Rabu, 26 Januari 2011

HIBAH

BAB I
PENDAHULUAN

Istilah hibah berkonotasi memberikan hak milik oleh seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan dan jasa. Menghibahkan tidak sama dengan menjual / menyewa. Istilah balas jasa dan rugi tidak berlaku dalam transaksi hibah.
Hibah dalam arti pemberian bermakna penghibah bersedia melepaskan haknya atas benda yang dihihabkan dikatikan dengan hukum, hibah termasuk perpindahan hak milik. Hibah dilakukan oleh pemilik harta ( pemberi hibah ) kepada pihak penerima dikala masih hidup. Jadi transaksi hibah bersifat tunai dan langsung, serta tidak boleh dilakukan atau disyaratkan bahwa perpindahan itu berlaku setelah pemberi hibah meninggal. Untuk lebih lanjut akan kami bahas dalam bab berikut.

BAB II
PEMBAHASAN

1. HIBAH
a. Pengertian Hibah
Kata hibah berasal dari bahasa Arab masdar dari kata ( wahaba ) yang berarti pemberian. Kata hibah juga dipakai dalam Al-Qur'an dalam Surat Ali Imran ayat 38 dan Surat As-Shad ayat 9.
Dalam syara’ hibah berarti akad yang pokok permasalahannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwakti dia hidup, tanpa adanya imbalan.1)
Dalam Al-Qur'an, hibah juga berarti pemberian / memberikan kepada orang lain baik berupa harta / apapun.


Zakaria berkata : Ya tuhanku, berilah aku dari sisi engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya engkau Maha Pendengar do’a.

b. Landasan Hukum
Rasulullah SAW mengatakan jika pemberi hibah menuntut kembali sesuatu yang sudah di hibahkan maka perbuatan itu seperti anjing yang menelan kembali sesuatu yang sudah di muntahkan. Riwayat Ibnu Abbas yang berbunyi :2)



“Hibah hukumnya dibolehkan, dan bahkan di anjurkan”.

c. Rukun Hibah
1. Benda yang dihibahkan milik sempurna dari pihak penghibah.
2. Barang yang dihibahkan sudah ada ketika terjadi transaksi hibah.
3. Obyek yang dihibahkan mestilah terpisah secara jelas dari harta milik penghibah.3)
d. Syarat-Syarat hibah
Adanya penghibah, orang yang diberi hibah dan sesuatu yang dihibahkan. Syarat-syarat penghibah :4)
1. Penghibah memiliki apa yang dihibahkan.
2. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan.
3. Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.
4. Penghibah itu tidak dipaksa.

Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah :
 Benar-benar ada di waktu di beri hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya, misal dalam bentuk janin, maka hibah tidak sah, apabila yang menerima hibah masih kecil / gila, maka hibah diambil oleh walinya.

Syarat-syarat bagi yang dihibahkan :
1. Benar-benar ada.
2. Harta yang bernilai.
3. Dapat dimiliki dzatnya.
4. Tidak berhubungan dengan tempat milik penghibah. Misal hibah pohon yang masih dalam tanda penghibah.
5. Dikhususkan
Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Abu Tsur berkata : hibah untuk umum yang tidak dibagi-bagi itu sah.
Maliki, boleh menghibahkan apa yang tidak sah dijual : seperti buah belum nampak.

 Hibah dari orang sakit yang penyakitnya mematikan.
Bila seseorang menderita sakit yang menyebabkan kematian, sedang dia menghibahkan kepada orang lain, maka hukum hibahnya itu seperti wasiatnya.

 Hibah itu dipegang ditangan.
Pendapat Ahmad, Malik Abu Tsaur dan Ahli Dahir : hibah itu menjadi hak orang yang diberi hibah hanya dengan semata-mata akad tanpa syarat harus dipegang ditangan sama sekali.
Pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ats-Tsauri : bahwa dipegang ditangan itu merupakan salah satu syarat dari syarat-syarat sahnya hibah.
 Menghibahkan semua harta.
Madzahab jumhur ulama, orang boleh menghibahkan semua apa yang dimilikinya kepada orang lain.
Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian pentahqiq madzhab Hanafi : Tidak sah menghibahkan semua harta meskipun di dalam kebaikan.

 Rujuk didalam hibah.
Jumhur ulama mengharamkan rujuk di dalam hibah, sekalipun itu terjadi antara saudara / suami – istri, kecuali bila hibah itu dari orang tua kepada anaknya, maka rujuknya diperbolehkan. Seperti apa yang diriwayatkan para pemilik sunan, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bersabda :5)

“Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian / menghibahkan suatu hibah, kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali bila hibah itu hibah dari orang tua kepada anaknya perampasan bagi orang yang memberikan suatu pemberian kemudian dia rujuk di dalam ( menarik kembali pemberiannya ), maka dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah anjing itu kenyang ia muntah, kemudian ia memakan muntahannya kembali.
Malik berkata : orang tua diperbolehkan rujuk dalam hibah yang diberikan kepada anaknya, kecuali bila barang yang dihibahkan itu telah berubah keadaannya, maka dia tidak lagi boleh menjualnya.
Abu Hanifah : orang tua tidak boleh rujuk dalam hibah yang telah diberikan pada anaknya / pada setiap orang yang memiliki hubungan keluarga dengannya. Dia hanya boleh rujuk dalam hibah yang diberikan pada orang lain.




 Hadiah dan hibah yang tidak boleh ditolak :



Dari Ibnu Umar, dia berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW : “Tiga pemberian tidak ditolak : bantal, minyak wangi dan susu”.

2. SEDEKAH ( SHODAQOH )
Sedekah adalah pemberian sesuatu benda oleh seseorang kepada orang lain karena mengharapkan keridhaan dan pahala dari Allah SWT dan tidak mengharapkan jasa atau penggantian.
Letak perbedaan yang mendasar antara sedekah dan hibah adalah ingin mencari pahala dan keridhaan Allah. Menurut ulama ada dua macam sedekah, yaitu :
a. Sedekah wajib adalah pemberian harta yang wajib ditunaikan oleh seseorang yang memiliki harta dalam jumlah tertentu ( sampai senisab ) dengan syarat dan jumlah tertentu yang sudah diatur oleh agama atau istilah lainnya adalah zakat.
b. Sedekah sunnah adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain dengan mengharapkan pahala dari Allah di luar pembayaran zakat atau yang dikenal dengan infaq.
Unsur-unsur dalam shodaqoh :
a. Pihak yang bershodaqoh.
b. Pihak yang menerima Shodaqoh.
c. Benda yang dishodaqohkan.
d. Sighat ijab qobul.

3. HADIAH
Hadiah tidak berbeda dari hibah, hadiah lebih di motivasi oleh rasa terima kasih dan kekaguman seseorang. Hadiah harus dibedakan dengan risywah ( sogok ) yaitu terletak pada motivasi yang melatar belakangi. Dalam pelajaran sejarah, Umar bin Abdul Aziz pernah mengharamkan hadiah karena Umar melihat gejala yang terjadi dalam masyarakat dalam pemberian dan penerimaan hadiah sudah tidak murni tapi sudah mengarah risywah. Rukun dan syarat hadiah sama dengan hibah dan hadiah.6)
BAB III
MASALAH TENTANG HIBAH

1. Ada tiga orang bersaudara A. B. C.
A (-) mempunyai seorang anak piara / angkat, yaitu anak si B, dan mempunyai seorang isteri. Waktu sakit A telah dihibahkan satu rumah kepada isterinya dan satu pekarangan kepada anak angkatnya, dan tinggal 1 rumah untuk warisan.
Surat hibah itu, dibikin atas segel dihadapan kepala kampung dan lebainya.
Sekarang si B dan si C membikin perkara, menganggap hibah itu tidak sah. Sah tidakkah hibah tersebut ?.7)
Jawab : Hibah / wasiat yang dibikin oleh seseorang itu sah, kecuali kalau akalnya sudah berubah, maka tidak sah. Tentang perubahan akalnya, kepala kampung dan lebai bisa diberi keterangan. Tetapi nampaknya mereka tidak memandang si A berubah amalnya di waktu memberi hjibah itu, karena kalau begitu, tentulah mereka yang menyaksikan.
Oleh sebab itu, menurut pandangan kami, hibahnya itu sah dan satu rumah lagi yang jadi warisan itu, isteri si A ada hak dapat ¼ dari padanya.

2. Waktu suami sakit, ia telah hibahkan satu bendi dan satu pekarangan kepada isterinya, dibikin atas segel dengan saksi-saksi yang cukup dan ada tinggal lagi beberapa ratus pohon kelapa untuk warisan. Sesuadah suami mati, maka seorang saudaranya membikin perkara, menganggap hibah si suami kepada isterinya itu tidak sah.8)
Jawab : Kalau kita lihat dalam agama ataupun adat, tentulah pemberian itu sah, apalagi memakai segel dan saksi-saksi, yang seseorang pun tidak bisa memungkirinya.
Tetapi disini saudaranya memakai alasan dengan hadits :


“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Untuk menjawab demikian ada dua jalan, yakni :
1) Hadits ini berlawanan dengan ayat Al-Qur'an Surat Al-Baqoroh : 180 ( lihat mas-alah : “Hadits bertentangan dengan ayat” ).
2) Kalau mau juga dipakai hadits itu. Padahal tidak boleh, tidak juga kena, karena hadits ini, berhubung dengan wasiyat, sedangkan yang kejadian itu : suami menghibahkan kepada isterinya, selagi hidup. Oleh sebab itu pemberian suami kepada isteri itu tetap sah.

3. Apa hukumnya bersedekah kepada orang yang mengerjakan perintah-perintah Allah, seperti : sholat, zakat, puasa, dll ?.9)
Jawab : Agama ataupun ayat-ayat hadits memerintahkan untuk bersedekah, tapi tidak ada dalil yang mengatakan tidak boleh sedekah kepada orang yang tidak beribadah.
Mungkin dengan memberikan sedekah kepada orang yang tidak beribadah itu malahan bisa menggugah hatinya, dan akhirnya dia bersyukur kepada Allah dan mau beribadah kepada-Nya.

Sehingga kepada orang kafir yang terang-terangan menjadi seteru kita pun, dibenarkan bersedekah, sebagaimana dalam riwayat : “Bahwasannya beberapa orang shahabat Nabi SAW bertanya kepada beliau : Bolehkah kita bersedekah kepada orang yang tidak seagama dengan kita ?” Maka pada waktu itu, Allah turunkan ayat Qur’an : “Bukan ( kewajiban ) kamu memimpin mereka ...... ( Al-Baqoroh ayat 272 ). Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Jadin.
Dan maksud Surat Al-Baqoroh ayat 272 ini adalah :
 Kita tidak boleh / tidak diwajibkan memimpin orang-orang kafir, karena bukan urusan kita.
 Kepada orang kafir itu, Allah hanya suruh sampaikan perintah-perintah-Nya. balasan derma yang kita keluarkan kepada seseorang adalah bagi diri kita sendiri, dan kita tidak boleh sedekah melainkan semata-mata karena Allah. Lantaran itu, apa saja yang kita dermakan, walau pada orang kafir yang kita harapkan supaya ia bisa masuk Islam, akan dibalas Allah semestinya.
 Ulama-ulama faham, bahwa sedekah yang boleh kita berikan kepada kafir itu ialah yang sunnah. Pendapat mereka ini tidak terdapat dalam atau tidak ada keterangan dalam agama. Malah menurut Imam Hanafi, boleh kita berikan zakat fitrah kita kepada orang kafir.


BAB IV
KESIMPULAN

Dalam syara’ hibah berarti akad yang pokok permasalahannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan.
Jumhur ulama mengharamkan rujuk di dalam hibah sekalipun itu terjadi antara saudara / suami – istri, kecuali bila hibah itu dari orang tua kepada anaknya, maka rujuknya di perbolehkan. Rukun dan syarat hadiah sama dengan hibah dan hadiah.

DAFTAR PUSTAKA

1. A. Hasan dkk, CV. Diponegoro : Bandung, 1977.
2. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 14, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1986.
3. Drs. Helmi Karim, Fiqih Muamalah, Rajawali Press, 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar