Minggu, 09 Januari 2011

KONSEP MANAJEMEN STRATEGIS DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PENGELOLAAN ORGANISASI NIRLABA PERSPEKTIF SYARIAH

‘TUGAS SIAPA ITU’?

Cerita ini adalah tentang empat orang yang bernama SEMUA ORANG, SESEORANG, SIAPA SAJA, dan TAK SEORANG PUN.
Ada tugas penting untuk dikerjakan dan SEMUA ORANG diminta melakukannya. SEMUA ORANG yakin bahwa SESEORANG akan melakukannya. SIAPA SAJA bisa melakukannya, tetapi TAK SEORANG PUN yang melakukannya. SESEORANG menjadi marah tentang itu, sebab ini tugas SEMUA ORANG. SEMUA ORANG menganggap bahwa SIAPA SAJA dapat melakukannya, tetapi TAK SEORANG PUN yang menyadari bahwa SEMUA ORANG tidak akan melakukannya.
Akhirnya, SEMUA ORANG menyalahkan SESEORANG ketika TAK SEORANG PUN melakukan apa yang bisa dilakukan oleh SIAPA SAJA. Tugas siapakah itu?
(dikutip dari Altalib, 1999)

Kisah di atas – tentu saja – bukanlah dimaksudkan sekadar dongeng. Dalam perspektif organisasi, kisah tersebut sedikit banyak telah memberikan gambaran tentang hakikat pentingnya organisasi yang tertata apik dengan kejelasan landasan, fungsi dan kedudukannya serta hubungan yang kuat dan saling menunjang di antara anggotanya. Bila tidak, maka - seperti ditampakkan kisah tersebut - hanya akan membawa kisah sedih disorientasi, disfungsi dan bahkan disorganisasi.
Atas dasar itu, kisah tersebut kiranya lebih tepat bila disebut semacam “muhasabah manajemen” yang relevan dan tampaknya akan selalu up to date bagi perubahan, perbaikan dan bahkan penyempurnaan kinerja manajemen suatu organisasi. Terlebih bagi suatu organisasi yang telah nyata-nyata mengidentikkan diri sebagai wahana dakwah dan syiar Islam. Termasuk di dalamnya, organisasi nirlaba keislaman yang aktivitas intinya ada pada kegiatan sosial kemasyarakatan serta pemberdayaan komunitas.
Sesuai judulnya, dengan awalan kisah manajemen di atas, tulisan ini dimaksudkan untuk memotret performa eksisting organisasi nirlaba keislaman sembari menyajikan konsep manajemen strategis perspektif syariah yang dapat diadopsi bagi upaya perubahan, perbaikan dan bahkan penyempurnaan kinerja manajemen organisasi tersebut.
Tulisan ini juga berangkat dari sejumlah pemahaman umum, bahwa sebuah organisasi – baik, non profit maupun profit oriented sekalipun - yang bersendikan Islam tentu telah memenuhi sejumlah asumsi tertentu sbb:
1. Umumnya, seluruh SDM yang terlibat di dalamnya dapat dipastikan telah memiliki setidaknya dua dari tiga jenis kesadaran berorganisasi, yakni kesadaran ideologis dan kesadaran intelektual. Sinergi dua kesadaran ini mendorong munculnya motivasi dakwah dan syiar Islam yang digerakkan melalui organisasi secara sadar dan berkesan intelektual, tidak sekadar mengedepankan emosi keagamaan. Sedangkan yang ketiga, yakni kesadaran manajerial dapat dikatakan belum sepenuhnya dimiliki. Kesadaran yang ketiga ini juga penting karena akan mendorong SDM organisasi untuk melakukan pengelolaan organisasi berikut produk-produk yang dihasilkannya agar memenuhi standar kelayakan. Sementara, kinerja ideal sebuah organisasi sesungguhnya dimulai dari sinergi ketiganya.
2. Penerapan kaidah-kaidah manajemen sebagai sebuah tool atau alat sangat bisa dilakukan dalam bidang kehidupan apa saja. Kata kuncinya adalah butuh atau tidak. Sehingga, persoalannya kembali bermuara pada konsekuensi atas kesadaran manajerial. Bila kesadaran itu tiada, maka dapat dipastikan berjalannya roda organisasi akan dikendalikan secara intuitif, berorientasi pada pendekatan personal dan pada akhirnya cenderung tidak obyektif. Sebaliknya, adanya kesadaran manajemen akan mendorong aplikasi manajemen secara obyektif, dimana organisasi berjalan sebagai team (together everyone achieve more).

Untuk memudahkan pemahaman para pembaca, tulisan ini disajikan dengan sistematika pembahasan sbb. :
1. Potret Kondisi Eksting Organisasi Nirlaba.
2. Mengenal Konsep Manajemen Strategis Perspektif Syariah.
3. Implementasi Konsep Manajemen Strategis Perspektif Syariah Dalam Pengelolaan Organisasi Nirlaba : Sebuah Contoh.

POTRET KONDISI EKSISTING ORGANISASI NIRLABA
Organisasi nirlaba keislaman yang aktivitas intinya ada pada kegiatan sosial kemasyarakatan serta pemberdayaan komunitas umumnya dapat dinyatakan masih bercirikan manajemen tradisional. Sudewo (2004) bahkan mengidentifikasinya menjadi sembilan ciri pengelolaan tradisional kegiatan sosial di Indonesia. Kesembilan ciri tersebut adalah :

1. Tanpa perencanaan yang matang
Karena obyek kegiatan mudah dijumpai, aktivitasnya bisa dilakukan kapanpun dan dengan bantuan apapun sesuai dengan kehendak donatur, maka tak ada yang sulit dalam melakukan kegiatan sosial. Oleh karena itu tak perlu berlelah-lelah mengadakan strategic planning dalam mendisain perencanaan.

2. Struktur organisasi sederhana dan tumpang tindih
Kebanyakan organisasi lokal, rata-rata struktur organisasinya sederhana. Ada dua pengertian yang dimaksud dengan sederhana. Pertama struktur organisasi memang dibuat ala kadarnya. Karena yang mendisain pengetahuannya terbatas, pembagian kerja antar bidang dan seksi jadi tumpang tindih. Pengertian kedua adalah proses perumusan struktur organisasi, dilakukan dengan amat subyektif. Ketua pendiri yang biasanya seorang tokoh, hanya tinggal menunjuk orang untuk duduk di masing-masing bidang. Seringkali sang tokoh sekaligus menginisiatifi dirinya menjadi ketua umum. Tradisi rekruiting semacam ini tidak memerlukan fit and propper test. Yang dibutuhkan hanya tinggal kesediaan diri dari orang yang ditunjuk. Mereka tidak menyadari bahwa manajemen lembaga nirlaba berbeda dengan perusahaan.

3. Kaburnya batasan wewenang dan tanggung jawab, hak dan kewajiban
Dengan struktur organisasi sederhana dan tumpang tindih, mencerminkan tak jelasnya batas-batas wewenang dan tanggung jawab. Dengan pola seperti ini, boleh jadi tanggung jawab akan ditanggung bersama. Atau sebaliknya tak satupun secara tegas mengatakan itu merupakan bagian tanggung jawabnya. Kondisi ini, bisa pula diakibatkan oleh tak jelasnya hak dan kewajiban. Pola lama bekerja di yayasan sosial dan panti, selalu dinyatakan sebagai bentuk manajemen lillahi ta’ala. Makna lillahi ta’ala diidentikkan dengan pengabdian yang tak perlu mendapat hak, lebih-lebih menuntut upah yang layak. Tuntutan tersebut dianggap tidak ikhlas, merusak pengabdian, serta tindakan itu tidak Islami. Akibatnya orang yang bekerja di yayasan sosial dan panti tidak menuntut apa-apa. Karena tidak mendapat imbalan, mereka pun tidak merasa memiliki tanggung jawab apa-apa.

4. Dikelola paruh waktu
Mengabdi tanpa imbalan, hanya sanggup dijalankan oleh orang-orang yang tidak lagi membutuhkan gaji. Orang-orang seperti ini, biasanya telah tidak lagi aktif bekerja karena pensiun. Karena merasa masih sanggup bekerja, mereka ingin mengabdikan apa yang dimiliki untuk kepentingan masyarakat. Ini merupakan tindakan mulia sebagai bentuk aktualisasi diri yang memang harus diakomodir. Sayangnya, mereka kini memiliki kemampuan yang terbatas. Meskipun semangat masih membara, tetapi mereka bukan lagi sosok muda seperti dulu yang masih bisa full time bekerja. Mereka sekarang adalah orang-orang yang hidup dengan dunia dan logikanya sendiri, yang tidak bisa dituntut setiap hari harus hadir serta harus bekerja delapan jam lamanya. Kini mereka beraktualisasi sesuai dengan suasana hati, kondisi fisik serta waktu yang ada. Maka situasi dan kondisi itu memaksa bekerja dengan paruh waktu.

Jika di yayasan sosial dan panti tersebut terdapat anak-anak muda, mereka cenderung menjadikan itu sebagai batu loncatan. Cara pandang seperti ini tidak ada yang keliru dan sah-sah saja. Bagi anak-anak muda ini, sembari menunggu panggilan bekerja yang sesungguhnya, mereka dapat mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang bermanfaat. Dengan sekadar imbalan karena lembaga pun tak bisa membayar layak, mereka yang muda-muda tak bisa dituntut untuk full-time bekerja setiap hari. Jikapun bisa sifatnya hanya sangat sementara. Sebab begitu temannya datang mengajak ikut kegiatan yang menarik hatinya, dengan serta merta pekerjaan yang ditangani segera diselesaikan. Selesai atau tidak selesai, pekerjaan itu akan segera ditinggalkan. Jadi tetap saja meski mereka anak-anak muda, namun kondisi juga yang membuat mereka bekerja dengan paruh waktu.

5. Dijalankan SDM seadanya
Kebanyakan yang bekerja merupakan orang-orang memiliki kemampuan kebanyakan. Jika dibandingkan dengan SDM yang bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), harus diakui kualitasnya masih berbeda. Orang-orang yang bekerja di LSM kebanyakan SDM yang gigih, kreatif, loyal dan amat komit dan konsisten pada perjuangannya. Bahkan tak sedikit dari mereka yang berpendidikan pasca sarjana luar negeri.

Ada beberapa faktor yang berpengaruh mengapa yang mau berkiprah di yayasan dan panti asuhan lokal bukan merupakan SDM andal. Pertama lokasi yayasan dan panti cenderung di tempat terpencil atau pinggiran, sederhana dan sebagian tidak terawat baik. Kedua gaya manajemennya amat tergantung pada pimpinan. Ketiga sistem rekruiting tidak berjalan, karena jarang sekali orang yang berminat bekerja di situ. Keempat keikhlasan dan bentuk pengabdian, tidak mendorong imbalan hak yang memadai. Kelima yayasan dan panti juga sulit memperoleh bantuan dana besar dari donatur. Keenam jikapun mendapat donasi dari luar negeri, khususnya Timur Tengah, kebanyakan dana itu dialokasikan untuk sarana fisik sesuai keinginan donaturnya. Kegiatan ekonomi produktif atau advokasi, sama sekali nyaris tak tersentuh.

Beberapa faktor di atas, akhirnya amat berpengaruh pada image citra lembaga. Akibatnya masyarakat sendiri kurang berminat untuk mengetahui lebih jauh tentang kegiatan-kegiatan yang dijalankan. Hal ini tampak dengan sedikitnya kunjungan masyarakat ke tempat mereka, atau donasi yang diberikan relatif kecil. Jika masyarakat luas saja termasuk donatur tak tertarik, maka jauh lebih sedikit lagi orang yang berminat untuk bekerja secara profesional.

6. Bukan pilihan
Dengan beberapa persoalan di atas, dampaknya juga berpengaruh pada SDM yang telah ada bekerja di yayasan lokal dan panti tradisional. Dengan kondisi yang sulit berubah, bisa menyebabkan terjadinya demotivasi. SDM yang tadinya begitu bersemangat, akhirnya suatu saat frustasi juga karena tidak bisa merubah ke arah yang lebih baik. Mau tidak mau karena sudah kepalang basah, mereka terpaksa bertahan karena tak ada pilihan.

7. Lemahnya kreativitas dan inovasi
Salah satu ciri pengelolaan tradisional adalah pasif. Ini tampak dari tidak adanya pemikiran kreatif. Karena kurang kreatif, program-program yang dilahirkannya pun tidaklah inovatif. Kebanyakan lembaga hanya saling mencontoh yang telah ada. Mereka kurang berani mengadakan terobosan-terobosan baru. Kehidupan yayasan sosial dan panti-panti lokal menjadi monoton, seolah-olah tidak pernah mengalami perubahan dari masa ke masa. Ada lembaga dari sejak lahir hingga kini, ya begitu-begitu saja. Atau ada lembaga yang tadinya maju, kini malah mundur dan terbengkalai. Atau ada lembaga yang dari awal sudah tak maju, lalu hilang dan digantikan berbagai lembaga yang baru.

8. Tak ada monitoring dan evaluasi
Salah satu dampak dari lemahnya kreativitas adalah tidak adanya sistem monev (monitoring dan evaluasi). Inti monev sesungguhnya adalah pembangunan sebuah sistem yang sehat. Ada atau tidaknya sistem ini amat tergantung pada pimpinan. Bahkan yang telah memiliki sistem monev pun, maksimal tidaknya tergantung pada itikad dari pimpinan. Pimpinan menjadi kata kunci, karena ini menyangkut organisasi nirlaba lokal. Karena hampir seluruh persoalan kembali pada pimpinan, sistem pengawasan seolah-olah telah difungsikan dengan baik. Sementara yang terjadi di lapangan, ternyata tidaklah sesederhana seperti yang dapat dibayangkan oleh pimpinan. Lembaga pun akhirnya sulit berbenah apalagi berkembang.

MENGENAL KONSEP MANAJEMEN STRATEGIS PERSPEKTIF SYARIAH
Mengapa Manajemen Strategis ?
Berikut adalah sejumlah aspek keunggulan yang menguatkan dipilihnya pendekatan Manajemen Strategis bagi pengelolaan suatu organisasi.

1. Fokus Manajemen. Model alur berpikir Manajemen Strategis berhubungan dengan kejutan-kejutan strategis dan perkembangan yang cepat dari ancaman (threat) dan kesempatan (opportunity). Maksudnya, pendekatan ini memberikan penekanan pada upaya prediksi lingkungan yang dinamis serta pertimbangan-pertimbangan eksternal dalam merumuskan dan mengimplementasikan rencana organisasi (Wahyudi, 1996; Pearce dan Robinson, 1997).
2. Cakupan proses. Model alur berpikir Manajemen Strategis memiliki cakupan proses manajemen berskala besar dan luas. Proses ini merupakan reaksi terhadap - terutama - meningkatnya ukuran dan jumlah organisasi pemain industri yang ikut serta dalam persaingan. Juga, sejalan dengan luasnya komponen yang terlibat dalam proses pembentukannya. Luasnya cakupan proses manajemen strategis membawa organisasi pada tingkat yang lebih tepat dalam penentuan misi dan tujuan organisasi dalam konteks keberadaannya di lingkungan eksternal dan internalnya (Wright, Kroll dan Parnel, 1996; Pearce dan Robinson, 1997).
3. Membangkitkan kesadaran bersama. Terma strategis mencerminkan kesadaran perusahaan mengenai bagaimana, kapan, dan dimana ia harus “bersaing”; “melawan” siapa; dan untuk maksud (purpose) apa. Sehingga manajemen strategis memberikan sekumpulan keputusan dan tindakan strategis untuk mencapai sasaran-sasaran perusahaan. (Pearce dan Robinson, 1997).
4. Menghubungkan peran faktor-faktor kunci organisasi. Sebagai sebuah proses manajemen atas fungsi keputusan-keputusan para manajer, manajemen strategis yang menghubungkan tiga faktor kunci: lingkungan tempat perusahaan melakukan kegiatan, sumberdaya yang dimiliki yang siap melayani serta harapan dan tujuan berbagai kelompok dengan penunjang untuk kelangsungan hidupnya (Faulkner dan Johnson, 1995).
5. Proses perkembangan. Hingga saat ini, manajemen strategis dapat dicatat sebagai puncak penyempurnaan paling penting dalam proses manajemen yang terjadi sejak tahun 1970-an, ketika model “perencanaan jangka panjang” (Long Range Planning), “perencanaan, pemrograman, peranggaran” atau “anggaran dan kontrol keuangan” (Budgeting and Financial Controlling) , dan “kebijakan bisnis” diramu menjadi satu (Wahyudi, 1996; Pearce dan Robinson, 1997).

Mengapa Perspektif Syariah ?
Manajemen dalam sebuah organisasi pada dasarnya dimaksudkan sebagai suatu proses (aktivitas) penentuan dan pencapaian tujuan organisasi melalui pelaksanaan empat fungsi dasar: planning, organizing, actuating, dan controlling dalam penggunaan sumberdaya organisasi. Karena itulah, aplikasi manajemen organisasi hakikatnya adalah juga amal perbuatan SDM organisasi yang bersangkutan.
Berkenaan dengan hal itu, Islam telah menggariskan bahwa hakikat amal perbuatan haruslah berorientasi bagi pencapaian ridla Allah SWT. Hal ini – seperti dinyatakan oleh Imam Fudhail bin Iyad (105 – 187 H), salah seorang guru Imam Syafi’i dan perawi hadits yang tsiqah, dalam menjelaskan tafsir QS. Al Mulk: 2-3 - mensyaratkan dipenuhinya dua syarat sekaligus, yaitu niat yang ikhlas dan cara yang harus sesuai dengan hukum syariat Islam. Bila perbuatan manusia memenuhi dua syarat itu sekaligus, maka amal itu tergolong ahsan (ahsanul amal), yakni amal terbaik di sisi Allah SWT.
Dengan demikian, keberadaan manajemen organisasi dipandang pula sebagai suatu sarana untuk memudahkan implementasi Islam dalam kegiatan organisasi tersebut. Implementasi nilai-nilai Islam berwujud pada difungsikannya Islam sebagai kaidah berpikir dan kaidah amal dalam seluruh kegiatan organisasi. Nilai-nilai Islam inilah sesungguhnya nilai utama organisasi yang menjadi payung strategis hingga taktis seluruh aktivitas organisasi.
Sebagai kaidah berpikir, aqidah dan syariah difungsikan sebagai asas atau landasan pola pikir dalam beraktivitas. Sedangkan sebagai kaidah amal, syariah difungsikan sebagai tolok ukur kegiatan. Tolok ukur syariah digunakan untuk membedakan aktivitas yang halal atau haram. Hanya kegiatan yang halal saja yang dilakukan oleh seorang muslim, sementara yang haram akan ditinggalkan semata-mata untuk menggapai keridloan Allah SWT.
Beranjak dari paparan di atas, maka dalam perspektif Islami, manajemen strategis dapat didefinisikan ulang menjadi …
rangkaian proses aktivitas manajemen Islami yang mencakup tahapan formulasi, implementasi dan evaluasi keputusan-keputusan strategis organisasi yang memungkinkan pencapaian tujuannya di masa datang.

Sebagai sebuah proses Islami, maka manajemen strategis bagi suatu organisasi akan memiliki sembilan karakter khas yang membedakannya dengan manajemen strategis konvensional (non Islami). Kesembilannya adalah karakter yang ditinjau dari aspek-aspek (1) asas, (2) motivasi, (3) orientasi, (4) strategi induk, (5) strategi fungsional operasi, (6) strategi fungsional keuangan, (7) strategi fungsional pemasaran, ( strategi fungsional SDM, dan (9) sumberdaya.
Aplikasi manajemen strategis Islami yang dikendalikan oleh nilai-nilai transendental (aturan halal-haram), dari cara pengambilan keputusannya hingga pelaksanaannya (strategi-strategi fungsional) sama sekali berbeda dengan aplikasi manajemen strategis konvensional yang non Islami. Dengan landasan sekularisme yang bersendikan pada nilai-nilai material, aplikasi manajemen strategis non Islami tidak memperhatikan aturan halal-haram dalam setiap perencanaan, pelaksanaan dan segala usaha yang dilakukan dalam meraih tujuan-tujuan organisasi.

Visi dan misi organisasi terkait erat dengan misi penciptaan manusia di dunia. Strategi
Induk Visi dan misi organisasi ditetapkan berdasarkan pada kepentingan material belaka.
Jaminan halal bagi setiap masukan, proses & keluaran,
Mengedepankan produktivitas dalam koridor syariah. Strategi Fungsional Operasi Tidak ada jaminan halal bagi setiap masukan, proses & keluaran,
Mengedepankan produktivitas
dalam koridor manfaat .
Jaminan halal bagi setiap masukan, proses & keluaran keuangan. Strategi Fungsional Keuangan Tidak ada jaminan halal bagi setiap masukan, proses & keluaran keuangan.
Pemasaran dalam koridor jaminan halal. Strategi Fungsional Pemasaran Pemasaran menghalalkan cara.
SDM profesional & berkepribadian Islam, SDM adalah pengelola bisnis,
SDM bertanggung jawab pada diri, majikan & Allah SWT. Strategi Fungsional
SDM SDM profesional,
SDM adalah faktor produksi,
SDM bertanggung jawab pada diri & majikan.
Halal. Sumberdaya Halal & haram.

Dari asas sekularisme inilah, seluruh bangunan bisnis, kegiatan dan pemanfaatan sumberdaya organisasi diarahkan pada hal-hal yang bersifat bendawi dan menafikan nilai ruhiah serta keterikatan SDM organisasi pada aturan yang lahir dari nilai-nilai transendental (aturan halal-haram). Kalaupun ada aturan, semata bersifat etik yang tidak ada hubungannya dengan konsekuensi pahala dan dosa.
Di lain pihak, implementasi manajemen strategis dengan kendali syariah akan membawa organisasi bisnis berorientasi pada pencapaian empat hal utama, yakni: (1) Target hasil: profit-materi dan benefit-nonmateri, (2) Pertumbuhan, artinya terus meningkat (3) Keberlangsungan, dalam kurun waktu selama mungkin, dan (4) Keberkahan atau keridhaan Allah. Dari keempat hal tersebut, hal yang membedakan orientasi manajemen strategis perspektif syariah (Islami) dengan konvensional (non Islami) adalah pada orientasi pertama, target hasil dan dan orientasi keempat, keberkahan atau keridhaan Allah. Hal ini menjadikan orientasi strategis perusahaan tidak melulu mengejar keuntungan duniawi saja dan abai pada aspek keridhaan Allah SWT.

Kerangka manajemen strategis dapat diuraikan dalam empat tahapan utama, seperti dipaparkan di bawah ini:

(1) Tahapan Analisis Lingkungan Organisasi. Tahapan ini mencakup analisis lingkungan eksternal, baik makro maupun industri, serta lingkungan internal organisasi.
(2) Tahapan Formulasi Strategi yang terdiri atas formulasi Nilai-nilai utama dan orientasi strategis organisasi, strategi tingkat korporasi hingga strategi fungsional berikut kebijakan fungsionalnya.
(3) Tahapan Implementasi Strategi yang mencakup aspek struktur organisasi, budaya organisasi (organizational culture) serta prosedur hingga program.
(4) Tahapan Pengendalian Strategi yang berintikan penetapan dan pemantauan kinerja organisasi. Tahapan ini akan menghasilkan umpan balik bagi tahapan-tahapan sebelumnya.

1. Tahapan I, Analisis Lingkungan Perusahaan
Sesuai dengan namanya, tahapan ini berintikan pada pada analisis lingkungan internal dan eksternal organisasi. Analisis ini bertumpu pada basis data tahunan yang berpola 3-1-5. Maksudnya, data yang ada diupayakan mencakup data perkembangan organisasi pada tiga tahun sebelum dilakukan analisis, apa yang akan diinginkan pada tahun dilakukannya analisis serta kecenderungan organisasi untuk lima tahun ke depan pasca analisis. Hal ini dimaksudkan agar strategi yang akan diambil memiliki dasar dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan.
Aktivitas analisis ini kerap digabung dalam suatu kesatuan aktivitas yang lebih dikenal sebagai Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Treath). Hasil analisis SWOT akan menunjukkan kualitas dan kuantifikasi posisi organisasi yang kemudian memberikan rekomendasi berupa pilihan strategi generik serta kebutuhan atau modifikasi sumberdaya organisasi.

2. Tahapan II, Formulasi Strategi
Langkah berikutnya adalah melakukan formulasi strategi. Formulasi ini ditujukan untuk menghasilkan nilai-nilai utama dan orientasi strategis organiasi; strategi induk di tingkat korporasi (corporate strategy formulation); dan strategi fungsional (functional strategy formulation).

3. Tahapan III, Implementasi Strategi
Implementasi strategi bertumpu pada (1) alokasi dan organisasi SDM serta (2) kepemimpinan, budaya organisasi hingga prosedur dan program. Aktivitas pertama mencakup distribusi kerja di antara individu dan kelompok kerja dengan mempertimbangkan tingkatan manajemen, tipe pekerjaan, pengelompokan bagian pekerjaan serta mengusahakan agar bagian-bagian itu menyatu seluruhnya dalam sebuah tim sehingga mereka dapat bekerja secara efektif dan efisien.
Aktivitas kedua meliputi aspek-aspek kepemimpinan efektif berikut pengambilan keputusan, kewenangan dan tanggung jawabnya serta budaya organisasi. Aktivivitas-aktivitas tersebut menjadi penting kaitannya dengan pembuatan prosedur dan program.

4. Tahapan IV, Pengendalian Strategi
Tahapan paling akhir dari proses manajamen strategis adalah pengendalian yang mencakup aspek penilaian kinerja yang berlanjut dengan berjalannya proses pemberian umpan balik. Penilaian kinerja dilakukan sesuai dengan prosedur organisasi yang dikembangkan, yakni dengan mengacu pada tolok ukur strategis dan operasional. Hal ini guna mendapatkan kepastian akan ketepatan pencapaian strategi induk organisasi. Apapun hasilnya, akan menjadi rekomendasi masukan bagi perbaikan dan/atau penyempurnaan strategi dan implementasi berikutnya.

IMPLEMENTASI KONSEP MANAJEMEN STRATEGIS PERSPEKTIF SYARIAH DALAM PENGELOLAAN ORGANISASI NIRLABA : SEBUAH CONTOH
1. Identifikasi Unsur SWOT
Berdasarkan pengamatan sederhana, dengan pendekatan kualitatif berbasis Matriks Kearns, Analisis SWOT organisasi nirlaba keislaman dapat diuraikan sebagai berikut.

a. Analisis Eksternal - Tantangan
Unsur analisis eksternal bersumber pada situasi dan kondisi yang melingkupi keberadaan organisasi, seperti situasi dan kondisi politik, ekonomi, sosial budaya, lingkungan, teknologi dan konstelasi industri. Tantangan bagi berlangsungnya kiprah organisasi nirlaba yang bersendikan Islam yang sekaligus akar permasalahan problematika hidup manusia tentulah hegemoni Ideologi Kapitalis – Sekuler. Tantangan yang berurai dalam begitu banyak permasalahan cabang krisis kehidupan. Dalam lingkup wilayah terbatas misalnya, permasalahan cabang yang ditimbulkan adalah munculnya apatisme sebagian masyarakat terhadap gagasan alternatif perbaikan keadaan yang dinilai bersifat radikal. Permasalahan cabang yang dimaksud sebagai bagian dari unsur eksternal ini umumnya dapat dirinci sbb.
(1) Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat.
(2) Tingginya angka kemiskinan.
(3) Masih rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap Islam.
(4) Masih rendahnya kesadaran politik masyarakat.
(5) Masih tingginya angka kemaksiyatan di masyarakat (judi, narkoba, seks bebas dll.)
(6) Masih adanya persepsi buruk tentang tentang kinerja organisasi nirlaba keislaman.
(7) Adanya praktik ghazwul fikr (perang pemikiran) yang bertujuan menjauhkan umat dari keyakinan Islam-nya, seperti isu fundamentalis, ekstrim, teroris dan berbagai stigma negatif lainnya.

b. Analisis Eksternal - Peluang
Karena berakar pada hal yang sama, secara umum dapat dikatakan, peluang bagi kiprah organisasi nirlaba Islami juga hampir sama besarnya dengan tantangan yang ada, yakni - antara lain - tumbuhnya kesadaran baru dari sebagian masyarakat terhadap gagasan alternatif perbaikan keadaan yang sekalipun dinilai bersifat radikal. Peluang yang muncul sebagai bagian dari unsur eksternal ini umumnya dapat dirinci sbb. :
(1) Banyaknya organisasi-organisasi nirlaba keislaman yang tumbuh.
(2) Diberlakukannya otonomi daerah.
(3) Adanya dukungan dari sebagian Pemerintah Daerah yang kuat, dalam bentuk penerapan syariat Islam, meski masih parsial.
(4) Adanya peningkatan kesadaran sebagian masyarakat terhadap Islam.
(5) Social responsibility mulai tumbuh di banyak perusahaan dan kaum aghniya.
(6) Adanya tuntutan pengelolaan zakat infaq shodaqah (ZIS) yang professional.
(7) Perkembangan dunia informasi dan teknologi yang semakin cepat.
( Tumbuh dan berkembangnya upaya-upaya muamalah yang Islami (media Islami, perbankan syariah, pendidikan Islami dll.)
c. Analisis Internal - Kekuatan
Unsur analisis internal bersumber pada aspek sumberdaya manusia, sumberdaya fisik dan sumberdaya organisasi. Atas dasar ini dapat dihimpun sejumlah unsur kekuatan sbb.
(1) Dari segi struktur sosial kemasyarakatan, umumnya SDM pendiri dan penggerak organisasi memiliki potensi akses untuk berperanan penting dalam perubahan sosial dan peri-kepemimpinan di tengah-tengah masyarakat.
(2) Dari segi potensi intelektual, umumnya SDM pendiri dan penggerak organisasi termasuk manusia yang mempunyai taraf berfikir di atas rata-rata.
(3) Dari segi idealisme, umumnya SDM pendiri dan penggerak organisasi memiliki motivasi dakwah dan syiar Islam, sekalipun memiliki keterbatasan ilmu.

Dari data di atas, diketahui bahwa ternyata ketiga unsur kekuatan tersebut bersumber hanya dari aspek SDM. Hal ini mendukung fakta bahwa organisasi nirlaba relatif tidak memiliki kekuatan yang menonjol dari aspek sumberdaya organisasi (visi, misi, tujuan hingga sistem berikut segala prosedurnya) dan aspek sumberdaya fisik, seperti sekretariat berikut segala perangkat pendukungnya. Karena sumber kekuatannya yang signifikan hanya bersumber dari aspek SDM, maka pengelolaan dan pengembangan organisasi, akhirnya memang benar-benar bertumpu pada kualitas SDM yang dimiliki.
d. Analisis Internal – Kelemahan
Sementara dari sisi kelemahannya – disarikan dari hasil pengamatan Sudewo (2004) sebagaimana disebutkan di awal tulisan – maka didapati sejumlah kelemahan berikut.
(1) Dari sisi citra lembaga, umumnya keberadaan organisasi tidak mengakar di masyarakat.
(2) Dari sisi perencanaan kegiatan, umumnya roda organisasi nirlaba berjalan tanpa perencanaan yang matang.
(3) Dari sisi organisasi, umumnya struktur organisasi sederhana dan tumpang tindih.
(4) Dari sisi pembagian kerja, umumnya tidak memiliki batasan wewenang dan tanggung jawab, hak dan kewajiban secara proporsional.
(5) Dari sisi dedikasi kerja, umumnya organisasi dikelola secara paruh waktu.
(6) Dari sisi kuantitas SDM, umumnya organisasi dijalankan oleh jumlah SDM yang seadanya dengan kemampuan terbatas pula.
(7) Dari sisi pilihan bekerja, kebanyakan aktivitas organisasi bukan merupakan pilihan bekerja yang utama, namun lebih sebagai batu loncatan.
( Dari sisi kualitas SDM, umumnya SDM organisasi memiliki daya kreativitas dan inovasi yang rendah.
(9) Dari sisi pengendalian kegiatan, umumnya organisasi tidak memiliki sistem monitoring dan evaluasi yang memadai.

Sebagaimana halnya dengan pernyataan analisis kekuatan di atas, maka analisis kelemahan juga menunjukkan fakta kelemahan umum yang dimiliki organisasi nirlaba memang ada dan menonjol pada aspek sumberdaya organisasi dan kemudian pada aspek sumberdaya manusia.

Prakiraan Posisi & Rekomendasi
Dalam bahasa Pearce dan Robinson serta Kearns, masih lebih banyaknya faktor kelemahan internal dibandingkan dengan faktor kekuatannya dan kecenderungan untuk lebih menjadi peluang pada analisis faktor eksternal, secara kualitatif-kuantitatif, membawa konsekuensi pilihan strategis: divestasi/investasi (Kearns, 1992) dan ubah strategi (Pearce dan Robinson, 1988).
Posisi ini menandakan organisasi sebagai lemah namun berpeluang. Peluang yang tersedia cukup meyakinkan, namun organisasi tidak memiliki kemampuan memadai untuk menggarapnya. Kalau dipaksakan, dapat memakan biaya yang cukup besar sehingga akan berbalik merugikan organisasi.
Rekomendasi strategis yang diberikan adalah Ubah Strategi, artinya organisasi disarankan untuk mengubah strategi sebelumnya. Sebab, ditengarai dengan strategi lama sangat sulit untuk dapat menangkap peluang yang ada sekaligus memperbaiki kinerja organisasi. Dalam bahasa yang lain organisasi berada dalam situasi yang kabur antara pilihan divestasi/investasi, karenanya pertanyaan yang harus dijawab organisasi adalah “haruskah organisasi menanam investasi untuk memperkuat titik lemahnya, sehingga mampu mengubah dan memperbaiki posisi kompetitifnya”.

Formulasi Strategi
Dalam Matriks Hubungan Status Keunggulan Bersaing dengan Kondisi Lingkungan Industri (Wright, Kroll dan Parnell; 1996), rekomendasi di atas mengarahkan organisasi pada status “keunggulan bersaing” organisasi: lemah dan status “kondisi lingkungan eksternal” organisasi: peluang dan tantangan seimbang. Bagi organisasi, rekomendasi strategis atas status organisasi seperti ini menurut matriks hubungan tersebut yang dipandang paling cocok adalah Strategi Pembenahan atau Turn Around (Wright, Kroll, dan Parnell, 1996; Orsino, 1996; Wahyudi, 1996; Pearce dan Robinson, 1997; Porter, 1997; Umar, 1999; Muhammad, 2000; Mulyadi, 2001). Strategi Pembenahan lazimnya menjadi pilihan ketika perusahaan mengalami penurunan laba. Resesi ekonomi, inefisiensi produksi, dan terobosan inovatif perusahaan pesaing adalah contoh sejumlah sebab yang mendorong suatu perusahaan melakukan berbagai pembenahan agar dapat tetap bertahan dan bangkit (pulih) kembali. Beberapa contoh mekanisme pembenahan yang dilakukan adalah: (1) reduksi biaya seperti yang dilakukan sejumlah perusahaan besar di Indonesia - karena krisis ekonomi yang berkepanjangan - dengan mengurangi jumlah karyawan atau (2) reduksi aset seperti yang dicontohkan Wahyudi (1996) dilakukan Daewo pada tahun 1990, karena krisis yang sangat buruk sehingga menjual beberapa aset perusahaan agar tetap mendapat laba (Wahyudi, 1997).
Dengan penjelasan tersebut, jika strategi ini diterapkan pada organisasi nirlaba, maka organisasi didorong melakukan sejumlah pembenahan yang berkaitan dengan (1) peningkatan kompetensi SDM dan (2) institutional building. Pembenahan kompetensi SDM diarahkan pada pembangunan karakter (1) Kafaah atau keahlian, yakni dengan memperbanyak diklat dan pengalaman, (2) Himmah atau etos kerja, yakni dengan menghadirkan motivasi kerja sebagai ibadah, dan (3) Amanah, yakni dengan menghadirkan pengawasan Allah. Sementara, institutional building diarahkan pada penerapan konsep manajemen strategis bagi pengelolaan organisasi sedemikian sehingga organisasi memiliki kelengkapan strategi induk, strategi fungsional, kebijakan fungsional, SOP hingga program dan kegiatan yang SMART, yakni Specific, Measurable, Attainable, Realistic dan Timely Basis.
Bila hasil di atas dilanjutkan hingga formulasi strategi mulai strategi induk hingga strategi fungsional, maka akan didapatkan sejumlah contoh pernyataan strategi sebagai berikut :

Visi : pernyataan yang menunjukkan cara pandang yang menyeluruh dan futuristik terhadap keberadaan organisasi (the what).
Contohnya :
a. Organisasi dengan aktivitas inti (core activity) Pendidikan: Menjadi lembaga pengembangan SDM terkemuka bagi terbentuknya Muslim utama dan cendekia menuju tatanan kehidupan yang diridlai Allah SWT.
b. Organisasi dengan aktivitas inti (core activity) Pemberdayaan Komunitas: Menjadi penggerak pemberdayaan keluarga menuju terwujudnya keluarga sejahtera, maju, dan mandiri yang mendukung Jakarta sejajar dengan ibukota negara-negara maju.
c. Organisasi dengan aktivitas inti (core activity) Layanan ZIS: Menjadi Lembaga Pengelola ZIS terunggul yang amanah dan profesional.

Misi : merupakan pernyataan yang menjelaskan alasan pokok berdirinya organisasi dan membantu mengesahkan fungsinya dalam masyarakat atau lingkungan (the way).
Contohnya :
a. Organisasi dengan aktivitas inti (core activity) Pendidikan: Mengembangkan pendidikan Islam terpadu dari tingkat dasar hingga lanjutan dan pendidikan tinggi.
b. Organisasi dengan aktivitas inti (core activity) Pemberdayaan Komunitas: Mewujudkan keluarga yang sejahtera, maju, dan mandiri.
c. Organisasi dengan aktivitas inti (core activity) Layanan ZIS: Optimalisasi kualitas pengelolaan ZIS yang transparan, terukur, berdayaguna dan dapat dipertanggungjawabkan dalam mewujudkan kemandirian masyarakat.

Tujuan : adalah akhir perjalanan yang dicari organisasi untuk dicapai melalui eksistensi dan operasinya serta merupakan sasaran yang lebih nyata dari pada pernyataan misi.
Contohnya :
a. Organisasi dengan aktivitas inti (core activity) Pendidikan : Terwujudnya layanan pendidikan Islam terpadu dari tingkat dasar hingga lanjutan dan pendidikan tinggi.
b. Organisasi dengan aktivitas inti (core activity) Pemberdayaan Komunitas: Terwujudnya keluarga sejahtera, maju dan mandiri.
c. Organisasi dengan aktivitas inti (core activity) Layanan ZIS: Terwujudnya kemandirian masyarakat mustahik zakat.
d. Selain tujuan pertama pada poin a, b, dan c, dapat pula setiap organisasi nirlaba mencantumkan tujuan kedua yang lebih bersifat internal kepada wujud organisasi, seperti : Terwujudnya organisasi sebagai “good public institution”.

Strategi Fungsional Utama:
a. Organisasi dengan aktivitas inti (core activity) Pendidikan: (1) Meningkatkan perolehan jumlah siswa; (2) Meningkatkan efektivitas dan optimasi kegiatan belajar mengajar; (3) Meningkatkan efektivitas layanan organisasi kepada seluruh sivitas akademika; (4) Meningkatkan relasi dan pendukung; (5) Meningkatkan citra lembaga.
b. Organisasi dengan aktivitas inti (core activity) Pemberdayaan Komunitas: (1) Meningkatkan perolehan donasi; (2) Meningkatkan akurasi dan kehandalan program; (3) Meningkatkan jumlah Keluarga yang Terberdayakan; (4) Meningkatkan relasi dan pendukung; (5) Meningkatkan citra lembaga.
c. Organisasi dengan aktivitas inti (core activity) Layanan ZIS: (1) Meningkatkan perolehan ZIS; (2) Meningkatkan akurasi dan kehandalan program; (3) Meningkatkan jumlah mustahik yang Terentaskan (4) Meningkatkan relasi dan pendukung; (5) Meningkatkan citra lembaga.
Strategi Fungsional Pendukung Operasi (relevan untuk ketiga contoh organisasi seperti yang disebutkan di atas): (1) Meningkatkan kualitas SDM pengurus (manajemen dan karyawan); (2) Meningkatkan kehandalan data base organisasi; (4) Meningkatkan tertib administrasi dan keuangan; (5) Meningkatkan kemampuan self assesment untuk kepentingan evaluasi dan rekayasa ulang organisasi; (3) Meningkatkan kepuasan SDM Pengurus (6) Meningkatkan citra lembaga.
Demikian contoh sederhana aplikasi konsep manajemen strategis perspektif syariah bagi pengelolaan organisasi nirlaba keislaman. Selengkapnya dapat dilihat dalam Yusanto dan Widjajakusuma (2003).
Wallahu A’lam bi Ash Shawab.
Muhammad Karebet Widjajakusuma. Lahir di Surakarta, 11 Desember 1971. Pendidikan terakhirnya adalah S-1 IPB (1996). Saat ini diamanahi sebagai konsultan manajemen, memiliki keahlian spesifik pada manajemen strategis dan analitycal hierarchy process serta training manajemen dan motivasi.
Dalam dunia pelatihan, telah banyak menangani sejumlah pelatihan AMT (Achievement Motivation Training) untuk kalangan perusahaan, LSM, Pemda, guru (TK s.d. SMA), perguruan tinggi, pesantren, lembaga pemasyarakatan, da’i, remaja & manajemen masjid, ibu-ibu, pemuda pengangguran hingga remaja (SMA) rawan tawuran. Pernah pula menangani sejumlah pelatihan lainnya yang berbasis outbound, manajemen dan kewirausahaan.
Di dunia konsultansi, telah banyak membantu, diantaranya, Pemprop DKI Jakarta dalam pengembangan manajemen dan organisasi serta perumusan Renstra bagi BAZIS, Jakarta Islamic Centre, DMI, LPTQ dan Tim Penggerak PKK Propinsi DKI Jakarta; Pemprop Banten dan Pemkab Pandeglang dalam perumusan kebijakan publik di bidang pendidikan, BKKBN DKI Jakarta dan TP PKK Propinsi DKI Jakarta dalam pengembangan SDM, PT Mardhika Insan Mulia Jakarta (di wilayah Kaltim) dan PT Pemantang Abaditama Jakarta (wilayah Kalteng) dalam manajemen pengembangan masyarakat.
Di dunia bisnis “riil”, setelah sempat magang di PT Bayuraga Intiswadaya Jakarta, pernah pula bersama sejumlah mantan aktivis kampus berwirausaha dengan mendirikan kendaraan bisnis LP2MM Segmen, Koperasi Jasa Muda Inovasi (Kopjamudi), dan PT Segmen Muda Globalindo.
Buku-buku yang pernah ditulisnya diantaranya, Menggagas Bisnis Islami (2002, GIP), Pengantar Manajemen Syariah (2002, Khairul Bayan), Manajemen Strategis Perspektif Syariah (2003, Khairul Bayan), Meretas Jalan Menuju Politisi Transformatif (2004, Al Azhar Press), dan Menggagas Pendidikan Islami (2004, Al Azhar Press).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar