Minggu, 09 Januari 2011

Sustainabilitas Bisnis Pedagang Muslim Ampel Surabaya

1. Latar Belakang Masalah
Agama dapat dipandang sebagai sarana untuk memahami dunia. Premis singkat dan sangat bermakna ini diyakini dan diamini oleh semua agama. Akseptabilitas agama yang demikian muncul karena karakter genuine agama yang omnipresent, yaitu agama hadir dan ikut mempengaruhi bahkan membentuk struktur sosial, budaya, ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Suatu agama, dimanapun berada, diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia, termasuk kegiatan ekonomi, sehingga hubungan antara agama dan ekonomi merupakan suatu keniscayaan.
Relasi agama dengan ekonomi akan semakin nampak bila agama dan ekonomi dipahami dengan jelas. Agama dimaknai sebagai ‘penentuan kehidupan manusia sesuai dengan ikatan antara jiwa manusia dengan Jiwa yang ghaib yang dominasinya terhadap dirinya sendiri dan dunia diketahui oleh manusia dan kepada-Nyalah dia merasa terikat’. Dalam redaksi yang lain, agama diartikan sebagai ’seperangkat kepercayaan dan aturan yang pasti untuk membimbing manusia dalam tindakannya terhadap Tuhan, orang lain, dan terhadap dirinya sendiri’. Dua definisi ini menunjukkan bahwa bagian dari cakupan agama adalah perilaku manusia dalam semua tahap dan dimensinya. Sedangkan ekonomi, secara umum, dimaknai sebagai ’kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi’. Ini berarti bahwa bidang garapan ekonomi adalah salah satu sektor dalam perilaku manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan demikian, agama dan ekonomi merefleksikan suatu hubungan bahwa agama membahas tatanan dari cakupan yang disebut belakangan.
Setiap agama memiliki ajaran sendiri mengenai cara manusia mengorganisasikan kegiatan-kegiatan ekonominya. Etika, dalam perilaku dan tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat merujuk kitab Injil (Bible), etika ekonomi Yahudi merujuk kitab Taurat, dan etika ekonomi Islam dimuat dalam al-Qur’an. Jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat kapitalisme, maka etika bisnis Islam tidak memiliki afinitas dengan kapitalisme maupun sosialisme, akan tetapi menekankan empat sifat sekaligus; kesatuan (unity), keseimbangan (equilibrium), kebebasan (free will), dan tanggung jawab (responsibility). Dalam sejarah, kelahiran Islam merefleksikan sebuah reformasi terhadap keangkuhan sistem peradaban masyarakat jahiliyah. Bukti keangkuhan, kala itu, dapat dilihat dari perlakuan yang tidak fair terhadap perempuan, penindasan terhadap suku dan klan yang kecil, peminggiran kaum miskin, pemusatan kekuasaan pada kaum aristokrat, ketimpangan ekonomi, dan lain-lain. Ikrar ‘la> ila>ha’ dalam syahadat dengan tegas merefleksikan penegasian terhadap kekuatan hegemonik dan kuasa semu yang membelenggu manusia, baik dalam berfikir, bersikap ataupun berbuat, untuk selanjutnya hanya mengakui satu kekuatan sejati, ‘illa> Alla>h’, berhak diikuti, ditaati, dan disembah.
Konsekuensi ontologis dari paradigma syahadat ini adalah bahwa seseorang seharusnya mampu melakukan pembongkaran dan pembebasan dari sistem kuasa semu beserta jaringannya untuk kemudian memberikan realitas alternatif dengan seperangkat jaringan kuasa ilahi yang mengikatnya dalam semua sistem hidupnya. Dengan cara demikian, realitas alternatif selain dapat memberikan arah, motiovasi dan kemudian tumbuh kesadaran secara penuh untuk patuh, tunduk dan menjalankan kuasa ilahi, juga seseorang diharapkan mampu merasakan kehadiran Allah dalam semua dimensi ruang dan waktu. Itulah nilai Islam yang semestinya inheren dalam kehidupan umat Islam dalam berbagai dimensi, termasuk dalam dunia bisnis. Nilai etik Islam yang melekat dalam bisnis disebut dengan etika bisnis Islam. Umat Islam yang taat akan menjalankan bisnisnya dalam kerangka etika bisnis Islam. Jika bisnis Muslim digerakkan dalam bingkai etika bisnis Islam dan etika bisnis Islam menstimulus etos bisnis, maka kesuksesan bisnis sulit bisa dihindari.
Secara faktual, umat Islam Indonesia memiliki naluri bisnis yang tinggi. Temuan para pakar menunjukkan bahwa para ‘santri’, sebuah identitas bagi kalangan Muslim yang taat dan menjunjung nilai keislaman, memiliki semangat dan gairah yang tinggi untuk terjun dalam dunia bisnis sebagaimana yang diajarkan para pedagang Muslim penyebar agama Islam. Tradisi bisnis Islam yang kondusif dan menempatkan pedagang yang jujur pada posisi terhormat mendorong semangat bisnis bagi umatnya. Motivasi semangat berbisnis merupakan wujud kepedulian Islam untuk membangun keberhasilan ekonomi umatnya. Kepedulian Islam, melalui sumber asasinya al-Qur’an, berkali-kali mendesak manusia untuk bekerja.
Desakan al-Qur’an bukan tanpa insentif melainkan semua insentif yang ada diperuntukkan untuk manusia agar dia terlibat dalam semua aktifitas yang produktif. Muslim yang taat selalu apresiatif terhadap perintahnya. Apresiasi umat Islam, dalam konteks bisnis, akan membangun dua realitas, realitas kewirausahaan dan realitas keberhasilan. Kewirausahaan, oleh beberapa ekonom, dianggap sebagai kunci keberhasilan ekonomi. Menurut Schumpeter, keberhasilan ekonomi ditentukan oleh fungsi dinamis kewirausahaan. Ketika fungsi dinamis ini dimaknai Schumpeter dengan arti inovasi, maka berarti bahwa para pengusaha hendaknya menjalankan bisnisnya melalui kombinasi berbagai faktor produksi pada waktu dan tempat yang tepat untuk memproduksi sejumlah barang dan jasa yang benar dengan menggunakan teknologi yang benar pula. Karenanya, umat Islam yang taat kemudian diklaim sebagai pioner kewirausahaan bahkan mereka diidentikkan dengan kelas pedagang (orang pasar), dan wajar jika daerah-daerah Muslim selalu menjadi konsentrasi perdagangan dan industri, seperti Pekajangan, Laweyan, dan Bekonang.
Masyarakat Muslim di enclave ini dikenal luas sebagai masyarakat yang memiliki gairah bisnis yang tinggi. Pengusaha Muslim adalah mereka yang dipengaruhi oleh etos kerja Islam yang hidup di lingkungan di mana mereka bekerja. M. Dawam Rahardjo melihat etos yang sama pada suku-suku bangsa Indonesia yang kuat pengaruh Islamnya. Tingginya etos kewirausahaan tersebut membuat suatu pandangan bahwa Muslim yang taat memiliki jiwa bisnis yang tinggi dan melebihi kelompok manapun. Berbagai industri dan perdagangan mereka kuasai. Keberhasilan ekonomi mereka raih. Namun, berbagai pandangan ternodai ketika bisnis mereka mulai menyentuh titik kelesuan. Pada titik inilah, muncul pertanyaan, adakah mereka keliru menarik kesimpulan, atau kesimpulannya memang benar, namun kelesuan itu terjadi karena adanya kompetitor bisnis baru yang jauh lebih besar bahkan diklaim sebagai suatu entitas sentra bisnis. Memang, dalam logika ekonomi, suatu bisnis kecil akan melemah bahkan bisa hancur setelah bisnis besar lahir dan melingkupinya.
Fenomena di atas berbeda dengan yang terjadi di Ampel. Kelesuan bisnis pedagang Muslim di Ampel justru tidak terjadi, ‘tetap berhasil’, sekalipun sentra-sentra bisnis, seperti Pabean, Kapasan, dan Jembatan Merah Plaza, hadir di sekitar kawasan Ampel. Kebertahanan dalam keberhasilan, yang kemudian disebut dengan sustainabilitas, bisa dilihat secara nyata dalam kehidupan bisnis mereka. Dari tahun ke tahun, bahkan turun-temurun dalam beberapa generasi, roda perdagangan berputar secara normal. Normalitas perekonomian mereka merupakan salah satu indikator bahwa bisnis mereka tetap berhasil. Modal bisnis mereka bersifat mandiri dan tidak tergantung pada modal dari pemerintah dan pihak lainnya. Omzet harian bervariasi, mulai dari jutaan sampai dengan puluhan juta rupiah. Kisaran omzet yang variatif dan terus stabil, dalam arti tidak menurun, secara nyata juga mengindikasikan sustainabilitas bisnis mereka. Bisnis yang berhasil dan terus berhasil, menurut Zubaidi, karena dikelola secara sungguh-sungguh dan kerja keras yang dibingkai dengan etika yang benar. Etika bisnis yang benar dipahami Zubaidi sebagai suatu etika bisnis yang berbasis Islam. Sehingga, etos kerja dan etika bisnis Islam merupakan dua unsur senyawa pembentuk keberhasilan.
Sementara, bagi Zain, selain dua unsur di atas, unsur lain yang membentuknya adalah a) jenis produk yang dibisniskan lebih bersifat produk islami. Jenis produk ini dipilih untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat yang mayoritas beragama Islam, b) kegiatan bisnis dijalankan secara islami, c) business net dibangun atas dasar saling percaya, saling menguntungkan, dan saling bertanggung jawab, dan d) dalam berbisnis, persaingan antar pedagang merupakan suatu keniscayaan. Persaingan bisnis antar pedagang Ampel mewujud sebagai upaya mencari keuntungan. Namun, persaingan tidak menimbulkan konflik antar pedagang, tidak berusaha untuk menghancurkan satu sama lain, tetapi lebih sebagai upaya motivasi. Persaingan tidak menimbulkan konflik, karena persaingan dalam perdagangan didasarkan pada satu titik kekuatan pemersatu, yaitu agama. Agama, dalam konteks ini Islam, yang berarti kedamaian (sala>m) menjadi kerangka acuan persaingan yang tetap mengusung kedamaian. Karenanya, kedamaian adalah kunci yang selalu mengendalikan persaingan bisnis.
Dengan demikian, sustainabilitas bisnis pedagang Muslim wilayah Ampel, di satu sisi cenderung memperkuat suatu pandangan bahwa keberhasilan ekonomi dikonstruk oleh etos kerja pedagang yang bersumber dari etika bisnis Islam (doktrin agama), sementara di sisi lain, kecenderungan ini juga masih perlu dikaji kembali karena ada kemungkinan faktor lain yang mengkonstruknya. Oleh karena itu, yang menjadi kegelisahan akademik penulis terformulasi dalam beberapa pertanyaan yang tertuang dalam rumusan masalah berikut.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang muncul dalam penelitian ini meliputi:
2.1. Mengapa bisnis pedagang Muslim Ampel Surabaya dapat bertahan (sustainable) dalam keberhasilan?
2.2. Faktor-faktor apa yang mengkonstruk sustainabilitas bisnis pedagang Muslim Ampel Surabaya?
3. Tujuan Penelitian
Bertolak dari rumusan masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
3.1. Memahami secara mendalam mengapa bisnis pedagang Muslim Ampel Surabaya mampu bertahan (sustainable) dalam keberhasilan; dan
3.2. Memahami secara mendalam berbagai faktor yang mampu mengkonstruk sustainabilitas bisnis pedagang Muslim Ampel Surabaya.
4. Manfaat Penelitian
Secara empiris hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada berbagai pihak akan pentingnya suatu bisnis, tertutama, tentang alasan mengapa bisnis pedagang Muslim Ampel bisa sustain. Padahal jika dilihat dari aspek kompetitifnya yang tidak seimbang, maka bisnis pedagang Muslim Ampel sangat absurd untuk bisa bertahan. Memang faktor yang mengkonstruk sustainabilitas belum tentu mencerminkan kepatuhan bisnis terhadap prinsip-prinsip Islam, namun, menemukan dan mengungkap aneka faktor sangat penting bahkan bisa menjadi dasar pertimbangan berbagai pihak.
Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat mempertegas bahwa etika bisnis Islam (agama) merupakan salah satu sumber kekuatan etos kerja yang memotivasi kemajuan ekonomi melalui berbagai aktifitas bisnis, bahkan sebagai kontra justifikasi terhadap suatu tesa bahwa Islam adalah agama prajurit, anti keduniawian dan berbagai stigma miring lainnya.
5. Batasan Penelitian
Penelitian ini sengaja dibatasi untuk komunitas pedagang Muslim kawasan Ampel agar hasilnya lebih fokus dan lebih mendalam dalam menangkap substansi setiap fenomena yang diteliti. Batasan penelitian ini mencakup dua aspek, pertama, dilihat dari aspek subyek penelitian, penelitian ini dibatasi pada pedagang Muslim yang secara ajeg melakukan bisnis di wilayah Ampel. Pemilihan Ampel sebagai locus penelitian karena Ampel merupakan sebuah lokasi yang terletak di kawasan makam Sunan Ampel yang dipandang oleh mayoritas Muslim lokal (bahkan regional maupun nasional) sebagai salah satu simbol sakralitas keagamaan. Anggapan masyarakat yang demikian cenderung melahirkan dugaan bahwa sustainabilitas bisnis itu dipengaruhi oleh kearifan lokal, oleh karenanya, kecenderungan tersebut perlu dikaji untuk memperoleh kebenaran akademik yang pasti (atau mendekati kepastian), dan kedua, kegiatan bisnis dibatasi pada bisnis berskala kecil, karena bisnis ini dinilai cukup bertahan dalam keberhasilan, walaupun sangat kental dengan nuansa kompetitifnya yang tidak sebanding dengan pusat-pusat bisnis sekitarnya.
6. Kajian Pustaka
Dalam realitas ekonomi, penelitian tentang bisnis dengan berbagai variannya telah banyak menarik minat kalangan akademisi. Keragaman kajian penelitian terdahulu akan memberikan kejelasan dan keberbedaan kajian dengan posisi penelitian penulis. Kejelasan dan keberbedaan itu dapat dipahami dari beberapa hasil penelitian. Dalam penelitiannya, Mirjam van Praag menganalisa kebertahanan bisnis di antara pemilik-pemilik bisnis kecil di Amerika Serikat. Ada dua istilah penting ketika Praag menilik kesuksesan bisnis mereka. Dua istilah compulsory exits dan voluntary exits memberikan definisi yang jelas untuk melihat kesuksesan suatu bisnis. Semakin lama dia bertahan dan dapat menjaga involuntary exits, maka dialah yang lebih sukses. Sehingga di akhir kajiannya ia menyimpulkan bahwa keberhasilan dipengaruhi oleh karakter pemilik bisnis kecil dan kondisi bisnisnya. Karakter compulsory yang merefleksikan semangat kerja membuat bisnis mereka bertahan dalam keberhasilan.
Kebertahanan bisnis (perusahaan) juga telah diteliti oleh E. Cefis dan O. Marsili. Dalam A Matter of Life and Death: Innovation and Firm Survival, mereka menguji pengaruh inovasi terhadap kebertahanan perusahaan manufaktur di Netherlands. Demografi perusahaan yang terkait dengan performansi inovatif dan jenis inovasinya dilacak dengan menggunakan populasi seluruh perusahaan yang aktif dan tercatat dalam Business Register dan Community Innovation Survey. Melalui estimasi model parametric duration, peneliti menilai bahwa perusahaan-perusahaan tersebut memberikan keuntungan yang mampu memperluas harapan kebertahanannya. Inovasi proses tanpak memiliki pengaruh yang berbeda terhadap survivalitas. Sektor teknologi yang tinggi, karenanya, merupakan sarana yang mengkonstruk kebertahanan bisnis (perusahaan).
Dua penelitian di atas melahirkan temuan yang berbeda. Dalam penelitian yang pertama, kebertahanan bisnis lebih disebabkan oleh semangat kerja yang ditimbulkan oleh faktor compulsory, sedangkan dalam penelitian yang kedua, keberhasilan justru dikonstruk oleh adanya inovasi, yang dalam konteks ini, adalah keberadaan teknologi yang tinggi. Perbedaan tidak hanya mewujud dalam dua penelitian tersebut, tetapi juga mewujud dalam penelitian Mohammad Sobary. Keberhasilan dibangun oleh adanya relasi antara etos kerja dan ajaran Islam. Penelitian yang berjudul Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi dilakukan karena dilatari oleh realitas kehidupan pedesaan setelah lenyapnya perekonomian berbasis pertanian akibat (digusur oleh) proyek industrialisasi, dan munculnya kegiatan komersial sebagai alternatif untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, penelitian Muhammad Sobary ini membidik sektor informal di Suralaya sebagai wilayah yang terkena dampak perkembangan industrialisasi kota Jakarta. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menjelaskan pola kehidupan desa setelah mundurnya perekonomian berbasis pertanian dan munculnya kegiatan perdagangan terutama pedagang kecil, pengemudi ojek, dan bengkel.
Dalam temuannya, Islam membentuk etika yang sepadan dengan etika Protestan dalam diri penduduk desa. Hubungan erat antara Islam dengan perdagangan (secara historis Islam tidak bisa dipisahkan dari perdagangan dan sebaliknya) juga tergambar dalam kehidupan desa. Penduduk desa di Suralaya memiliki semangat kapitalisme. Dengan demikian, jika dilihat dari dua variabel dalam topik, yaitu kesalehan dan tingkah laku ekonomi, maka Sobary telah berhasil melahirkan suatu tesa bahwa Islam mampu membangun etos kerja atau semangat kapitalisme. Walaupun secara khusus tidak mengkaji bagaimana etos kerja itu dalam menghadapi persaingan dan memperlakukan konsumen dilihat dari perspektif Islam, namun Sobary telah membuka wawasan bahwa bagaimanapun ada korelasi antara agama dan perilaku ekonomi, sehingga karya itu perlu diapresiasi sebagai pengayaan khazanah pemikiran ekonomi dari perspektif Islam di Indonesia.
Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Nanat Fatah Nasir. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pola Pemahaman Etika Kerja Islam terhadap Tingkah Laku Kewirausahaan (Suatu Studi di Kalangan Pimpinan dan Buruh Perusahaan Muslim di Tasikmalaya Jawa Barat) menggunakan pendekatan kuantitatif. Kesimpulan yang terkonstruk dalam penenlitian ini adalah bahwa pola pemahaman seorang Muslim terhadap etika kerja Islam mengarah pada dua kecenderungan pemikiran, Qadariyah dan Jabariyah. Yang berpola pemikiran Qadariyah (dianut oleh pengusaha) menyatakan bahwa keberhasilan ekonomi ditentukan oleh upaya manusia, tidak semata-mata oleh Allah. Sebaliknya, yang berpola pemikiran Jabariyah (banyak dianut oleh kaum buruh) menyatakan bahwa keberhasilan ekonomi semata-mata ditentukan oleh Allah, yang berarti, kekuatan dan upaya manusia tidak banyak berperan.
Begitu juga penelitian Muhammad Nilam dan Edy Yuwono Slamet. Walaupun penelitian Nilam dan Slamet tidak fokus pada aspek etos kerja serta aplikasinya dalam menghadapi arus persaingan dan bagaimana memperlakukan konsumen dalam bisnis dalam perspektif etika bisnis Islam, namun keduanya sama-sama mengupas kerja keras sebagai karakteristik etnis Madura. Bagi Nilam, kerja keras merupakan karakteristik orang Madura yang dipengaruhi oleh keadaan alam dan pendidikan agama, sedangkan bagi Slamet, hidup keras, tidak pernah lelah dan tidak mengenal waktu merupakan ciri khas orang Madura. Keadaan geografis dan pendidikan agama ditengarai sebagai faktor yang ikut membentuk kehidupan mereka.
Kemudian pada tahun 2006 penelitian sejenis juga dilakukan oleh Muhammad Jakfar. Penelitian Jakfar yang berjudul Agama, Etos Kerja dan Perilaku Bisnis, secara spesifik, mengkaji makna etika bisnis pedagang buah etnis Madura di kota Malang. Dalam penelitian Jakfar, ada tiga aspek yang dikaji, yaitu makna etika bisnis, bagaimana pelaku membangun etika, dan bagaimana implementasi etika dalam aktifitas bisnis. Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini menghasilkan kesimpulan bahwa dalam memahami makna etika, ada dua kelompok yang berbeda, kelompok kasus pancengan dan bukan pancengan. Bagi pelaku kasus pancengan, etika tetap merupakan nilai yang harus dihormati, tetapi tidak perlu masuk dalam wilayah bisnis. Karenanya mereka berani menabrak nilai etik. Sebaliknya pelaku yang tidak mau terlibat dalam kasus pancengan (kelompok jujur), etika merupakan prasyarat untuk memperoleh harta yang halal dan barakah.
Dengan demikian, etika dan bisnis tidak dapat dipisahkan. Adapun konstruk makna etika dihasilkan dari dialektika antara nilai kultur dan agama. Kultur yang dimaksud adalah kultur asal, ‘kultur ke-Madura-an’, dimana pelaku dilahirkan, di samping kultur lokal, dimana pelaku sedang berdomisili. Sedangkan nilai agama adalah nilai yang bersumber dari agama yang mereka yakini, Islam. Kemudian mengenai implementasinya, dipahami bahwa yang berkaitan dengan hubungan antar pedagang terbangun kebersamaan, kepedulian, kedaerahan, dan karena perkawinan. Sedangkan yang berkaitan dengan pelayanan terhadap konsumen, di kalangan pelaku kasus pancengan rawan manipulasi dalam hal mutu barang, harga dan timbangan, yang disebabkan karena ambisi meraih keuntungan, transaksi dengan tawar-menawar, komoditas dagangan yang penuh resiko dan tuntutan pembeli yang tinggi. Menurut mereka, bisnis adalah bisnis. Bagi pelaku di luar kasus pancengan (jujur) mereka selalu berupaya menghindari manipulasi, minimal mereduksi penyimpangan nilai.
Dari beberapa penelitian tersebut, ditemukan titik singgung bahwa penelitian mereka berkesimpulan sama, kecuali temuan dari dua penelitian pertama dan temuan Jakfar untuk kasus pancengan, sekalipun dengan pendekatan yang berbeda, yaitu ada relasi antara ajaran agama, dalam hal ini Islam, dengan etos kerja dalam berekonomi. Dalam konteks ini, jika dikaitkan dengan rencana kajian penulis, maka posisi penelitian penulis mencirikan keberbedaan dari penelitian terdahulu dalam aspek; mengapa bisnis pedagang Muslim Ampel Surabaya dapat bertahan dalam keberhasilan, padahal bisnis dalam wilayah itu sarat dengan persaingan yang tidak seimbang, terutama sejak sentra-sentra bisnis mulai hadir dan mengitarinya, dan apakah sustainabilitas bisnis mereka disebabkan oleh etos kerja yang bersumber pada etika bisnis Islam, ataukah dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Dengan demikian, bertolak pada berbagai persoalan yang relatif berbeda itu, maka penelitian ini menjadi sangat urgen untuk dikaji secara ilmiah dan mendalam.
7. Kerangka Teori
Dalam literatur bisnis, kesuksesan binis kecil didefinisikan dengan aneka ragam makna. Dalam pengertian yang sederhana, kesuksesan bisnis kecil bisa dimaknai sebagai suatu kemampuan untuk bertahan atau tetap dalam bisnis. Sejumlah peneliti menggunakan kriteria yang didasarkan pada analisis finansial, seperti pasar bursa, pertumbuhan penjualan, keuntungan, cash flow, untuk mendefinisikan kesuksesan bisniss kecil. Kriteria ini, walaupun merupakan ukuran yang tepat untuk mengukur kesuksesan dari perusahaan-perusahaan besar, tidak sepenuhnya dapat diterapkan untuk entitas bisnis yang kecil. Jennings dan Beaver menyatakan bahwa atribut kesuksesan dan kegagalan yang dilekatkan pada bisnis kecil sangat kompleks. Sekalipun tidak menolak kriteria individual yang digunakan dalam penelitian tersebut, Jennings dan Beaver berpandangan bahwa banyak kriteria yang dipandang sederhana dan menunjukkan gejala dari pada faktor-faktor yang mengkonstruk kesuksesan bisnis kecil yang harus merefleksikan perspektif stakeholder, sehingga kriteria sukses dapat mencerminkan keterpenuhan berdasarkan pandangan pelaku bisnis.
Jadi, sejumlah kajian telah menyebutkan ragam faktor yang membangun kesuksesan bisnis kecil. Faktor-faktor ini mencakup komitmen terhadap layanan dan kualitas, dedikasi, kerja keras, potensi pertumbuhan, inovasi, menekankan kualitas, menerapkan efisiensi ; latar belakang dan pengalaman yang relevan, fleksibiltas dalam operasional, ketersediaan tenaga kerja, memiliki keuntungan yang kompetitif ; produk dan jasa yang berkualitas tinggi, respons terhadap selera dan kebutuhan konsumen, setia berbisnis, semangat karyawan, hubungan yang baik antara manajemen dengan karyawan. Menyikapi persoalan di atas, Luk membagi faktor kesuksesan ke dalam tiga kategori, pertama, faktor personal, kedua, faktor manajerial, dan ketiga, faktor produk, pasar dan perusahaan, yang kemudian dikombinasikan menjadi dua kategori, yaitu; faktor internal dan eksternal. Ia menyimpulkan bahwa keahlian mengambil keputusan, keahlian interpersonal yang baik, dan pengalaman kerja yang relevan sering ditemukan sebagai faktor keberhasilan. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, dalam temuannya, Luk mengatakan bahwa pendidikan, pengalaman training, dan koneksi bisnis sangat signifikan membangun keberhasilan bisnis. Oleh karena itu, sulit untuk menentukan kesuksesan atau kegagalan bagi bisnis kecil dengan menggunakan seperangkat faktor yang berlaku secara universal. Banyak ukuran kinerja keberhasilan yang umum digunakan untuk mengukur keberhasilan perusahaan besar, namun tidak cocok untuk ukuran bisnis kecil, apalagi bisnis kecil yang sarat dengan nilai-nilai keislaman.
Keberhasilan suatu bisnis sangat absurd untuk dilepaskan sama sekali dengan etos kerja, terutama yang bersumber dari doktrin agama. Etos kerja adalah sebuah dorongan terhadap suatu bangsa yang berasal dari sesuatu yang transendental dan fundamental yang dianggap sebagai segala bentuk manifestasi dari daya kreasi manusia yang bertitik pangkal pada titik ketuhanan, yang nampak dalam etika. Karena etos kerja merupakan sesuatu yang fundamental dalam kehidupan manusia, maka ia tidak hanya bertumpu pada kualitas pendidikan, tetapi juga berhubungan erat dengan inner life yang bersumber dari pancaran keimanan. Jika etos kerja berangkat dari doktrin agama, sedangkan agama merupakan suatu sistem dalam kehidupan, maka etos kerja merupakan realisasi dari keyakinannya terhadap ajaran agamanya. Etos kerja hadir sebagai suatu kekuatan batin yang akan membuat seseorang tahan banting, tidak kenal menyerah dan senantiasa berusaha keras. Doktrin agama yang mewarnai bahkan menjadi sumber etik dalam dunia bisnis merupakan sebuah kendali yang memandu perjalanan bisnis. Berhasil tidaknya suatu bisnis akan tergantung pada sejauhmana pelaku ekonomi mampu menjalankan bisnisnya dalam kerangka etika agama.
Bisnis, sebagai obyek manusia, sulit lepas dari etika yang inheren dalam diri manusia, karena manusia, secara esensial, merupakan umat yang beretika dan bermoral. Paradigma ini kemudian membingkai perilaku manusia dalam berbagai kegiatan bisnisnya dengan bingkai etika. Dalam konteks inilah, etika bisnis menjadi sebuah kerangka yang harus melekat dalam dunia bisnis ketika suatu bisnis diniscayakan mampu mewujud dalam suatu keberhasilan. Keberhasilan, atau dalam karya Munrokhim disebut sebagai kesejahteraan, harus didasarkan pada suatu pandangan yang komprehensif tentang suatu kehidupan. Kesejahteraan menurut ajaran Islam menyentuh dua realitas makna; pertama, kesejahteraan holistik dan seimbang, yakni kecukupan materi yang didukung oleh terpenuhinya kebutuhan spiritual serta mencakup individu dan sosial. Sosok manusia terdiri dari unsur fisik dan jiwa, oleh karenanya, kebahagiaan haruslah menyeluruh dan seimbang di antara keduanya. Demikian juga manusia memiliki dimensi individual sekaligus sosial. Manusia akan merasa bahagia jika terdapat keseimbangan antara dirinya dengan lingkungan sosialnya, dan kedua, kesejahteraan di dunia dan di akhirat, sebab manusia tidak hanya hidup di alam dunia saja, tetapi juga di alam akhirat. Kecukupan materi di dunia ditujukan dalam rangka memperoleh kecukupan di akhirat. Jika kondisi ideal ini dapat dicapai, maka kesejahteraan di akhirat tentu lebih diutamakan, sebab ia merupakan suatu kehidupan yang abadi dan lebih bernilai dibandingkan kehidupan di dunia.
Kedua makna kesejahteraan tersebut mencerminkan keterlibatan kerangka etika Islam yang harus melekat dalam setiap kegiatan bisnis manusia. Setiap kegiatan manusia di dunia memang diberi kebebasan, namun bukan berarti bebas tanpa batas, tetapi dibatasi oleh norma-norma agama. Norma agama dalam bisnis Islam dikenal dengan etika bisnis Islam. Di sini, peran etika bisnis Islam sangat urgen karena sangat menentukan suatu keberhasilan yang dicita-citakan Islam. Islam mengajarkan bahwa untuk mencapai keberhasilan, manusia harus menyadari hakikat keberadaannya di dunia, mengapa manusia diciptakan. Manusia tercipta karena kehendak Pencipta, sehingga manusia akan menuai keberhasilan jika ia mengikuti petunjuk sang Pencipta. Dalam konteks bisnis, etika bisnis Islam merupakan suatu etika yang bersumber pada kehendak Pencipta.
Oleh karena itu, beberapa prinsip etika bisnis yang digariskan Islam merupakan prasyarat untuk membagun keberhasilan di dunia dan di akhirat. Prinsip-prinsip itu mencakup; pertama, jujur dalam takaran, kedua, menjual barang yang mutunya baik, ketiga, dilarang menggunakan sumpah palsu, keempat, longgar dan bermurah hati, kelima, membangun hubungan baik antar kolega, keenam, tertib adminstrasi, dan ketujuh, menetapkan harga secara transparan. Doktrin agama yang tercermin dalam beberapa prinsip dasar etika bisnis yang demikian, sacara nyata, berbengaruh terhadap konstruksi keberhasilan ekonomi. Pengaruh agama tidak hanya diyakini dalam Islam dan umat Islam, tetapi juga diamini oleh para ekonom Barat.
Pengaruh agama terhadap kehidupan ekonomi, bagi Kenneth E. Boulding, sangat tinggi. Agama turut mempengaruhi pengambilan keputusan mengenai jenis komoditi yang diproduksi, terbentuknya kelembagaan ekonomi, dan perilaku ekonomi. Pakar ekonomi Arthur W. Lewis juga ambil bagian ketika berbicara masalah ini. Dalam Theory of Economic Growth, Lewis memandang bahwa faktor agama berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi (keberhasilan) sebatas sikap keagamaan sejalan dengan idealisme keberhasilan ekonomi. Tingkat kesesuaian antara agama dan keberhasilan ekonomi perlu dinilai dengan melihat bagaimana pandangan keagamaan mendukung atau menghambat realisasi nilai-nilai yang diperlukan dalam keberhasilan ekonomi.
Motivasi agama terhadap etos kerja yang tinggi (kerja keras), kata Lewis, merupakan elemen yang sejalan dengan idealitas keberhasilan ekonomi. Secara obyektif, keberhasilan ekonomi menghendaki dari manusia kesediaan untuk mencurahkan pikiran mereka kepada peningkatan produktifitas, yang hanya bisa dicapai dengan sikap kerja keras dan disiplin. Keberhasilan ekonomi juga menghendaki kemauan untuk melakukan eksperimen yang memerlukan dukungan sikap dan kepercayaan terhadap rasionalitas bahkan juga dipengaruhi bagaimana sikap manusia terhadap alam yang sering dipandang suci atau mengandung kekuatan spiritual. Karenanya, bagi Lewis, agama suatu masyarakat bisa menghambat atau mendukung keberhasilan ekonomi. Sekalipun demikian, karena agama selalu diinterpretasikan kembali, maka teologi dapat menyesuaikan diri, walaupun pada segi-segi tertentu yang berkaitan dengan masalah ekonomi, tetap juga bertahan. Dengan demikian, berbagai pandangan di atas memperkuat adanya hubungan antara agama, etos kerja dan keberhasilan ekonomi.
Keberhasilan dan etos kerja laiknya dua entitas yang senyawa dan sulit dipisahkan. Etos kerja sangat signifikan mengkosntruk suatu keberhasilan. Berbagai penelitian mengamini persoalan ini. Kelekatan dua elemen yang demikian bahkan ditopang oleh suatu fakta empirik. Ketika Sobary melihat masyarakat Muslim Jawa Barat, ia menemukan adanya hubungan kuat antara agama, dalam konteks ini Islam, dengan keberhasilan ekonomi. Dalam masyarakat Jawa Barat terjadi polarisasi, yaitu masyarakat pedesaan (asli), dan urban (pendatang). Masyarakat desa, sebagai penduduk asli, adalah gambaran masyarakat yang terpinggirkan oleh sistem pembangunan kekuasaan (orde baru), sehingga mereka harus legowo berkutat pada sektor informal dan tetap bertahan pada Islam tradisional sebagai dasar kehidupannya. Sementara masyarakat urban adalah corak masyarakat yang berkuasa dalam wilayah perdagangan dan tidak terpinggirkan, oleh karena mereka bermodal kuat dan berpaham modernis-progresif. Etos kerja tampaknya sudah menjadi elemen senyawa dalam kehidupan masyarakat yang berpaham modernis. Dengan demikian, hubungan relasional antara agama dan etos kerja memotivasi kuat keberhasilan ekonomi masyarakat.
Semangat kapitalisme yang dibangun Islam juga dibuktikan oleh Zamakhsyari Dhofir. Ia mengatakan bahwa kehidupan pesantren ditandai oleh suatu tipe etika (etos) dan tingkah laku kehidupan ekonomi yang bersifat agresif, penuh watak kewiraswastaan dan menganut paham kebebasan berusaha. Dari watak tingkah laku ekonomi seperti itulah banyak lulusan pesantren yang menjadi pengusaha (pedagang). Keabsahan pandangan Dhofir akhir-akhir ini semakin diperkuat oleh bukti-bukti nyata adanya semangat ekonomi kalangan pesantren di Indonesia. Secara institusional, antara lain, bisa dicermati bagaimana perkembangan bisnis kaum santri. Wajar jika kaum santri banyak terjun dalam dunia bisnis dan berhasil, karena agama mereka adalah agama kaum dagang. Dalam konteks ini, menurut W. Montgomery Watt, agama Islam pertama-tama dan utama adalah agama para pedagang, bukan agama gurun pasir serta bukan pula agama para petani. Monoteisme Islam yang kuat sangat berkaitan dengan pengalaman ketidakberartian manusia di tengah kegersangan gurun pasir, telah dipopulerkan pada abad ke19 oleh Ernest Renan. Orang-orang yang pertama kali menjadi Muslim bukanlah orang-orang Badui yang hidup di gurun pasir, melainkan orang-orang yang berasal dari pusat perdagangan di Mekkah dan tanah subur pertanian di Madinah.
Walaupun semangat beretos kerja dimotivasi oleh ajaran agama, namun juga harus diakui bahwa etos kerja, secara faktual, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain, seperti letak geografis, ras, budaya, psikologis dan lain sebagainya. Pengaruh berbagai faktor ini dapat dilihat dalam tulisan Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso yang berjudul Teori Kebutuhan Berprestasi Versi al-Qur’an. Ada lima faktor penyebab yang dikemukakan dalam tulisan ini. Pertama, teori yang menyatakan bahwa negara yang lokasinya di daerah subtropik mempunyai iklim yang merangsang para warga negara untuk bekerja lebih giat, kedua, faktor ras sebagai penyebab terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi. Artinya, orang-orang dari ras tertentu lebih energik dan lebih cerdas dari pada orang-orang ras lainnya, ketiga, faktor penyebaran budaya. Menurut konsep ini, terjadinya pertumbuhan ekonomi yang cepat disebabkan adanya keterbukaan suatu bangsa untuk menerima penemuan-penemuan baru dari bangsa lain, keempat, teori kebutuhan untuk berprestasi yang dikemukakan oleh David C. McCelland. Menurut teori ini, kemajuan ekonomi suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh sejauh mana masyarakatnya memiliki virus mental yang disebutnya virus an sich. Orang yang memiliki virus ini dalam kadar yang tinggi akan memiliki sifat rajin bekerja keras, kalau mengerjakan sesuatu ingin berhasil dengan sebaik-baiknya, merasa lebih puas dengan hasil kerja yang baik dari pada upah yang diterimanya dari pekerjaan itu, dan selalu ingin berbuat lebih banyak melebihi apa yang sudah pernah dibuatnya.
Sedangkan yang kelima, menurut Suroso, teori kebutuhan berprestasi versi al-Qur’an antara lain dari ayat ketujuh surat al-Insyirah, yang artinya, maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan) kerjakanlah dengan sungguh (urusan) yang lain. Jika dilihat dari faktor agama, dalam hal ini Islam, maka terminologi al- Qur’an, sebagai sumber yang dapat disebut sebagai dorongan Islam untuk bekerja atau berusaha harus digali, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan kerja. Terminologi tentang rizq, misalnya, sangat populer dalam kehidupan sehari-hari erat kaitannya dengan etos kerja.
8. Metode Penelitian
Penelitian lapangan yang dilakukan di wilayah Ampel ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih dengan alasan; pertama, penelitian ini selain mengkaji tindakan individu (pelaku bisnis) juga mengkaji apa yang ada di balik tindakan individu tersebut, kedua, dalam menghadapi lingkungan masyarakat, individu memiliki strategi melakukan tindakan yang tepat bagi dirinya sehingga memerlukan kajian secara mendalam. Dalam konteks ini, penelitian kualitatif memberi peluang mengkaji sebuah fenomena secara mendalam, ketiga, meneliti keyakinan, kesadaran dan tindakan individu dalam masyarakat memungkinkan menggunakan penelitian jenis ini, keempat, penelitian kualitatif memberikan peluang untuk mengkaji fenomena secara holistik, dalam arti, fenomena yang dikaji di lapangan merupakan satu kesatuan yang integratif karena tindakan-tindakan yang terjadi di masyarakat bukan merupakan tindakan yang ditimbulkan oleh satu atau dua faktor saja, melainkan melibatkan banyak faktor yang saling terkait, dan kelima, penelitian kualitiatif memberikan peluang untuk memahami fenomena dalam perspektif emik (emic view) atau pandangan aktor di lapangan. Peneliti, dalam hal ini, hanya seseorang yang sedang belajar dari apa yang menjadi pandagan subyek.
Kehadiran subyek sangat urgen, karena pandangan, informasi, dan data terkait lainnya dari subyek tersebut merupakan data primer. Subyek, dalam kaitan ini, adalah masyarakat Muslim yang secara ajeg melakukan bisnis di wilayah Ampel. Tidak semua pelaku bisnis dipilih sebagai subyek yang akan diwawancarai. Subyek yang akan diwawancarai adalah subyek yang dipandang dapat memberikan data yang cukup dan mendalam yang terdiri dari dua kategori, pertama, pedagang sekaligus tokoh agama, dan kedua, pedagang bukan tokoh agama. Selain subyek di atas, data juga digali dari orang-orang kunci (key informan). Mereka adalah aparat pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan orang-orang yang memiliki data tentang obyek yang diteliti. Data yang diperoleh dari dua arah akan menghasilkan data yang valid. Validitas data dibangun dengan melakukan pencocokan antara data yang diperoleh dari subyek dengan data yang diperoleh dari key informan. Sumber data di atas memang memberikan data yang cukup memadai. Namun, akan lebih memadai jika sewaktu-waktu peneliti ikut terlibat dalam kegiatan bisnis. Oleh karenanya, keterlibatan peneliti dalam dunia bisnis yang kemudian dikenal dengan istilah participatory research merupakan suatu keniscayaan untuk menggali data yang maksimal yang mungkin tidak bisa diperoleh melalui sumber data tersebut.
Untuk dapat memahami fenomena kemasyarakatan, seperti yang diteliti tentang fenomena bisnis pedagang Muslim lokal ini, maka metode yang tepat dalam penelitian ini adalah fenomenologi. Dalam perspektif fenomenologi, kajian harus kembali kepada data bukan pada pikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya. Subyek harus melepaskan atau mengabaikan semua pengandaian dan kepercayaan pribadinya serta dengan simpati melihat obyek yang mengarahkan diri kepadanya. Melalui proses ini, obyek pengetahuan dilepaskan dari unsur-unsur sementaranya yang tidak hakiki, sehingga tinggal hakikat obyek yang menampakkan diri atau melembaga dalam kesadaran. Bagi Husserl, pengetahuan sejati adalah kehadiran data dalam kesadaran budi, bukan rekayasa pikiran untuk mengkonstruk teori.
Dalam realitas sosial, fenomenologi memfokuskan kajiannya kepada cara-cara yang dilakukan aktor dalam memahami dan menafsirkan realitas masyarakat dengan memperhatikan pencerapan data ke dalam penggambaran secara mental. Dalam perspektif etnometodologi, cara melakukan penggambaran yang paling mungkin dilakukan adalah melakukan penggambaran sesuai dengan yang dilakukan aktor. Ini berarti bahwa dalam tradisi fenomenologis yang dimaksud hakikat (eidos) adalah hakikat yang bisa ditangkap oleh peneliti menurut perspektif sang aktor, sehingga muncul apa yang disebut dengan epoche, suatu upaya subyek untuk melepaskan diri dari pikiran-pikiran subyekif, spekulatif, pengandaian dan sebagainya sehingga mampu bersikap obyektif dalam melihat obyek.
Data yang diperoleh secara obyektif ditulis dalam sebuah laporan melalui prosedur yang sistematis. Prosedur yang ditempuh peneliti adalah melakukan reduksi data, menyajikan data, dan mengambil kesimpulan. Reduksi data dilakukan sebatas data yang mempunyai kesesuaian dengan permasalahan, penyajian dilakukan secara naratif, dan pengambilan kesimpulan dilakukan setelah semua data terkumpul, tetapi sifatnya masih tentatif, dan karena itu, data harus selalu diverifikasi selama penelitian berlangsung. Dalam proses reduksi, data yang diperoleh melalui teknik observasi terlibat maupun wawancara mendalam disusun dalam satuan-satuan sesuai dengan kategorisasi datanya. Kategorisasi ini disesuaikan dengan temanya masing-masing, misalnya data tentang perilaku pebisnis (produsen), data tentang perilaku pembeli (konsumen), data tentang perilaku komunitas wilayah sekitar, dan lain sebagainya. Kategorisasi tersebut dimaksudkan untuk membangun keterjalinan antar konsep sehingga sesuai dengan tujuan penelitian. Hasil kategorisasi kemudian disajikan dalam format naratif yang merupakan karakter genuine penelitian kualitatif.
Penyajian data secara naratif dan masih dalam wujud ungkapan aslinya merupakan suatu keniscayaan untuk menjamin keabsahan data penelitian. Data yang dinarasikan, kemudian, disimpulkan sebagai bagian dari temuan penelitian. Temuan tersebut dapat dipahami sebagai sesuatu yang orisinal jika dialektik dengan berbagai kegiatan faktual bisnis pedagang Muslim Ampel.
9. Sistematika Pembahasan
Penelitian yang berjudul ”Sustainabilitas Bisnis Pedagang Muslim Ampel Surabaya” secara sistematis tersusun dengan kerangka kajian sebagai berikut. Bab pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan diakhiri dengan sistematika pembahasan ditempatkan pada bab 1.
Data tentang kerangka teoretik terkait merupakan data penting dalam bab 2. Dalam bab 2 ini dibingkai dengan tema pokok tentang etos kerja, perilaku bisnis, dan etika bisnis yang selanjutnya dirinci dengan sub-sub bab berikutnya, yaitu konsep etos kerja, perilaku bisnis, etika dalam bisnis, sumber etos kerja dalam Islam, etika bisnis Islam, dan etos kerja dan etika bisnis Islam: suatu konstrusi keberhasilan.
Bab 3 merupakan bab yang memuat perilaku bisnis pedagang Muslim di Ampel. Tema dasar ini kemudian dikembangkan melalui sub tema berikutnya. Sub-sub temanya menyangkut tujuan bisnis, motivasi bisnis, dan etika bisnis pedagang Muslim Ampel.
Kemudian bab 4 berisi tentang kesuksesan bisnis pedagang Muslim Ampel. Gambaran konkret dan rinci terurai dengan fokus kajian tentang strategi bisnis, jaringan bisnis, dan konstruksi sustainabilitas bisnis (keberhasilan) pedagang Muslim Ampel.
Bab 5 adalah bab akhir dari suatu pembahasan yang berisi kesimpulan dan kontribusi penelitian.
10. Outline (Daftar Isi) Sementara

HALAMAN JUDUL …………………………………………………................
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN …………………………................
NOTA DINAS ………………………………………………………................
ABSTRAK ……………………………………………………………...............
PEDOMAN TRANSLITERASI ……………………………..……….................
KATA PENGANTAR ……………………………………..…………................
DAFTAR ISI …………………………………………………………................

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………..
B. Rumusan Masalah ………………………….………………….
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………………………………..
D. Kajian Pustaka ………………………….………….................
E. Landasan Teori ……………………………….………………
F. Metodologi Penelitian ………………………………………….
G. Sistematika Pembahasan ……………………………………….

BAB II : ETOS KERJA, PERILAKU, DAN ETIKA BISNIS
A. Etos Kerja ………..…………………………………………….
1. Konsep Etos Kerja ………………………………..................
2. Agama dan Etos Kerja ……………………………………….
3. Etos Kerja dalm Islam ………………………………………..
B. Perilaku dan Etika Bisnis …….………………………………….
1. Perilaku Bisnis: Kerangka Konseptual .......................................
2. Urgensi Etika dalam Bisnis .......................................................
3. Dasar-dasar Etika Bisnis Islam .................................................
C. Etos Kerja dan Etika Bisnis Islam .................................................
1. Etos kerja Islam dan Keberhasilan Bisnis ………......................
2. Etika Bisnis Islam dan Keberhasilan Bisnis …………………...
3. Relasi Etos Kerja dan Etika Bisnis dalm Mengkons-
truk Keberhasilan Bisnis ……………………………………..

BAB III : PERILAKU BISNIS PEDAGANG MUSLIM AMPEL
A. Tujuan Bisnis Pedagang …………………………........................
1. Kesiapan produski ..........................………………..................
2. Pemenuhan konsumsi .....................………………...................
B. Motivasi Bisnis Pedagang ………………………….....................
1. Keuntungan dan Kerja ......................………............................
2. Kegiatan Bisnis Pedagang …………………………………….
C. Etika Bisnis Pedagang ...................................................................
1. Kebebasan Berbisnis: Norma vs Tradisi …..…..........................
2. Nilai Keadilan Bisnis ....................……………….....................
3. Kebebasan dan Keadilan: Basis Mutual-Behavior
Strategy

BAB IV : KESUKSESAN BISNIS PEDAGANG MUSLIM AMPEL
A. Strategi Bisnis Pedagang ………................................................
B. Jaringan Bisnis Pedagang ...........................................................
1. Internal Networking ...............................................................
2. External Networking ..............................................................
C. Konstruksi Sustainabilitas Bisnis Pedagang .............................
1. Faktor Internal ........................................................................
2. Faktor Eksternal .....................................................................
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………
B. Saran-saran ……………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………
DAFTAR RIWAYAT HIDUP



Daftar Pustaka

Abu-Saud, Mahmoud, “the Islamic Economic Framework: a Conceptualization“, dalam Zaidi Sattar, Resource Mobilization and Investment in an Islamic Framework, Virginia: the International Institute of Islamic Thought, 1992.
Ahmad, Ausaf & Kazim Raza Awan (ed.), Lectures on Islamic Economics, Jeddah, Saudi Arabia: Islamic Research and Training Institute-IDB, 1992.
Ahmad, Fayyaz, “the Ethical Responsibility of Bisnis: Islamic Principles and Implications“ dalam F.R. Faridi, Islamic Principles of Business Organization and Management, New Delhi: Qazi Publishers & Distributors, 1988.
---------, “Work Motivation in Organizational Setting: an Islamic Perspektive“ dalam F.R. Faridi, Islamic Principles of Business Organization and Management, New Delhi: Qazi Publishers & Distributors, 1988.
Alma, Bukhari, Pengantar Bisnis, Bandung: Alfabeta, 2001.
Ancok, Djamaluddin dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Arif, Mohd, “Entrepreneurship“ dalam http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm? abstract_id=1134330, diakses tanggal 9 Nopember 2008.
al-Azdi>, Sulayma>n ibn al-Ash’ashi> Abu> Da>wud al-Sajsata>ni, Sunan Abi> Da>wud, juz 3, Lebanon: Da>r al-Fikr, t.t.
Bellah, Robert N., Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Traditionalism World, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1991.
---------, Religi Tokugawa: Akar-akar Budaya Jepang, Jakarta: Gramedia, 1992.
Bernstein, Peter L., The Power of Gold, t.t.: John Wiley & Sons, 2000.
Boulding, Keneth E., Beyond Economics: Essay on Society, Religion and Ethics, Ann Arbor: University of Michigan, 1970.
Cefis, E. dan Marsili, O., “A Matter of Life and Death: Innovation and Firm Survival“ dalam ERIM Report Series Reference No. ERS-2004-109-ORG January 2004, 01. http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id= 650832.
Chaganti, R., “A Profile of Profitable and not so Profitable Small Businesses”, Journal of Small Business Management, No. 21, Vol. 3 (1983).
Deakens, David, Entrepreneurship and Small Firm, London: The McGraw-Hill Co., 1996.
Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, terj. A. Sudiarja, dkk., Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Dra>z, Muh}ammad ‘Abd Alla>h. al-Di>n. Kuwait: Da>r al-Qalam, 1970.
Effendy, Bahtiar, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, Yogyakarta: Galang Press, 2001.
---------, “Pertumbuhan Etos Kerja kewirausahaan dan Etika Bisnis di Kalangan Muslim“ dalam Bahtiar Effuendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, Yogyakarta: Galang Press, 2001.
Faisal, Sanpiah, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi, Malang: YA3, 1990.
Ghazali, Aidit & Syed Omar (ed.), Readings in the Concept and Methodology of Islamic Economics, Malaysia: Pelanduk Publications, 1989.
Hefner, Robert W., “Islamisasi Kapitalisme: tentang Pembentukan Bank Islam pertama di Indonesia“ dalam Mark R. Woodward (ed. ), Jalan Baru Islam, terj. Ihsan Ali Fauzi, Jakarta: Mizan, 1998.
Hills, G. dan C. Narayana, “Profile, Characteristics, Success Factors, and Marketing in Highly Successful Firms”, dalam Frontiers of Entrepreneurship Research, R. Brockhaus … (et al), Wellesley, MA: Babson College, 1990.
Hitti, Philip K., History of The Arabs, London: The Macmillan Press, 1970.
Hornaday, R. dan W. Wheatley, “Managerial Characteristics and the Financial Performance of Small Business Firms”, Journal of Small Business Management, No. 24, Vol. 2 (1986).
al-Isfihânî, Abû al-Faraj, Kitâb al-Aghânî, vol. 1, Beirut: Mat}ba’at al-‘Arabi>yah, t.th.
Jakfar, Muhammad, Agama, Etos Kerja dan Perilaku Bisnis: Studi Kasus Makna Etika Bisnis Pedagang Buah Etnis Madura di Kota Malang, Surabaya: PPs IAIN Sunan Ampel, 2006.
Jennings, P. dan G. Beaver, “The Performance and Competitive Advantage of Small Firms: A Management Perspective”, International Small Business Journal, No. 15, Vol. 2 (1997).
Khan, Muhammad Akram, an Introduction to Islamic Economics, Islamabad: the International Institute of Islamic Thought, 1994.
---------, Issues in Islamic Economics, Pakistan: Islamic Publicaation, Ltd., 1983.
Kraar, Louis, “the New Power of Asia“, Reader’s Digest, vol. 52, no. 39 (December 1988), hlm. 44.
Larson, P., “How to Survive in Montana’s Slow Growth Economy”, Montana Business Quarterly, No. 25 (1987).
Lewis, Arthur W., Theory of Economic Growth, t.t.: Urvin University Books, 1972.
Luk, S., “Success in Hongkong: Factors Self-reported by Successful Small Business Owners”, Journal of Small Business Management, No. 34, Vol. 3 (1996).
Lussier, R. dan S. Pfeifer, “A Cross-National Prediction Model for Business Success”, Journal of Small Business Management, No. 39, Vol. 3 (2001).
Maliki, Zainuddin, Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hegemonik, Surabaya: LPAM, 2003.
Mansfield, Eduian, Micro-economics, New York: W.W. Norton and Co., 1970.
Miles, M.B. & Hubermann AM., Qualitative Data Analysis, California: Sage Publication, Inc., 1984.
Misanam, Munrokhim, “Kajian Epistemologis untuk Pengembangan Ekonomi Islam“ dalam Workshop Asosiasi Dosen Ekonomi Islam PTAI kerjasama STIES Yogyakarta dengan Depag RI, di Yogyakarta, 3-5 Desember 2008.
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996.
Mu’tasim, Radjasa dan Mulkhan, Abdul Munir, Bisnis Kaum Sufi: Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Naqvi, Syed Nawab Haider, Ethics and Economics: an Islamic Synthesis, Leicester, UK: the Islamic Foundation, 1981
---------, Islam, Economics, and Society, London and New York: Kegan Paul Inernational, 1994.
Nasution, S., Metode Penelitian Kualitatif-Naturalistik, Jakarta: Tarsito, 1988.
Natsir, Nanat Fatah, Etos Kerja Wirausahawan Muslim, Bandung: Gunung Djati Press, 1999.
Nik Yusoff, Nik Muhamed Affandi bin, Islam & Business, Malaysia: Pelanduk Publications, 2002.
Pandojo, Heidjrachman R., Wiraswasta Indonesia, Yogyakarta: BPFE, 1982.
Praag, Mirjam van, “Business Survival and Success of Young Small Business Owners: An Empirical Analysis“, dalam http://papers.ssrn.com/sol3/ papers.cfm?abstract_id=289202, diakses tanggal 3 Nopember 2008.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, 1982.
Rahardjo, M. Dawam, Etika Ekonomi dan Manajemen, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
Sadeq, A.H.M., Economic Development in Islam, Australia: Pelanduk Publications, 1991.
Sadr, Muhammad Baqer, “General Edifice of the Islamic Economy” dalam Muhammad Baqer Sadr & Ayatullah Sayyid Mahmud Taleghani, Islamic Economics: Contemporary Ulama Perspectives, Kuala Lumpur: Iqra’, 1991.
Samuelson, Paul A., Economics, New York: McGrow-Hill Book Co., 1973.
Schumpeter, Joseph, Theory of Economic Development, Cambridge: Harvard University Press, 1934
Sjamsudduha, Sejarah Sunan Ampel: Guru Para Wali di Jawa dan Perintis Pembangunan Kota Surabaya, Surabaya: JP Press, 2004.
Siddiqi, Muhammad Nejatullah, Kegiatan Ekonomi dalam Islam, terj. Anas Sidik, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Smith, Huston, Islam, terj. Ribut Wahyudi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002.
Sobary, Muhammad, Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi, Yogyakarta: Penerbit Yayasan Bentang Budaya, 1995.
Steiner, M. dan O. Solem, “Factors for Success in Small Manufacturing Firms”, Journal of Small Business Management, No. 26, Vol. 1 (1988).
Steward, David, Business Ethics, New York: the McGrow Hill Companies Inc., 1996.
Storey, D., K. Keasey, R. Watson, dan P. Wynarczyk, the Performance of Small Firms, London, UK.: Croom Helm, 1987.
Strauss, Anselm and Corbin, Juliet, Basics of Qualitative Research: Techniques and Procedures for Developing Grounded Theory, California: Sage Publications Inc., 1998.
---------, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tata Langkah dan Teknik-teknik Teorisasi Data, terj. Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Sunyoto, Agus, Sunan Ampel Raja Surabaya, Surabaya: Diantama, 2004.
Swasono, Sri-Edi, “Menuju Entrepreneurial University“, bahan semina sehari dalam rangka Dies Natalis Universitas Brawijaya Malang ke-41, Malang (29 Januari 2005).
Swidles, Leonard (ed), Toward a Universal Theology of Religion, Maryknoll: Orbis Book, 1988.
Turner, Bryan S., Weber and Islam: a Critical Study, London: Routledge and Kegan Paul, 1974.
Watt, W. Montgomery, the Influence of Islam on Medieval Europe, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1972.


(Sumber: AM. M. Hafidz MS, M.Ag

Tidak ada komentar:

Posting Komentar