Rabu, 26 Januari 2011

BIJAK MENGKONSUMSI HARTA

Dalam menggunakan harta, kita terlebih dahulu harus tahu nama barang (kebutuhan) yang benar-benar dibutuhkan dan barang (kebutuhan) mana yang hanya sekedar keinginan kita saja, agar dalam penggunaannya tidak boros. Selain itu kita juga dituntut agar tidak kikir karena dalam harta yang kita miliki ada hak orang lain.
Di bawah ini ayat yang membahas tentang bagaimana seharusnya sikap kita dalam mengkonsumsi harta.
Surat Al-Furqan ayat 67 :
Dan orang-orang : وَالَّذِيْنَ
Yang apabila : إِذَا
Membelanjakan (harta) : نْفَقُوْا
Mereka tidak : لَمْ
Berlebih-lebihan : يُسْرِفُوْا
Dan tidak pula : وَلَمْ
Kikir : يَقْتُرُوْ
Dan adalah (pembelanjaan itu) : وَكَانَ
Di tengah-tengah antara : بَيْنَ
Yang demikian : ذَلِِكَ قَوَامًا

Keterangan :
QS. Al-Furqaan ayat 67 :
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa “Orang-orang Islam yang menafkahkan (membelanjakan) harta, tidaklah berlebih-lebiha dan tidak pula kikir, dan sebaiknya dalam membelanjakan harta itu di tengah-tengah keduanya”. Artinya orang Islam dituntut agar bisa menggunakan harta secara seimbang, karena perbuatan boros maupun kikir dilarang oleh Allah SWT.
Kikir dapat disebabkan karena orang tersebut sangat mencintai harta yang dimilikinya. Seperti dalam firman Allah Surat Al-‘Adiyat ayat 8 :
    
Artinya :
“Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta mereka”.
Allah juga melarang manusia untuk berbuat boros seperti firman Allah SWT :
وَلاَ تُبَذِّرُ نَبْذِيْرَا اِنَّ الْمُبَذِّ يْنَ كَانُوْ اِحْوَ نَا لشَيَا طِيْنِ .
Artinya :
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (boros), sesungguhnya orang yang berbuat menghambur-hamburkan (boros) itu teman (dari) syaitan”.
Jadi sebagai orang Islam kita dituntut agar kita menjaga keseimbangan dalam menggunakan harta kita agar kita benar-benar terhindar dari sifat kikir maupun boros. Untuk menghindari berbuat boros kita harus bisa memilah-milah antara want (keinginan) dan need (kebutuhan).
Sedangkan kekikiran adalah suatu hal yang sangat berbeda dengan pemborosan dan kemewahan tetapi sifat ini juga termasuk tercela di dalam Islam karena seseorang tidak menggunakan rizki dan nikmat yang diberikan Allah kepadanya untuk di konsumsi atau digunakan sesuai kadarnya, kebutuhannya dan tanggungannya serta akan mendorong seseorang untuk berlaku bakhil dan takut miskin, sehingga akan membuatnya tidak mau menggeluarkan shodaqoh.

Hadits riwayat Baihaqi :
Barang siapa : مَنْ
Yang membangun : بَنى
Bangunan : بنَاءً
Yang melebihi : اَكْثَرَ
Sesuatu : مِمَّا
Yang dibutuhkan : يَحْتَاجُ
Seseorang : إِلَيْهِ
Maka orang itu : كَانَ عَلَيْهَ
Akan celaka : وَبَالاَ
Di hari kiamat : يَوْمَالقِيَامَةِ

Keterangan :
“Barang siapa yang membangun bangunan yang melebihi sesuatu yang dibutuhkan seseorang maka orang itu akan celaka di hari kiamat”.
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa, dalam Islam dianjurkan agar manusia tidak bersikap berlebih-lebihan karena Allah sendiri tidak menyukai sikap berlebih-lebihan. Dan Allah menganjurkan agar manusia selalu bersikap sederhana terutama dalam hal pembelanjaan hartanya. Harta sebaiknya digunakan sesuai dengan kebutuhan.

ANALISIS MENGKONSUMSI HARTA
Terdapat empat prinsip utama dalam sistem ekonomi Islam yang diisyaratkan dalam Al-Qur'an :
1. Hidup hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain from wasteful and luxurius living), yang bermakna bahwa, tindakan ekonomi diperuntukkan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan hidup (needs) bukan pemuasan keinginan (wants).
2. Implementasi zakat (implementation of zakat) dan mekanismenya pada tataran negara merupakan obligatory zakat system bukan voluntary zakat system. Selain zakat terdapat pula instrument sejenis yang bersifat sukarela (voluntary) yaitu infak, shadaqah, wakaf, dan hadiah.
3. Penghapusan Riba (Prohibition of riba); menjadikan system bagi hasil (profit loss sharing) dengan instrument mudharabah dan musyarakah sebagai pengganti sistem kredit (kredit system) termasuk bunga (interest rate).
4. Menjalankan usaha-usaha yang halal (permissible conduct), jauh dari maisir dan gharar, meliputi bahan baku, proses produksi, manajemen, out put produksi hingga proses distribusi dan konsumsi harus dalam kerangka halal.
Dalam empat prinsip demikian, terlihat model perilaku muslim dalam menyikapi harta. Harta bukanlah tujuan, ia hanya sekedar alat untuk menumpuk pahala demi tercapainya falah (kebahagiaan dunia dan akhirat). Harta merupakan pokok kehidupan (An-Nisa (4) : 5) yang merupakan karunia Allah (An-Nisa (4) : 32). Islam memandang segala yang ada di atas bumi dan seisinya adalah milik Allah SWT, sehingga apa yang dimiliki manusia hanyalah amanah. Dengan nilai amanah itulah manusia dituntut untuk menyikapi harta benda untuk mendapatkannya dengan cara yang benar, proses yang benar dan pengelolaan dan pengembangan yang benar pula.
Namun pada tingkatan praktis, perilaku ekonomi (economic behavior) sangat ditentukan oleh tingkat keyakinan atau keimanan seseorang atau sekelompok orang yang kemudian membentuk kecenderungan perilaku konsumsi dan produksi di pasar. Dengan demikian dapat disimpulkan tiga karakteristik perilaku ekonomi dengan menggunakan tingkat keimanan sebagai asumsi.
1. Ketika keimanan ada pada tingkat yang cukup baik, maka motif berkonsumsi atau berproduksi akan didominasi oleh tiga motif utama tadi; mashlahah, kebutuhan dan kewajiban.
2. Ketika keimnanan ada pada tingkat yang kurang baik, maka motifnya tidak didominasi hanya oleh tiga hal tadi tapi yang juga kemudian akan dipengaruhi secara signifikan oleh ego, rasionalisme (materialisme) dan keinginan-keinginan yang bersifat individualistis.
3. Ketika keimanan ada pada tingkat yang buruk, maka motif berekonomi tentu saja akan didominasi oleh nilai-nilai individualistis (selfishness); ego, keinginan dan rasionalisme.
Demikian pula dalam konsumsi, Islam memposisikan sebagai bagian dari aktifitas ekonomi yang bertujuan mengumpulkan pahala menuju falah (kebahagiaan dunia dan akherat).
Sementara itu Yusuf Qardhawi, menyebutkan beberapa variable moral dalam berkonsumsi, di antaranya; konsumsi atas alasan dan pada barang-barang yang baik (halal), berhemat, tidak bermewah-mewah, menjauhi barang, menjauhi kebakhilan dan kekikiran. Dengan demikian aktifitas konsumsi merupakan salah satu aktivitas ekonomi manusia yang bertujuan untuk meningkatkan ibadah dan keimanan kepada Allah SWT dalam rangka mendapatkan kemenangan, kedamaiaan dan kesejahteraan akherat (falah), baik dengan membelanjakan uang atau pendapatannya untuk keperluan dirinya maupun untuk amal shaleh bagi sesamanya.
Pemenuhan keperluan hidup manusia secara kualitas memimiliki tahapan-tahapan pemenuhan. Berdasarkan teori Maslow, keperluan hidup berawal dari pemenuhan keperluan yang bersifat dasar (basic needs), kemudian pemenuhan keperluan hidup yang lebih tinggi kualitasnya seperti keamanan, kenyamanan dan aktualisasi. Sayang teori Maslow ini merujuk pada pola pikir individualistic-materialistik.
Dalam Islam tahapan pemenuhan keperluan hidup boleh jadi seperti yang Maslow gambarkan, namun pemuasan keperluan hidup setelah tahapan pertama (kebutuhan dasar) akan dilakukan ketika secara kolektif, yaitu kebutuhan dasar masyarakat sudah pada posisi yang aman. Ketika masyarakat sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya, maka tidak akan ada implikasi negative yang muncul. Dengan demikian diperlukan peran negara dalam memastikan hal ini. Di akui ada beberapa mekanisme dalam sistem ekonomi Islam yang tidak akan berjalan efektif jika tidak ada campur tangan negara.
Namun perlu diingat bahwa konsep keperluan dasar Islam sifatnya tidak statis, artinya keperluan dasar pelaku ekonmomi bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat. Pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu dikonsumsi akibat motivasi keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut telah menjadi kebutuhan. Dengan demikian parameter yang membedakan definisi kebutuhan dan keinginan tidak bersifat statis, ia bergantung pada kondisi perekonomian serta ukuran kemaslahatan. Dengan standar kemaslahatan, konsumsi barang tertentu dapat saja dinilai kurang berkenan ketika sebagian besar ummat atau masyarakat dalam keadaan susah.
Dengan demikian sangat jelas terlihat bahwa perilaku ekonomi Islam tidak didominasi oleh nilai alamiah yang dimiliki oleh setiap individu. Terdapat nilai di luar diri manusia yang kemduian membentuk perlaku ekonomi. Nilai ini diyakini sebagai tuntunan utama dalam hidup dan kehidupan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar