Minggu, 09 Januari 2011

PENGARUH PANDANGAN HIDUP TERHADAP ILMU EKONOMI

Setiap manusia mempunyai pandangan hidup. Pandangan hidup itu bersifat kodrati. Karena itu ia menentukan masa depan seseorang. Pandangan hidup adalahpendapat atau pertimbangan yang dijadikan pegangan, pedoman, arahan, petunjuk hidup di dunia. Pendapat atau pertimbangan itu merupakan hasil pemikiran manusia berdasarkan pengalaman sejarah menurut waktu dan tempat hidupnya.
Baik ilmuwan sosial maupun intelektual menggunakan rangkaian asumsi atau paradigma atau pandangan hidup yang luas cakupannya untuk mengorganisasi upaya mereka memahami dunia kita, tujuan yang hendak kita kejar, cara kita memilih sarana untuk memajukan tujuan kita, dan cara kita berhubungan satu sama lain.Sementara di luar ilmu-ilmu sosial istilah yang digunakan untuk wacana umum untuk mengacu pada paradigma yang menyajikan suatu cara yang tertib untuk mengatur pemikiran kita tentang dunia yang kacau. Pengembangan paradigma melibatkan investasi yang besar yang meliputi ratusan ribu tahun kerja manusia.
Pandangan hidup dalam definisi ekonomi antara sekuler dan Islam adalah jauh berbeda. Perbedaan prinsip terletak pada anggapan pandangan terhadap realitas tentang eksistensi di alam semesta ini, yaitu: eksistensi terhadap Tuhan, alam semesta dan manusia.
Dalam pandangan sekuler, Tuhan terletak pada domain yang berbeda sama sekali dan tidak dapat disentuh oleh domain yang lain yang terkait dengan masalah kemanusiaan dan alam semesta, katakanlah misalnya ekonomi. Dia tidak ada campur tangan apapun dalam urusan manusia, terutama menyangkut persoalan materi. Oleh karenanya, pengejaran materi merupakan standar rasional dalam definisi ilmu sekuler, yang oleh Adam Smith dan diikuti pula oleh Alfred Marshall diformulasikan sebagai the wealth atau well-being, yaitu kesejahteraan; dan oleh Lionel Robbins sebagai the means, yaitu sarana dan sekaligus, dengan nilai yang mungkin lebih tinggi, sebagai the ends atau tujuan.
Rasionalitas sebagai konsekuensinya menuntut pemaksimalan keinginan (wants) akan kepuasan material sebagai “nilai” yang harus dicapai. Dengan inilah seperangkat asumsi dalam ilmu ekonomi dibangun. Ilmu ekonomi sebagaimana yang didefinisikan Robbins: the science which studies human behaviour as a relationship between ends and scare means which have alternative uses, menggambarkan keserakahan manusia terhadap kepuasan material dalam jumlah besar (multiple ends dengan alternative uses) yang ingin dicapai dalam situasi sumber daya yang amat terbatas. Keterbatasan ini digambarkan dengan sarkastik oleh Robbins, mewakili seluruh pikiran sekular, sebagai “kekikiran alam” nature is niggardly.
Pernyataan tersebut di atas dalam dunia yang (semestinya) tidak sekular, misalnya bagi dunia Muslim, berimplikasi bahwa Tuhan bersifat kikir dan bakhil terhadap manusia. Di sinilah konsistensi sekularisme untuk tetap menempatkan Tuhan pada “domain”-Nya, dan disinilah persoalan menjadi amat serius karena ummat Islam secara doktrinal tidak meyakini adanya pemisahan tersebut.
Kekikiran alam ini dalam perspektif sekular, masih mengikuti Robbins, membangun asums-asumsi yang disebut teori penilaian subyektif yang dengannya setiap keinginan individual dengan berbagai kepentingannya diatur dalam urutan tertentu, dan diturunkan secara teoritik ke dalam, misalnya, fungsi produksi, sehingga dapat dideskripsikalah sebuah hukum, yaitu the Law of Diminishing Returns. Dalam hal ini dinyatakan bahwa secara inisial tanah sebagai faktor produksi adalah bersifat tetap, karena pemakaian yang terus menerus, lama kelamaan “kekikiran alam” ini makin bertambah.
Islam dengan tegas menyangkal anggapan bahwa alam memiliki sifat kikir seperti itu. Allah SWT yang Maha Pemurah telah menganugerahkan kepada manusia apa saja yang mereka perlukan melalui ketersediaan berbagai sumber di alam semesta ini. “Dialah Allah yang menjadikan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk kamu semua” (QS. Al-Baqarah: 29).
Keterbatasan perspektif manusialah yang menimbulkan adanya kelangkaan sumber daya, perspektif ini dipengaruhi oleh kekurangan pengetahuan, informasi dan/atau kemampuan untuk melakukan eksplorasi sumber daya yang tersedia. Dalam arti luas, sumber daya alam ini tidak akan pernah habis kecuali Allah menentukannya di Hari Kiamat.
Habisnya satu bentuk sumberdaya melahirkan bentuk yang lain yang bisa baru sama sekali, baik secara alamiah maupun melalui invensi pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Jadi kelangkaan ini lebih merupakan persoalan ilmu (pengetahuan) sebagai fungsi “waktu”. Karenanya Islam amat menegaskan perlunya penguasaan ilmu pengetahuan (QS. Al-Mujadillah: 11) dan pengelolaan waktu (QS. Al-Qashr: 1-4). Tambahan lagi, bahwa pemberian sumberdaya secara bertahap ini juga memberi pelajaran manusia agar tidak arogan dan agar manusia menyadari posisinya sebagai pengemban amanah Allah sebagai Khalifah di muka bumi. Di sinilah perlunya rasionalitas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar