan membatalkan akad walaupuan tanpa sepengetahuan orang yang mengadakan barang.
Adapun pembatalan pada akad lazim, terdapat dalam beberapa hal berikut a. Ketika akad rusak
b. Adanya khiyar
c. Pembetalan akad
d. Tidak mungkin melaksanakan akad
e. Masa akad berakhir.

C. KESIMPULAN
Manusia diciptakan sebagai mahkluk individu dan sosial yang membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat keduniawiannya dengan dapat dipertanggung jawabkan kelak di akhirat. Di antara aktivitas manusia yang diatur dalam fiqih muamalah adalah akad yaitu perjanjian antara sesama manusia 2 atau 3 orang atau lebih.

DAFTAR PUSTAKA

Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku, 1997, pengantar Fiqih Muamalah, Semarang :
Pustaka Rizky Putra.

A. Mas’adi, Ghufron, 2002, Fiqih Muamalah Konterkstual, Jakarta : Raja Grafindo Persada

Dewi Gemala, Wirdiyaningsih & Yeni Salma Barlinti, 2006, Hukum Perikatan islam Indonesia, Jakarta : Kencana.

Syafe’i Rachmat, 2004, Fikih Muamalah, Bandung : Pustaka Setia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar